Subsidi BBM Jadi Bermasalah

Di tengah situasi melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tahun depan, pemerintah tampaknya tidak akan banyak melakukan perubahan mengingat tahun ini merupakan saat kritis menjelang pemilu 2014. Padahal 20 puluh tahun  ke depan, penduduk Indonesia yang termasuk kategori kelompok konsumsi, diantaranya 85% perekonomian berada di perkotaan bisa menjadi “bom waktu” bagi perekonomian nasional.

Ini disebabkan pemerintah kurang serius memperhatikan dua isu penting dalam lanskap ekonomi Indonesia masa depan,  adalah pertumbuhan sektor konsumsi serta urbanisasi. Dari sisi konsumsi domestik, Indonesia akan menjadi negara besar, selain China dan India.

Mengantisipasi kondisi tersebut,  ketersediaan energi menjadi salah satu tantangan paling serius. Dari laporan McKinsey Global Institute terungkap, kebutuhan energi per tahun saat ini sudah 6 quadrillion british thermal unit (QBTU), dan pada 2030 akan naik tiga kali lipat menjadi 17 QBTU, sebuah pertumbuhan yang intensif sehingga butuh diversivikasi sumber energi nonkonvensional yang masif pula. Pengembangan energi alternatif, sepertibiofuel, panas bumi, dan angin menjadi kunci penting.

Apabila kita mau berhasil mengembangkan energi nonkonvensional, maka setidaknya diperlukan ada tambahan pasokan energi sekitar 20% pada 2030. Itu sekaligus akan menurunkan hampir 15% ketergantungan pada energi minyak dan batubara, serta berkontribusi pada penurunan emisi sekitar 10%.  Nah, pertanyaannya, apakah pemerintah benar-benar sudah mempersiapkan strategi dan kebijakan untuk mengantisipasi itu? Jika merujuk pada anggaran 2013 dan 2014, belum terlihat ada komitmen meningkatkan produktivitas perekonomian sambil menekan ketergantungan pada sumber daya energi konvensional.

Kita melhat pemerintah belum sama sekali melakukan langkah untuk mengantisipasi perkembangan itu, terutama jika dilihat dari kebijakan fiskal 2013. Alokasi anggaran subsidi RAPBN 2013 direncanakan Rp 316,1 triliun setara dengan 3,4 % terhadap PDB. Dibandingkan APBN-P 2012 naik Rp 71 triliun. Subsidi energi akan menjadi subsidi terbesar, Rp 274,7 triliun, meliputi subsidi BBM dan listrik. Sementara subsidi non-energi (antara lain pangan, pupuk, bunga kredit) Rp 80,9 triliun.

Subsidi listrik masih tetap dianggap perlu mengingat besarnya kesenjangan antara tarif tenaga listrik dan biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$105 per barel, nilai tukar rupiah Rp 10.500 per  US$, dan dilakukan penyesuaian rata-rata tarif listrik 15% pun, subsidi yang diperlukan Rp 80,9 triliun, atau setara dengan 0,9% dari PDB. Nilai itu naik Rp 16 triliun dibandingkan subsidi listrik dalam APBN-P 2012.

Demikian pula dengan subsidi BBM, pemerintah mencanangkan program penghematan melalui pengaturan, pengawasan, dan manajemen distribusi. Namun faktanya, tahun ini, pemerintah justru menambah kuota BBM sebesar 4,04 juta kiloliter sehingga konsumsi BBM 2012 menjadi 44 juta kiloliter. Peningkatan itu menambah besaran subsidi BBM sekitar Rp 15 triliun.

Melihat gambaran itu kita tentu menjadi miris. Soalnya, perekonomian Indonesia disebut-sebut oleh penelitian McKinsey, akan menempati peringkat ke-7 dunia pada 2030, mengalahkan Jerman dan Inggris. Saat ini, perekonomian Indonesia ada di peringkat ke-16, dengan jumlah kelompok konsumsi mencapai  45 juta jiwa.

Menurut survei  itu, kemajuan Indonesia saat ini setara dengan kondisi Amerika Serikat pada 1935, ketika Social Security Act mulai diberlakukan.  Data terakhir Bank Pembangunan Asia mengungkapkan, indeks proteksi  sosial Indonesia baru 1,5%, masih jauh di bawah negara seperti Filipina, Vietnam, India, China, Malaysia, apalagi Korea Selatan dan Jepang. Di Jepang, rasio pengeluaran sosial terhadap produk domestik bruto (PDB) per penduduk hampir 14%, sementara Korea Selatan hampir 7%.

Karena itu, sudah saatnya postur APBN diubah menjadi lebih progresif untuk pembelanjaan modal dan barang dan alokasi bantuan sosial. Tanpa perubahan postur yang radikal, APBN Indonesia akan terjebak pada pola konservatif yang sama sekali tidak memperhatikan insentif untuk pengembangan sumber daya energi alternatif.

BERITA TERKAIT

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

IKN Magnet Investasi

  Eksistensi UU Cipta Kerja dinilai cukup strategis dalam memajukan perekonomian Indonesia. UU Cipta Kerja akan menjadi salah satu regulasi…

Persatuan dan Kesatuan

Pasca Pemilihan umum (Pemilu) 2024, penting bagi kita semua untuk memahami dan menjaga persatuan serta kesatuan sebagai pondasi utama kestabilan…