Ongkos Produksi Makin Tinggi - Produk Lokal Akan Kalah Bersaing Melawan Asing

NERACA

 

Jakarta - Tingginya upah minimum provinsi dan kenaikan tarif dasar listrik pada 2014 ini membuat sebagian pengusaha cemas. Tak pelak, pengusaha yang bergerak di sektor ritel juga mengalami rasa tidak percaya diri, pasalnya dengan kenaikan biaya  itu akan membuat bisnis ritel lokal akan kalah bersaing dengan bisnis ritel asing.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo), Tutum Rahanta mengatakan, kenaikan ini akan memberikan dampak pada biaya operasional bisnis ritel sehingga bisa berimbas pada harga jual produk masing-masing perusahaan ritel. "Pasti akan menambah biaya, harga barang naik dan juga pengaruhnya terhadap daya beli," kata Tutum di Jakarta, Kemarin.

Tutum menilai, seharusnya kenaikan-kenaikan semacam ini bisa dikendalikan oleh pemerintah sehingga tidak menambah beban para pengusaha. "Sama seperti awal tahun 2013, kenaikan itu sebetulnya harus dikendalikan. Tapi pengendalian ini yang tidak maksimal, itu yang saya khawatirkan," ujar Tutum.

Meski demikian, dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau biasa disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, pengusaha ritel mengaku siap bersaing dengan gempuran perusahaan-perusahaan ritel asing.

Pengusaha malah mengkhawatirkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri. Produk-produk ini harus mampu bersaing dengan produk impor agar bisa tetap bisa dijual pada supermarket atau minimarket yang ada di Indonesia. "Ritel tidak terlalu banyak masalah, banyaknya pada industri. Kalau dari ritel kami harapkan industri kami dapat bertahan sehingga yang kami jual adalah produk negeri sendiri," kata Tutum.

Dia juga menjelaskan, saat ini sebagian besar perusahaan retail sendiri masih menjual produk-produk lokal. Sehingga ke depannya diharapkan produk-produk lokal ini mampu bersaing dengan produk asing baik dari segi kualitas maupun harga.

Hal senanda juga diungkapkan Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Achmad Syafiun mengatakan  mengatakan industri manufaktur di dalam negeri menghadapi berbagai kendala daya saing. Tekanan tersebut, diperparah oleh mahalnya beban-beban biaya yang ditanggung pengusaha nasional. Akibatnya, daya saing industri Indonesia semakin turun.

"Biaya produksi manufaktur di Indonesia itu lebih mahal sekitar 30 %, bahkan ada yang 50 %. Dibandingkan, industri di kawasan regional. Ini mau dinaikkan lagi Tarif Dasar Listrik (TDL) tahun depan. Harga gas juga akan naik lagi 15 persen tahun depan. Semua biaya semakin mahal. Daya saing industrinya ditekan terus jadi menurun. Tutup saja sekalian," kata Syafiun.

Dia menambahkan, industri manufaktur nasional menanggung biaya bunga bank yang tinggi. Ditambah, beban biaya logistik yang lebih mahal. Belum lagi, kondisi iklim berusaha yang daya saingnya semakin menurun.

"Pemerintah tahu kondisi yang dihadapi industri di dalam negeri. Industri di Filipina menikmati beban listrik lebih rendah, padahal mereka tidak mempunyai energi primer. Yakni, hanya US 7 sen per Kwh. Biaya logistik di sini lebih mahal. Semua lebih mahal. Konklusinya, daya saing industri kita semakin ditekan. Sebelumnya dari 46 sudah turun ke 50 (peringkat World Economic Forum)," kata Syafiun.

Dia menambahkan, penaikan TDL industri yang direncanakan sebesar 15 persen pada 2013 berdampak beragam bagi sektor manufaktur. "Efeknya beragam. Salah satu contoh untuk sektor pengecoran (peleburan) logam. Biaya energi itu sekitar 12,5-15 % dari total biaya produksi. Kalau TDL naik 15 % berarti hasil akhirnya memacu kenaikan harga produk akhir hingga 2,25 %. Efeknya, harga-harga barang modal akan semakin tinggi. Saya tidak menolak penaikan TDL. Tapi, sekalian saja ditutup," tukas Syafiun.

Beratkan Industri

Sementara itu, Ketua bidang Industri Federasi Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) Ali Soebroto Oentaryo mengatakan, kenaikan TDL akan memberatkan industri dan tidak menyelesaikan masalah. "Tujuan pemerintah menaikkan TDL kan untuk menekan subsidi yang menjadi beban APBN. Dan, TDL ini kan hanya sebagian. Kalau mau menekan subsidi, naikkan saja harga BBM. Kalau mau menaikkan TDL residences (rumah tangga), silahkan. Tapi, jangan untuk industri. Dan, TDL industri di Indonesia dibandingkan di kawasan regional juga sudah tidak murah," kata Ali.

Menurut dia, biaya listrik di industri elektronika berkontribusi sekitar 3-5 persen terhadap beban produksi. "Biaya logistik sudah lebih mahal. Ditambah, biaya tenaga kerja yang lebih mahal jika dikaitkan produktivitas. Kalau ditambah penaikan TDL akan memberatkan. Besarannya tergantung formatnya (perusahaan ritel). Kalau formatnya untuk orang asing itu lebih banyak, tapi kalau seperti supermarket dan minimarket sebagian besar lokal," ujar Tutum.

BERITA TERKAIT

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…

BERITA LAINNYA DI Industri

HBA dan HMA April 2024 Telah Ditetapkan

NERACA Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah resmi menetapkan Harga Batubara Acuan (HBA) untuk…

Program Making Indonesia 4.0 Tingkatkan Daya Saing

NERACA Jerman – Indonesia kembali berpartisipasi dalam Hannover Messe 2024, acara pameran industri terkemuka yang merupakan salah satu satu pameran…

Le Minerale Favorit Konsumen Selama Ramadhan 2024

Air minum kemasan bermerek Le Minerale sukses menggeser AQUA sebagai air mineral favorit konsumen selama Ramadhan 2024. Hal tersebut tercermin…