Oleh : Kamsari
Wartawan Harian Ekonomi NERACA
Publik menengarai, sejak lama banyak tangan-tangan setan birokrasi telah mengobok-obok BTN. Targetnya adalah memandulkan kekuatan BTN yang fokus di bisnis perumahan dengan begitu memberi peluang BRI, Bank Mandiri dan BNI, bisa merebut pasar bisnis KPR yang selama ini didominasi BTN. Bisnis KPR memang menggiurkan bank BUMN lain, karena menjanjikan untung besar dan pertumbuhan aset luar biasa. Sementara risikonya nyaris tidak ada.
Indonesia Property Watch mempertanyakan Bank Indonesia (BI) mengenai tidak lolosnya kandidat direksi yang ada sekarang melalui fit and proper test, mengingat mereka adalah bagian dari internal manajemen BTN yang sudah berpengalaman dan sangat kompetendalam bisnis perumahan. IPW mengharapkan agar jangan sampai ada kepentingan politik lain dibalik perubahan direksi BTN tersebut.
Indikasi itu kian terlihat dari waktu ke waktu. Puncaknya ketika BI membatalkan hasil fit and proper test sejumlah anggota direksi BTN tahun 2007. Keempat direktur BTN (lama) dinyatakan batal lulus uji kelayakan itu. Mereka harus lengser dari posisinya sebagai direktur di bank yang merajai bisnis perumahan itu.
Sebelumnya memang kinerja BTN selalu “diganggu” oleh bank BUMN lain, semuanya menghembuskan isu sama yaitu bercita-cita mengakuisisi terhadap BTN. Boleh jadi tiga bank BUMN lain ngiler melihat kinerja BTN yang mampu mendominasi bisnis properti nasional, meski terasa dijegal oleh banyak pihak.
Bank BUMN lain memang mengklaim punya aset besar dan menghasilkan laba signifikan. Namun semua orang tahu, mereka meraup laba bukan karena kinerjanya hebat melainkan karena memiliki pendapatan dari bunga obligasi rekap. Yaitu, hasil penerimaan bunga dari pemerintah akibat proses masa lalu saat Indonesia dihantam krisis multidimensi 1997/98. Semua orang pun, bahwa krisis moneter Indonesia muncul, sebagai dampak kegagalan BI menjaga keseimbangan nilai tukar rupiah terhadap US$.
Dalam dua tahun terakhir BI juga sudah kerepotan mengawal rupiah, dan Gubernur BI Agus Martowardojo tampaknya tak berdaya menahan laju depresiasi rupiah yang mencapai 21% hingga akhir 2013. Nah, lalu mencari dalih antara lain “menuduh” sektor properti sebagai penyebab BI impoten mengawal rupiah. Padahal, akibat kebijakan BI ini bakal menjadi bencana terhadap program penyediaan rumah murah di Indonesia.
Dengan angka backlog perumahan yang mencapai 13 juta unit. BTN sebenarnya punya peran amat vital terhadap program pengentasan backlog. Sayangnya, Menpera Djan Farid dan Presiden SBY tak bereaksi positif terhadap langkah BI yang jelas-jelas berpotensi mengganggu program perumahan rakyat.
Jelas, kalangan masyarakat berpenghasilan rendah jangan lagi berharap bisa segera memiliki rumah layak dan terjangkau pada tahun ini. Pasalnya, kebijakan BI melepaskan dana FLPP yang seharusnya ditempatkan di BTN, malah dipindahkan ke Bank Mandiri. Alhasil, penyediaan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah kian babak belur. Sementara Menpera seolah tak peduli. Entah apa yang membuatnya diam tatkala program kerjanya kurang berhasil. Sungguh memilukan!
Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…
Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…
Oleh: Prof. Dr. Didik Rachbini Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonom Pendiri Indef Serangan mengejutkan dari Iran sebagai…
Oleh: Suahasil Nazara Wakil Menteri Keuangan Sebagai upaya untuk memperkuat aksi iklim, Indonesia memainkan peran penting melalui kepemimpinan pada Koalisi…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi melaporkan kepada Presiden Joko…