Intoleransi dan Ambiguitas Elite - Oleh: Eko Harry Susanto, Dekan Fikom Universitas Tarumanagara Jakarta

Konflik dan bentrokan antar-kelompok massa dalam nuansa perbedaan agama maupun keyakinan yang memakan korban terus terjadi di berbagai penjuru Nusantara. Padahal, Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 tentang Gangguan Keamanan Dalam Negeri sudah memberikan tanggung jawab penanganan konflik kepada pemerintah daerah. Tetapi, peran elite politik dan kekuasaan negara di berbagai tingkatan, tetap memberikan kontribusi melembaganya konflik dalam nuansa intoleransi yang mengancam kebhinekaan.

Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus mewanti-wanti perlunya kerukunan hidup beragama demi kelangsungan jalannya negara dan pemerintahan. Ketika berpidato di depan anggota DPR, Agustus lalu, Presiden SBY pun menegaskan untuk terus menjaga toleransi beragama dan berkeyakinan demi Indonesia yang damai dan berkeadilan.

Namun, pernyataan itu dinilai sudah tidak sesuai dengan kecenderungan para politisi dan elite di tubuh pemerintah yang lantang membingkai konflik dalam nuansa intoleransi secara terselubung. Pada umumnya mereka menolak bahwa munculnya konflik disertai kekerasan akibat perbedaan agama dan kepercayaan masyarakat. Mereka condong mencari penyebab lain, dari yang bersifat sederhana sampai kompleksitas pertikaian global dengan mengkambinghitamkan ketidakadilan perlakuan kelompok dominan terhadap mereka yang termarginalisasi.

Seharusnya elite politik maupun kekuasaan negara menjadi ujung tombak toleransi, bukan memanaskan situasi dengan menghubungkan pada ketimpangan politik internasional, dan menganggap remeh-temeh pemicu konflik di Indonesia. Wilbur Schramm (1976), ahli komunikasi yang mendalami interaksi antar-manusia dengan damai, menyatakan pemerintah adalah aktor utama yang harus membangun jembatan penghubung antar-kelompok berbeda dengan menumbuhkan rasa saling bergantung antara satu kelompok dan kelompok lain.

Sikap 'toleransi abu-abu' seringkali muncul dari para pejabat publik di negara yang harusnya tetap menjunjung tinggi kebhinekaan. Dalam konflik Sampang yang hingga kini menyisakan pengungsi di negeri sendiri, misalnya. Bentrokan itu dinilai hanya persoalan pribadi yang sama sekali tidak berhubungan dengan perbedaan keyakinan. Sementara dalam konflik yang membawa korban harta dan nyawa di Lampung Selatan, sejumlah elite lokal dan nasional menyatakan bahwa pertikaian berdarah itu akibat masalah sepele di antara pemuda-pemudi setempat, yang dibesar-besarkan oleh SMS dan pemberitaan media.

Kemudian, dalam kasus penyerangan massa di Cikeusik Banten yang dieksplorasi dalam bingkai musibah di luar kekuasaan manusia. Sedangkan kerusuhan Temanggung Jawa Tengah, elite di tubuh pemerintah dengan ringan menyatakan bahwa keberingasan massa yang terjadi dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat, terhadap vonis terdakwa kasus penistaan agama yang bersifat sangat pribadi.

Elite di tubuh pemerintahan dan politisi seharusnya tidak mengingkari akar konflik karena perbedaan agama dan keyakinan yang tumbuh di masyarakat. Mereka perlu menyadari sebagai rujukan masyarakat pada umumnya, karena itu harus memiliki ketulusan dalam mengedepankan aspek faktual bahwa konflik maupun bentrokan antar-kelompok memang disebabkan oleh perbedaan agama dan keyakinan. Karena itu, selayaknya jika para elite mengedepankan perlunya hidup berdampingan secara damai. Di mana pun mereka berada sudah selayaknya konsisten menyuarakan pentingnya kemajemukan demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman.

Secara esensial, menyuarakan perlunya toleransi beragama dan keyakinan bukan hanya dalam komunikasi di hadapan 'korban' demi menarik simpati yang berujung kepada meningkatnya elektabilitas menghadapi Pemilu 2014. Dalam berbagai kesempatan, khususnya di lingkungan 'kelompok sendiri' para elite politik dan pemerintah harus menyuarakan pentingnya kebhinekaan dan toleransi.

Memang, akibat jerat politisasi birokrasi di berbagai tingkatan pemerintah, para pejabat publik dalam upaya 'menggalang kekuatan', bisa saja dengan mudah menyalahkan korban konflik meskipun sebelumnya menyatakan prihatin terhadap kasus intoleransi. Karena itu, tidak mengherankan jika muncul pernyataan yang mengarah kepada pengunggulan nilai sektarian yang mengklaim kebenaran sepihak, membangkitkan komunalisme, melembagakan etnosentrisme dengan mengunggulkan etniknya sebagai yang terbaik, dan menumbuhkan semangat sub-nasional yang tidak menghiraukan kebhinekaan bernegara.

Mencermati kondisi itu, sudah selayaknya jika pimpinan pada organ-organ kekuasaan pemerintah, tidak mereduksi adanya pertikaian agama dan keyakinan, dengan mencari kambing hitam konflik yang merugikan korban. Sebab, kejujuran dan transparansi berjalan linier dengan kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan Presiden SBY yang gencar menyuarakan perlunya toleransi dalam kehidupan beragama.

Pertanyaannya, apakah Presiden SBY beserta sub-ordinat kekuasaannya mampu membangun jembatan antar-kelompok yang semakin rapuh dengan memberi perlindungan kepada mereka yang berbeda? Sebab, Laporan Human Right Watch Divisi Asia pada awal Maret 2013, bertajuk Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia, menunjukkan bahwa pemerintah gagal melindungi kelompok minoritas dari berbagai kekerasan atas nama agama.

Tentu saja, penilaian kurang mengenakkan ini bukan gegabah, sebab elite dalam kekuasaan negara harus membuktikan dengan membangun toleransi faktual dan bukan sebatas menyalahkan kelambanan pemerintah daerah dalam merespon konflik dan mengeksplorasi jargon kemajemukan sebagai pemantas demokrasi dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan. (haluankepri.com)

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…