Sekalipun tidak pernah menjadi wakil rakyat, baik di DPRD maupun DPR, siapapun kiranya bisa membayangkan betapa besar biaya yang harus dipikul oleh mereka hingga memperoleh status itu. Jauh sebelum pemilihan, seperti sekarang ini, mereka harus berkampanye untuk memperkenalkan diri ke tengah masyarakat. Dalam berkampanye itu, di antara para calon juga harus berkompetisi dengan calon lainnya. Kompetisi itu sedemikian keras, baik dengan sesama partai, dan juga dengan calon dari partai politik lainnya.
Besarnya biaya kampanye itu bisa dibayangkan dari berapa jumlah gambar yang dipasang di pinggir jalan. Sebagai calon yang mewakili kabupeten misalnya, maka foto atau spanduknya harus dipasang di seluruh wilayah kabupaten kota itu. Manakala, ia mewakili dua atau tiga kabupaten kota, maka di sebanyak kabupaten kota itu, mereka harus memperkenalkan dirinya. Tidak mungkin seseorang dipilih sebagai wakil rakyat, manakala yang bersangkutan sama sekali tidak dikenal. Apalagi, sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa di antara calon wakil rakyat itu harus bersaing ketat.
Dahulu ketika masing-masing partai politik masih memiliki idiologi yang jelas dan berbeda antara satu dengan lainnya, maka masyarakat bisa digerakkan lewat kekuatan idiologinya itu. Demi memenangkan idiologi yang dianut dan dibelanya, maka masyarakat bersedia berjuang untuk membantu calon wakil rakyat. Paling tidak, tanpa dibayar, masyarakat akan bersedia ikut mendukung dan bahkan berkampanye memenangkan calon idolanya.
Dengan demikian, calon wakil rakyat, oleh karena didudukung sepenuhnya oleh calon pemilihnya, maka tidak terlalu berat menanggung beban kampanye. Para anggota atau simpatisan partai politik, bahkan bersedia urunan/patungan mengumpulkan dana untuk memenangkan calon wakilnya dan juga partai politiknya.
Sekarang ini, gambaran tersebut sudah tidak bisa diharapkan lagi. Calon wakil rakyat harus membiayai sendiri. Manakala ada pribadi atau kelompok yang membantu, maka juga harus dibiayai. Memang, ada sebutan relawan untuk mendukung calon wakil rakyat. Akan tetapi semua itu, pada kehidupan sekarang ini tidak ada yang gratis. Zamannya sudah berubah, yaitu menjadi zaman yang serba bertransaksi. Maka dukung mendukung pun, apalagi dukungan politik, harus lewat transaksi.
Itulah sebabnya, pada akhir-akhir ini, terdengar informasi yang semakin jelas, bahwa tatkala seseorang berani mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, harus memiliki modal yang tidak kecil, mulai dari ratusan juta hingga milyardan rupiah, kecuali orang-orang tertentu yang namanya sudah dikenal. Tetapi semua itu, pada hakekatnya tidak ada yang gratis. Zaman serba gratis sudah lewat, atau sengaja dilewatkan.
Beban berat seperti digambarkan itu mengharuskan, calon wakil rakyat berasal dari orang-orang yang terseleksi secara ketat, termasuk kekayaannya. Orang miskin, sekalipun berpendidikan tinggi, jujur, dan memiliki dedikasi tinggi, maka jelas tidak akan berani mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Betapapun pintarnya, mereka hanya akan menjadi orang yang diwakili oleh orang-orang yang memiliki uang banyak, sekalipun misalnya, yang bersangkutan tidak terlalu pintar. Uang lebih penting daripada kepintaran. Atau, kepintaran harus dipadukan dengan kekayaan. Tanpa memiliki uang, maka siapapun tidak akan bisa menjadi wakil rakyat. Untuk menjadi wakil rakyat, pada saat sekarang ini, haruslah orang-orang kaya.
Oleh karena itu, siapapun yang ingin berjuang lewat politik, maka yang bersangkutan harus kaya terlebih dahulu. Orang yang jumlah kekayaannya terbatas, tetapi masih berkeinginan menjadi wakil rakyat, maka harus menempuh cara-cara serba darurat, dan akhirnya akan kalah bersaing, dan akibatnya akan bertambah melarat. Oleh karena itu, di zaman seperti ini, kenyataan tersebut seharusnya menjadi peringatan penting, bahwa siapapun yang masih belum terlalu kaya, maka sebaiknya tidak perlu mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Rakyat agar terwakili oleh orang-orang yang telah selesai urusan diri mereka sendiri, artinya sudah memiliki kekayaan lebih. Kelebihan uangnya itulah agar digunakan untuk berjuang membela rakyat lewat politik. Jangan sampai berpikir sebaliknya, ialah berpolitik untuk mencari tambahan kekayaan. Kerasnya persaingan untuk menjadi wakil rakyat dan juga mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk meraih posisi itu, maka para wakil rakyat akan memiliki beban yang amat berat. Mereka harus menyampaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya, dan juga sekaligus berjuang mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan sebelumnya. Kedua jenis beban itu, tentu sangat berat untuk ditunaikan. Imbalan resmi sebagai wakil rakyat, jika dihitung secara saksama, belum tentu imbang dibanding dengan modal politik yang telah dikeluarkan.
Maka, jalan keluarnya adalah berharap mendapatkan imbalan dari sumber tidak resmi. Sementara itu, sumber tidak resmi beresiko sangat tinggi. Manakala ketahuan, maka akan dianggap gratifikasi, suap, korupsi, dan sejenisnya. Ancamannya sedemikian berat. Kasus-kasus terakhir yang menimpa para oknum wakil rakyat, hingga diadili dan dipenjarakan cukup banyak, dan tentu sangat menyengsarakan. Maka kasus-kasus dimaksud, seharusnya selalu dijadikan peringatan bagi para wakil rakyat atau calon wakil rakyat, bahwa beban dan resiko itu sedemikian berat. Wallahu a’lam. (uin-malang.ac.id)
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…
Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…
Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…
Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…