Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terbagi Dua Fase

NERACA

Jakarta - Pada 2014, pertumbuhan perekonomian Indonesia dibagi ke dalam dua fase, yaitu fase perekonomian sebelum Pemilu dan fase perekonomian setelah Pemilu. Pada fase sebelum Pemilu, kondisi Pertumbuhan perekonomian Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi pertumbuhan perekonomian pada 2013, laju pertumbuhan perekonomian diperkirakan hanya tumbuh 5,6%-5,7% sedangkan fase setelah Pemilu laju pertumbuhan perekonomian diperkirakan bisa tumbuh pada kisaran 6%.

Direktur Eksekutif Center for Information and Development Studies (Cides), Rudi Wahyono, mengatakan pada fase sebelum Pemilu pertumbuhan iklim investasi sedikit melambat dikarenakan para investor asing masih menunggu atau wait and see terhadap pemerintahan baru Indonesia, iklim investasi diperkirakan akan kembali naik setelah Pemilu.

"Pada tahun depan, kondisi perekonomian Indonesia masih tetap stabil cuma yang membedakannya pertumbuhan dibagi ke dalam dua fase yaitu sebelum dan setelah pemilu," kata dia dalam paparan akhir tahun Cides Indonesia yang bertajuk “Evaluasi Kinerja Pemerintahan SBY Jilid II: Masihkah ada Harapan Publik terhadap Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)” di Jakarta, Selasa (10/12).

Dia menjelaskan pada fase setelah Pemilu, prospek perekonomian Indonesia cukup baik karena sudah dipimpin oleh Presiden baru di mana presiden baru sudah mempunyai beberapa program pembangunan termasuk kebijakan yang akan dikeluarkan. Menurut dia program dan kebijakan dari presiden baru akan memberikan magnet tersendiri bagi para investor asing khususnya kebijakan investasi.

"Mungkin implementasi program dan kebijakan presiden baru belum 100%, tapi dengan adanya presiden baru secara tidak langsung memberikan sinyal positif terhadap perekonomian," ujar Rudi.

Rudi pun menuturkan kalau dilihat secara makro ekonomi, konsumsi domestik masih menjadi fundamental perekonomian terbesar Indonesia. Menurut dia. pada tahun 2014 pertumbuhan konsumsi domestik tidak ada gangguan justru semakin tumbuh karena pemerintah terus menjaga inflasi.

Dalam Kesempatan yang sama, Pengamat Ekonomi CIDES Umar Juoro mengatakan siapapun presiden baru yang terpilih melalui Pemilu, Presiden tersebut haruslah mempunyai program yang lebih fresh tanpa melupakan program program lama dari Presiden sebelumnya, contoh program lama tersebut adalah program Masterplan Percepatan Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Umar juga mengungkapkan program MP3EI dinilai cukup baik untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur sehingga ke depannya Presiden baru harus bisa menyempurnakan program MP3EI agar menjadi program yang lebih baik. "Presiden baru akan memberikan angin segar bagi perekonomian semoga Presiden baru bisa membawa perekonomian Indonesia kepada level yang lebih baik," jelas dia.
 

Dia pun mengatakan Indonesia telah menjadi negara tujuan untuk financial hot money, namun pemerintah malah bangga bahwa uang investasi panas tersebut tertarik dengan pasar Indonesia.Padahal tidak ada alasan mendasar untuk uang tersebut mengalir ke Indonesia selain cuma berspekulasi sementara. Harusnya pemerintah waspada dengan investasi semacam ini,” tegasnya.

Menurut Umar, investasi semacam ini tidak menambah jumlah investasi modal di sektor riil dan pulangnya uang seperti ini bisa menciptakan krisis yang lebih hebat dari krisis finansial 1997/98. Sementara itu, dia menilai bahwa pejabat dan juga Presiden punya penyakit ‘mentalitas 7%’ yang memiliki dua dimensi, pertama ada konsep bahwa Indonesia hanya mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 7% saja, dan kedua, jika Indonesia bisa mencapai 7% ini dianggap cukup untuk membuat masa depan jauh lebih baik.

Belum ada calon presiden atau partai uang punya ‘Visi Indonesia 2045’,” imbuh Umar. Sedangkan, Ketua Dewan Direktur CIDES Rohmad Hadiwijoyo mengatakan memasuki 10 tahun masa pemerintahan SBY dinilai ada perbedaan signifikan untuk mengatakan bahwa telah terjadi penurunan signifikan pemerintahan SBY dalam memperjuangkan perbaikan hidup rakyat.

Seperti halnya Nelson Mandela, walau sudah berhasil memerangi politik apartheid, tapi perjuangan Mandela masih panjang karena saat ini kesenjangan pendapatan masih terjadi. Dan ini lebih penting daripada politik apartheid itu sendiri,” tuturnya. Menurut dia, mengutip pengamat ekonomi politik Amerika Jeffrey Winters untuk SBY, lambannya kinerja pemerintah tidak terlepas dari semakin kompleksnya permasalahan saat ini selain sikap Presiden SBY dalam menjalankan pemerintahannya. [mohar]

BERITA TERKAIT

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini

Pemeran Bangkok RHVAC dan Bangkok E&E 2024 akan Tampilkan Inovasi dan Teknologi Terkini NERACA Jakarta - Bangkok RHVAC 2024 dan…

Defisit Fiskal Berpotensi Melebar

    NERACA Jakarta - Ekonom Josua Pardede mengatakan defisit fiskal Indonesia berpotensi melebar demi meredam guncangan imbas dari konflik Iran…

Presiden Minta Waspadai Pola Baru Pencucian Uang Lewat Kripto

  NERACA Jakarta – Presiden RI Joko Widodo meminta agar tim Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan kementerian…