Mewaspadai (Siklus) Krisis Perbankan Jelang Pemilu 2014 - Oleh: Tigor Damanik, Alumnus FHUI 1982 dan Mantan Auditor Bank BUMN

 

Mengamati pelemahan rupiah terhadap USD (United States Dollar )/Dolar Amerika Serikat (AS) selama kurang lebih dua bulan terakhir ini, dimana kurs rupiah nyaris dan diperkirakan dalam waktu dekat akan menyentuh level Rp. 12.000,00 per USD-nya.

Kemudian, disepanjang tahun 2013 dimana Bank Indonesia (BI) gencar menaikkan suku bunga acuannya (= BI Rate ) dari semula di angka “kondusif” 5,5% hingga menjadi di angka “fantastis” 7,5% menjelang akhir Nopember dan bertahan hingga saat ini.

Berikut potensi krisis ekonomi dunia pasca “shutdown” (pemberhentian sementara aktifitas pemerintahan) AS beberapa waktu lalu yang diperkirakan mempengaruhi perekonomian manca negara, terutama negara-negara yang “sangat” tergantung ekonominya kepada negara adhi daya itu.

Berbagai kejadian di 2013 tersebut, terutama gerak pelemahan rupiahnya, jika dikaitkan dengan krisis ekonomi dan perbankan yang pernah melanda Indonesia (termasuk beberapa negara Asia, Eropa dan Afrika) pada tahun 2008 memiliki kemiripan.

Pertama, yakni bermomen sama. Sama-sama setahun menjelang Pemilu (2009 dan 2014). Kedua, situasi kondisi perekonomian dunia juga ber-ritme hampir sama atau (bisa dikatakan) sedang terjadi krisis ekonomi dunia.

Ketiga, pelemahan nilai rupiah meski sedikit demi sedikit namun membukit dan gerak pelemahannya relatif cepat serta angka kurs rupiahnya berada di level Rp. 12.000,00-an.

Jelang Pemilu 2014

Menengok kemiripan kondisi tersebut tentu wajar saja jika ada pihak yang berpendapat bahwa (akan) terdapat potensi terjadinya bank gagal berdampak sistemik “jilid dua”. 

Sekalipun kans bakal terjadinya kecil, mengingat traumatik skandal Bank Century yang sejak 2008 hingga saat ini masih sangat mengental dan terus dikejar, bahkan diobok-obok, namun yang namanya (kemungkinan) niat jahat dan rakus terhadap tahta dan harta (greedy) tentu setiap jengkal geraknya perlu diwaspadai.

Merefleksi krisis 2008 (setahun jelang Pemilu 2009) dinyatakan bahwa telah terjadi krisis keuangan dan moneter hingga “terpaksa” mengambil langkah kebijakan untuk mem-bail out Bank Century sekitar Rp. 600,00 miliaran dan menjadi masalah besar karena terealisasi dalam jumlah “fantastis” yakni Rp. 6,7 triliun!.

Bank (kecil/tidak ternama) mana yang oleh Pemerintah dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik kala itu, jika tidak segera diselamatkan akan berefek domino kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan yang berlanjut ke ketidak percayaan (masyarakat) kepada Pemerintah.

Langkah penyelamatan melalui kebijakan bail out (pemberian dana talangan) mana diklaim sebagai “perbuatan mulia” karena telah menyelamatkan ekonomi dan perbankan di Indonesia.

Meski faktanya justru menjadi aib bagi dunia perbankan Indonesia dan diduga melibatkan banyak (oknum) petinggi negeri dan kerap dimanfaatkan sebagai senjata/amunisi politisasi jika suatu saat diperlukan.

Timbul pertanyaan, jika menengok kepada histori, mungkinkah akan terulang kembali bank gagal berdampak sistemik mirip Bank Century menjelang Pemilu 2014 ?”.

Dengan “mengorbitkan” (kembali) sebuah bank kecil/menengah/tidak terkenal (karena jika dilakukan via bank besar pasti cepat terdeteksi ) yang sengaja dikondisikan bermasalah hingga harus diselamatkan karena dinilai berdampak sistemik?.

Atau melalui pemberian fasilitas kredit yang tidak sewajarnya, baik jumlah maupun prosedurnya yang bertujuan guna pendanaan bagi pemenangan diri, kelompok dan atau partai politiknya ?.

Patut mengapresiasi antisipasi dan kecurigaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap kemungkinan siklus krisis perbankan yang muncul menjelang Pemilu 2014 sebagaimana dikemukakan Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto karena merupakan salah satu tugas KPK di bidang pencegahan.

Menyoroti kemunculan kasus-kasus perbankan sejak menjelang Pemilu 1999 saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR di Jakarta, 2 Desember 2013.

Sebelum Pemilu 1999 ada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Jelang Pemilu 2004 ada 3 kasus perbankan. Menjelang Pemilu 2009 lagi-lagi publik digegerkan dengan isu kasus perbankan yang terkenal dengan : “Skandal Bank Century”.

KPK sedang mempelajari modusnya dan jika memang benar ada kecenderungan ke arah itu maka KPK akan mengkonfirmasikannya kepada lembaga perbankan terkait supaya jangan sampai perbankan menjadi korban dimanfaatkan untuk tujuan negatif oleh kekuatan tertentu.

Hanya saja menjadi terasa hambar, janggal dan aneh bin ajaib jika sampai Gubernur BI Agus Martowadojo menyatakan tidak perlu khawatir atas gerak pelemahan nilai rupiah saat ini yang menilai bahwa pelemahan nilai tukar rupiah masih dalam batas normal dan bukan merupakan sesuatu yang harus ditakutkan.

Pelemahan rupiah mana, katanya dipengaruhi faktor perkembangan ekonomi global yang berdampak terhadap negara-negara berkembang. Tekanan terhadap rupiah hanya bersifat sementara karena lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen pasar global dan spekulasi penarikan stimulus The Fed ( Federal Reserve Bank )/Bank Sentral AS hingga ikut memicu pelemahan rupiah.

Meminta pasar untuk tidak perlu khawatir dengan pelemahan tersebut sembari mengatakan bahwa nilai rupiah masih wajar meski terjadi pelemahan. Pergerakan nilai tukar adalah suatu yang dinamis, tidak bisa dinilai hanya dengan melihat setiap hari.

Bahkan Agus juga menyatakan bahwa pihaknya tidak akan pernah menargetkan satu tingkat nilai tukar tertentu, namun lebih pada bagaimana menjaga fundamental ekonomi.

Tapi, bagaimana bisa menjaga fundamental ekonomi jika pelemahan kurs (terkesan) dibiarkan ?. Apalagi, meski BI Rate telah dinaikkan ke angka tertinggi 7,5% namun kurs rupiah masih tetap saja melemah (?!).

Kebijakan BI Rate, selain memberikan dampak positif (dalam mengendalikan inflasi dan defisit pada neraca transaksi berjalan) juga berdampak negatif. Bahkan dalam praktik dilapangan justru dampak negatifnya lebih mendominasi terutama pengaruhnya terhadap nafas kehidupan dan gairah sektor riil.

BI Rate tinggi menyebabkan terjadinya pelambatan di sektor riil dan melesunya gairah dan atau aktivitas UKM (usaha kecil dan menengah) mengingat suku bunga kredit bank yang tinggi. Ekstremnya para pengusaha UKM berpotensi gulung tikar (tutup) karena tidak bisa lagi memodali usahanya akibat suku bunga kredit bank yang tinggi.

Harapan

Kunci pas mengatasi pelemahan rupiah hingga dapat menguat ke level kurs normal/wajar ( di Rp. 9.600,00 atau maksimal di Rp. 10.000,00-an per USD-nya) adalah perlunya harmonisasi antara Pemerintah sebagai pengambil kebijakan fiskal dan BI sebagai pengambil kebijakan moneter.

Bergerak sesuai bidang tugas masing-masing dan bermuara kepada tujuan yang sama,yakni sama-sama mendorong pertumbuhan ekonomi yang realistis.

Gubernur BI sebagai pejabat penting negara pemilik otoritas moneter sejatinya bukanlah berargumen makro semata, tapi harus lebih mikro, faktual dan realistis.

Pro aktif meminta/membujuk para anak bangsa (di dalam negeri maupun di manca negara) yang masih menyimpan USD-nya agar segera merupiahkannya dan atau memulangkan dananya ke di Indonesia karena, antara lain, BI Rate sudah tinggi.

Terhadap pelemahan rupiah petinggi negara sejatinya wajib khawatir dan ekstra serius untuk melakukan berbagai upaya antisipatif dan signifikatif bagaimana memulihkannya hingga kembali ke level normal supaya tidak berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan.

Bukan malah lebih serius dan fokus untuk kepentingan pribadi/kelompoknya, guna memenangi diri dan partainya pada Pemilu 2014. Sudah tidak saatnya lagi para pejabat berbicara enteng dan retorik karena akan semakin berdampak negatif terhadap pasar.

Kiranya tidak akan ada lagi bank kecil yang sengaja dikondisikan “bermasalah” dan lalu meminta BI untuk membantu pendanaannya dimana dana talangannya justru ditilep untuk keperluan tahta dan harta.

Perlu mewaspadai dan memantau gerak negatif praktik perbankan, termasuk pemberian kredit yang tidak sewajarnya kepada perorangan dan atau melalui bendera perusahaannya untuk menjadi (calon) anggota legislatif dan pembiayaan pemenangan partainya jelang Pemilu Legislatif 9 April 2014. (analisadaily.com)

BERITA TERKAIT

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pertahankan Sinergitas dan Situasi Kondusif Jelang Putusan Sidang MK

  Oleh: Kalista Luthfi Hawa, Mahasiswa Fakultas Hukum PTS   Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menarik perhatian publik menjelang putusan…

Pemerintah Bangun IKN dengan Berdayakan Masyarakat Lokal

  Oleh: Saidi Muhammad, Pengamat Sosial dan Budaya   Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur bukan hanya tentang…

Ekonomi Mudik 2024: Perputaran Dana Besar Namun Minim Layanan Publik

    Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom UPN Veteran Jakarta   Pergerakan ekonomi dalam Mudik 2024 melibatkan dana besar…