Peta Persoalan Pendidikan - Oleh: Prof. Dr. Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang

Saya kira tidak sedikit orang  mengetahui bagaimana wajah pendidikan di tanah air yang sebenarnya selama ini. Seringkali terdengar,  mereka menilai, bahwa  sebagian besar belum banyak yang dapat dibanggakan. Bahkan sebagian  masih menyedihkan. Jangankan berbicara kualitas, sekedar memenuhi  kebutuhan minimal, masih banyak yang terbengkalai. Tidak henti-hentinya berita di merbagai media menyebutkan bahwa, banyak lulusannya menganggur, mutu  yang masih belum berhasil ditingkatkan, gedung sekolah hampir ambruk, buku pegangan guru dan siswa kurang  berkualitas, pergantian kurikulum yang belum sepenuhnya siap, ujian nasional yang masih diperdebatkan, dan seterusnya.

Persoalan pendidikan semacam itu juga terjadi di tingkat perguruan tinggi, misalnya kualitas hasil pendidikan belum  bisa dibanggakan,  sarana dan pasarana pendidikan  masih  belum mencukupi,  masih saja terdengar kasus-kasus ijazah aspal, plagiasi karya ilmiah,  dan berbagai macam persoalan lainnya. Belum lagi  adanya informasi hasil survey internasonal, yang selalu menempatkan prestasi pendidikan di Indonesia pada posisi di belakang. Pertanyaannya, apakah persoalan-persoalan itu sebagai dampak globalisasi ataukah merupakan akibat dari kegagalan bangsa dalam memanage pendidikan selama ini?

Tampaknya  kemajuan pendidikan selalu seiring ssejalan  dengan tingkat kemajuan ekonomi komunitas pendukungnya. Masyarakat yang berekonomi lemah  hanya dapat menyelenggarakan pendidikan yang kurang maju. Pendidikan seperti itu juga akan melahirkan kualitas lulusan yang rendah.  Kualitas lulusan  rendah  pasti  akan berakibat  mereka tidak mampu memasuki sektor-sektor ekonomi modern yang memang memerlukan kualitas tinggi.  Akibatnya, out put lembaga pendidikan rendah  hanya akan mampu memasuki sektor-sektor ekonomi yang tidak memberikan keuntungan tinggi. Dampak selanjutnya,   inovasi, modernisasi,  dan seterusnya,   sebagaimana yang dibutuhkan tidak akan terjadi.

Bahkan,  lebih dari itu, jika diamati, ternyata  eksport tenaga kerja yang disebut kurang berkualitas, lagi-lagi mereka itu,  diakui atau tidak, adalah berasal dari lembaga pendidikan yang kurang maju. Lembaga pendidikan yang berkualitas rendah hanya mampu menyumbang jenis tenaga kerja yang berkualitas rendah dan akibatnya  imbalannya pun  rendah pula. Logika sederhana seperti ini, semestinya mampu mengantarkan pada suatu rumusan bahwa untuk membangun bangsa ke depan yang lebih maju dan beradab maka, pembenahan di bidang pendidikan seharusnya diletakkan pada prioritas yang pertama.     

Perlu diakui bahwa sesungguhnya, di tanah air ini sudah mulai ada lembaga pendidikan yang berkualitas, baik yang berstatus negeri maupun swasta. Lembaga pendidikan negeri yang  berhasil meraih kemajuan, umumnya disebabkan oleh  karena yang bersangkutan  berani  berkreasi  membuka dan mengembangkan diri melalui berbagai caranya sendiri. Kata kuncinya adalah adanya otonomi yang lebih luas. Fenomena seperti itu semestinya mampu   mengantarkan pada pemikiran  bahwa,  seharusnya  lembaga pendidikan diberi otonomi yang lebih luas  agar mampu berkembang lebih cepat.

Demikian pula lembaga pendidikan swasta, yang kebetulan didukung oleh manajemen dan pendanaan yang  kuat, maka akan  berkembang lebih cepat. Maka, muncullah di beberapa kota lembaga pendidikan unggul, sekalipun  kemudian menjadi mahal,  dan  akibat negatifnya  masyarakat   ekonomi lemah tidak akan berhasil menikmatinya. Munculnya lembaga pendidikan unggul  ternyata  melahirkan kekhawatiran sampingan, yaitu menjadi  semakin lebar kesenjangan di masyarakat antara yang kuat dan yang lemah.

Pada akhir-akhir ini sudah mulai disadari bahwa pendidikan  harus dipandang sebagai bagian  tak terpisahkan dari  upaya  membangun bangsa ke depan. Akan tetapi, pandangan seperti itu,  belum dihayati secara mendalam dan sepenuhnya. Pandangan yang mengatakan bahwa membangun bangsa adalah sama artinya membangun orang-orangnya, dan membangun orang-orangnya adalah niscaya melalui pendidikan, tampaknya belum sepenuhnya dipercaya. Pesan-pesan arif orang desa pada anaknya yang mengatakan bahwa : “saya tidak membekali kamu di masa depan kecuali pendidikan”,  ternyata  belum sepenuhnya dimiliki oleh sebagian besar pengambil keputusan di bidang pendidikan. Buktinya mudah dilihat, yaitu  dari belum adanya  tekad  berani mengorbankan yang lain dan mengalihkan secara nyata dan sungguh-sungguh pada  kepentingan pendidikan yang dipandang perlu itu.

Selama ini,  belum terlalu dirasakan sebagai masalah jika hanya menyangkut guru, dosen atau pendidikan pada umumnya. Inilah contoh kesenjangan yang amat lebar antara kebutuhan masa depan yang sebenarnya  dengan kenyataan di lapangan. Keadaan itu masih diperparah oleh  adanya penyimpangan korupsi, kolusi dan nepotisme di jagad birokrasi pendidikan.

Keadaan pendidikan yang sebagian besar masih lembek seperti itu belum ada kesadaran untuk memperbaikinya secara mendasar dan menyeluruh.  Kebijakan yang diambil masih bersifat pinggiran, seperti terkait penerimaan mahasiswa baru, kenaikan kelas,  perubahan kurikulum, sertifikasi dosen dan guru  yang sebenarnya hanya sebatas formalitas, dan sejenisnya.  Selain itu, pendidikan masih selalu dikaitkan dengan politik, harga diri pemerintah daerah, dan lain-lain. Pendidikan juga hanya dijalankan secara formal, hingga bahkan menjadi terasa lebih bersifat formalitas. 

Dalam kondisi seperti itu jangan berharap layanan pendidikan  akan semakin  berkualitas. Keadaan  seperti itu, jika tidak ada perbaikan, maka jangan berbicara tentang masa depan  bangsa yang lebih  berkualitas dan akan memenangkan dalam persaiungan global. Sudah lama dalam penyelesaian persoalan pendidikan menggunakan pendekatan formal, dan hasilnya ternyata juga tidak menyelesaikan masalah.  Contohnya, dibuatlah standard guru. Sedangkan untuk memenuhinya dibuat program-program formal yang penting persyaratan itu terpenuhi. Angka-angka statistik dilaporkan terpenuhi,  sekalipun  mengabaikan substansinya. 

Pendidikan seharusya dilihat sebagai instrumen pokok dan mendasar  yang tidak bisa digantikan oleh yang lain dalam membangun peradaban ke depan. Globalisasi yang terjadi saat ini yang menjadikan persaingan tidak bisa dicegah dan dihindari,  agaqr bangsa ini  tidak terlalu jauh tertinggal, maka tidak ada cara lain kecuali harus memperbaiki pendidikan. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang seluruh warganya menyandang keimanan dan ketaqwaan yang tinggi, cerdas, terampil, sehat jasmani dan ruhani, dan memiliki watak dan karakter yang tinggi. Atas dasar ini maka tugas negara adalah menyelenggarakan pendidikan yang merata dan berkualitas itu.

Selama ini bangsa Indonesia  masuk kategori sebagai bangsa berkembang, sekalipun  sudah sekian lama merdeka. Indonesia dikenal kaya tenaga kerja, tetapi kualitas pendidikannya rendah. Tenaga kerja yang dieksport  kebanyakan hanya sebatas tukang, buruh kasar, bahkan juga pembantu rumah tangga. Fenomena ini, tentu menjadi sesuatu yang memprihatinkan. 

Hal itu terjadi, lagi-lagi erat terkait dengan pendidikan. Artinya, bangsa ini memang benar-benar belum mampu menjadikan warga negaranya  cerdas dan trampil dan mungkin juga berpribadi luhur. Akibatnya, semakin tertinggal dan kalah bersaing dari bangsa maju lainnya.  Kekuatan itu adalah iman, ilmu, dan teknologi. Sebagai contoh kecil kekalahan itu, misalnya, tidak sedikit pengusaha tradisional di bidang kerajinan, misalnya batik, keramik, pandai besi dan sejenisnya telah mengalami gulung tikar, oleh karena tersaingi oleh pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mutakhir.  Di bidang pertanian, pseternakan dan juga perikanan, petani kita dengan hanya mengandalkan teknologi sederhana menjadi mati oleh karena tersaingi  oleh produk-produk manca negara yang lebih berkualitas  dan  harganya lebih murah.

Contoh  sederhana lainnya, dahulu kota Malang dikenal sebagai kota apel. Akan tetapi, sekarang ini penjual buah apel di Malang sudah tidak lagi  menjual apel Malang,  melainkan apel eksport dari manca negara. Apel Malang sudah tidak mampu bersaing dengan apel yanhg berasal dari luar negeri. Dari kasus ini lagi-lagi, kita tertinggal disebabkan oleh penguasaan ilmu dan teknologi serta ketrampilan yang seharusnya dikembangkan melalui pendidikan. Wallahu a’lam. (uin-malang.ac.id)

BERITA TERKAIT

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…

BERITA LAINNYA DI Opini

Indonesia Tidak Akan Utuh Tanpa Kehadiran Papua

    Oleh : Roy Andarek, Mahasiswa Papua Tinggal di Jakarta   Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara…

Masyarakat Optimis Keputusan MK Objektif dan Bebas Intervensi

  Oleh: Badi Santoso, Pemerhati Sosial dan Politik   Masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan optimisme yang tinggi terhadap proses penyelesaian…

Perang Iran-Israel Bergejolak, Ekonomi RI Tetap On The Track

    Oleh: Ayub Kurniawan, Pengamat Ekonomi Internasional   Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel…