Menanti Tapering Off, Aksi Spekulan "Sandera" Rupiah

NERACA

Jakarta - Lembaga pemeringkat PT ICRA Indonesia menyebutkan bahwa isu penarikan dana likuiditas atau tapering off oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang rencana dilakukan pada 2014 membuat para pelaku pasar melakukan aksi spekulasi. Hal tersebut dinilai membuat nilai tukar rupiah semakin tertekan. Dengan demikian, Bank Indonesia (BI) supaya berhati-hati dalam merespon pelemahan rupiah karena dapat berimbas langsung ke sektor riil.

“Saya memprediksikan BI tidak akan terus-menerus merespon pelemahan nilai tukar rupiah. Sebab, jika BI Rate tetap dinaikkan maka hal itu tidak berpengaruh positif ke rupiah. Justru rupiah berpotensi jatuh lebih dalam. Tidak bisa dipungkiri juga faktor spekulasi turut andil dalam pelemahan rupiah,” ujar Analis Penilaian PT ICRA Indonesia, Kreshna D Armand, di Jakarta, Rabu (11/12).

Lebih jauh lagi dirinya mengatakan, dalam merespon isu tapering off ini banyak para pelaku pasar yang ‘menyandera’ rupiah. Sedangkan, jika BI Rate dinaikkan kembali justru sangat berpotensi nilai tukar rupiah akan semakin jatuh. Dia pun menekankan BI agar melakukan perhitungan matang apakah perlu BI Rate dinaikkan atau tidak.

“Seharusnya BI juga tahu bahwa banyak spekulan yang mulai menyandera rupiah kala menunggu tapering off. Maka, sebelum diputuskan untuk naik harus diperhitungkan terlebih dahulu bagaimana posisi dana investasi langsung (foreign direct investment/FDI) yang masuk beberapa waktu lalu. Selain itu dilakukan komparasi perdagangan international,” tutur Kreshna.

Tak hanya itu. Dia mendorong Pemerintah melakukan analisis terlebih dahulu mengenai kelanjutan inflasi sebelum menaikkan BI Rate. Kreshna memberi contoh, apakah inflasi akan melonjak drastis atau tidak bila BI Rate naik. Kemudian, apakah rupiah akan semakin tertekan atau tidak. “Perlu waktu mengeluarkan suatu kebijakan karena harus melakukan observasi terlebih dahulu,” tambahnya.

Meskipun begitu, Kreshna menilai, sebenarnya BI masih memiliki ruang untuk menambah BI Rate sebesar 100 basis poin (bps) ke level 8,5% dari saat ini 7,5%. Hal itu dapat dilihat dari tingkat inflasi yang masih di bawah 9%. Sebab, kata Kreshna, salah satu indikator menaikkan BI Rate adalah dengan membandingkannya terhadap inflasi.

“BI masih punya ruang sebesar 100 bps untuk menaikan BI Rate. Hal itu bisa dilakukan mengingat tingkat inflasi kita masih di bawah 9%. Tapi meskipun masih ada ruang, namun tetap berat untuk dinaikkan karena dapat mengundang bahaya bagi sektor riil,” tambah Kreshna.

Sebelumnya, Bank Pembangunan Asia (ADB), dalam laporan obligasi triwulan terbaru, mengingatkan negara berkembang Asia untuk memanfaatkan penundaan dari normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, untuk memperkuat sistem finansial dan ekonomi.

"Penundaan tapering off Amerika Serikat memberikan ruang bagi kawasan untuk menguatkan sistem keuangan dan ekonomi dalam menghadapi potensi volatilitas pasar ke depan," kata Kepala Kantor ADB untuk Integrasi Ekonomi Regional, Iwan Jaya Azis, dalam keterangan di Jakarta, kemarin.

Laporan tersebut menjelaskan kawasan Asia Timur masih rentan terhadap perubahan sentimen dari investor terutama apabila Amerika Serikat menghentikan program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) dan kekhawatiran terkait rasio utang Pemerintah. Volatilitas arus modal saat ini membuat para pengambil kebijakan menghadapi kesulitan dalam mengelola ekonomi, padahal likuiditas yang ketat dapat menekan harga aset di sektor properti dan mengganggu kesehatan keuangan perusahaan yang memiliki kepemilikan modal besar.

Kinerja industri perbankan

Sejak BI Rate secara terus-menerus meningkat hingga level 7,5%, jelas mempengaruhi perlambatan pinjaman modal dan investasi. Kreshna melaporkan kredit konsumer per September 2013 sudah turun di posisi antara 15%. Padahal pada periode yang sama di 2012 masih ada dikisaran 20%.

“Tapi dengan naiknnya BI Rate tidak dapat dipungkiri NPL dapat meningkat. Namun, hingga saat ini, NPL perbankan secara rata-rata masih aman. Mereka masih bisa mempertahankannya maksimal 2%,” terang Kreshna. Meski begitu, dia menegaskan untuk tahun depan dapat dipastikan kinerja perbankan tidak dapat berharap tumbuh lebih dari 20%.

Bahkan bisa bisa lebih kecil dengan maksimal pencapaian kredit sebesar 19%. Pasalnya, masih ada kemungkinan BI Rate terus meningkat. “Dinamika tingkat suku bunga akan menjadi elemen penentu pada tahun depan. Sebab masalah ini dapat dengan mudah melebar ke kurs mata uang asing terhadap rupiah dan penambahan NPL. Namun perbankan masih punya jalan menstabilkan kondisi keuangan dengan mengeruk untuk melalui fee base,” tukas Kreshna. [lulus]

BERITA TERKAIT

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…