Pengusaha Khawatir Jika BI Rate Naik Lagi

NERACA

 

Jakarta - Pengusaha mengharapkan Bank Indonesia (BI) tidak lagi menaikan tingkat suku bunga acuan atau BI rate pada tahun depan. Kenaikan BI Rate dinilai dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi mengungkap tahun depan masih dilihat lagi. Tapi dia pikir sudah cukup dulu. Sofjan melihat lagi perkembangan dari impor ekspor Indonesia. Kalau defisitnya sudah bisa terbantu, untuk apa lagi dinaik-naikan.

Dia menilai, bila BI rate terus dinaikan pada tahun depan, maka akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan memberi efek yang luas di berbagai sektor perekonomian. "Ini berbahaya untuk ekonomi kita, sebab kalau terus diciut-ciutkan pertumbuhan kita malah bisa di bawah 5%. Menghambat semua, terutama pengangguran," kata Sofjan  di Jakarta, akhir pekan lalu.

Selain itu, untuk jangka panjang, hal ini juga dinilai malah menghambat stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Apalagi nilai tukar Rupiah masih melemah. "Ga bisa (stabil), karena rupiah saja hari ini Rp 12 ribu. Saya pikir sebenarnya masalah jangka pendek yang boleh saja dilakukan tapi kalau jangka panjang akan berbahaya," katanya.

Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini, lanjut Sofjan, dengan memperbaiki sektor riil melalui paket-paket kebijakan yang telah keluarkan oleh pemerintah, sehingga dunia usaha bisa tumbuh dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. "Masalahnya di rill sektor kita, itu saja. Tapi kan masalah sektor riil bisa diselesaikan dengan paket-paket kebijakan yang sudah ditetapkan. Nah itu harus dilaksanakan dengan cepat," tandas Sofjan.

BI telah menaikan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin dari 7,25% menjadi 7,5% beberapa waktu lalu. Kenaikan ini ditujukan untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan. Selain itu, BI juga menaikkan suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FaSBI Rate) dari 5,5% menjadi 5,75% dan suku bunga pinjaman Bank Indonesia (lending facility) dari 7,25% menjadi 7,5%.

Di sisi lain, Hal itu dinilai tidak bisa memperbaiki neraca perdagangan Indonesia yang tengah mengalami defisit. "Ini tidak pernah bisa selesaikan masalah dari pada trade balance kita melalui monetary watch, menaik-naikan bunga tidak akan menyelesaikan soal. Yang paling penting riil sektor itu harus terus jalan," ujarnya.

Menurut Sofjan, kenaikan BI rate akan berdampak pada kenaikan inflasi. "Sebab kalau dengan menaikan bunga nanti inflasi naik lagi. Dengan tight money policy bisa jadi bunga naik di atas 10%. Saya pikir akan berbahaya buat kita kalau ini monetary saja," lanjutnya.

Dia menjelaskan, permasalahan perekonomian Indonesia lebih kepada pertumbuhan sektor riil yang mengalami perlambatan, sehingga tidak ada keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan produk terutama pada sektor migas. "Masalah kita ini kan riil sektor, masalah suplai dan permintaan terutama minyak. Ini yang harus kita selesaikan dari pada kita naik-naikan bunga saja, ekonomi kita nanti engga tumbuh," kata Sofjan.

Sofjan juga menganggap dengan kebijakan menaikan BI rate ini malah akan memberatkan tumbuhnya dunia usaha, sehingga mempersulit pengusaha lokal khususnya berskala kecil untuk berkembang. "Saya tidak terlalu setuju bunga-bunga ini terus dinaikkan. Ini sudah cukup. Kalau tidak kita enggak bisa bersaing lagi. Di dalam negeri juga tambah susah," tandasnya.

Sebelumnya Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis pom (bsp) dari 7% menjadi 7,25% diprediksi akan menghambat laju pertumbuhan industri manufaktur.

Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Benny Wachjudi mengatakan hal tersebut merupakan sebuah pilihan yang memang harus diambil pemerintah. "Sudah pasti (menghambat). Itu kan suatu pilihan ya. Kita kan juga ingin menjaga stabilitas mata uang kita. Jadi pasti akan ada beban, mungkin ada imbalannya, mungkin nilai rupiah akan menguat lagj. Itu kan pilihan-pilihan," ujar Benny di Jakarta, akhir pekan lalu.

Dia mengatakan, dampak kenaikan BI rate terhadap oleh masing-masing sektor industri berbeda-beda. Salah satu sektor yang diuntungkan terutama yang memakai bahan baku dari dalam negeri. Industri tersebut, dia mencontohkan, seperti industri furnitur yang memakai berbahan baku dalam negeri tetapi gencar melakukan ekspor. "Seperti industri furnitur, industri makanan berbasis lokal, itu untung. Tapi kalau industri yang bahan bakunya impor, itu akan merasakan kerugian," tandas dia.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…