Penyimpangan Anggaran

Oleh : Ahmad Nabhani

Berdasarkan data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tercatat ada 16 Kabupaten dan Kota yang memiliki  belanja pegawai di atas 70%. Tentu temuan Fitra ini sangat mencengangkan, meski harus di cross check kembali, apakah benar atau tidak. Atau mungkin data itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan kondisi di lapangan secara riil.

Namun terlepas dari akurat atau tidak, setidaknya hal ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Karena sejatinya era otonomi daerah dapat meningkatkan kesejahteraan dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, ternyata hal itu masih jauh dari harapan. Kondisi ini pula, yang menjadi kegalauan Menteri Keuangan bila belanja pegawai semakin memberatkan belanja negara dan berujung pada upaya program pensiun dini.

Kendati Menkeu Agus Martowardojo menilai, pensiun dini bukan paksaan, tetapi cara ini diyakini bisa meringankan beban negara. Persoalannya, pensiun dini bukan menjadi penyelesaian masalah, tetapi meninjau kembali otonomi daerah dan terlebih beberapa daerah yang banyak berupaya memekarkan diri.

Pemerintah pusat seharusnya menyadari, tingginya belanja pegawai juga tidak bisa lepas dari maraknya pemda melakukan pemekaran diri. Alhasil, bila sudah ada pemerintahan baru, tentunya diperlukan pegawai baru, kendaraan dinas baru dan hingga gaji gubernur, walikota atau bupati baru.
Selain itu, kebijakan pegawai selama ini yang menjadi penyebab tingginya belanja pegawai di tingkat pusat maupun daerah, dituding menjadi biang keladi berikutnya. Sebut saja, remunerasi atas nama reformasi birokrasi, yang terbukti tidak mengurangi perilaku korupsi birokrasi. Pada APBN-P 2010 dianggaran Rp 13,4 triliun untuk remunerasi, pejabat dengan grade I di Kemenkeu dapat memperoleh remunerasi hinga, Rp. 46,9 juta. Kemudian, kenaikan gaji secara berkala mulai tahun 2007 sampai 2011 antara 5%-10%, serta pemberian gaji ke 13.

Terakhir, rekrutmen PNS terus menerus tanpa memperhatikan keterbatasan anggaran, juga kebijakan yang berimplikasi pada beban belanja pegawai seperti pengangkatan Sekdes menjadi PNS. Akibat kebijakan seperti ini, daerah khususnya Kabupaten/Kota, yang memiliki potret APBD lebih besar “ongkos tukang"nya ketimbang belanja pekerjaannya.

Belanja pegawai semakin menggerus belanja modal daerah. Sejatinya, belanja daerah bisa digunakan untuk peningkatan roda ekonomi, infrastruktur dan kesejahteraan rakyat malah hanya fokus pada pegawai. Alhasil, nasib rakyat masih di nomor sekian dan bukan menjadi skala prioritas.

Pemerintah seharusnya segera mengakhiri ketimpangan belanja negara yang sudah menyalahi aturan main. Sebagaimana yang disebutkan pidato presiden dalam nota keuangan negara, bahwa anggaran negara diperuntukkan pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan perekonomian daerah. Selanjutnya, pemerintah dan para policy maker harus meluruskan kembali kedzaliman penggunaan anggaran yang tidak sesuai pada tempatnya agar rakyat tidak terus menerus tertindas.

 

BERITA TERKAIT

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…

BERITA LAINNYA DI

Produk Keuangan Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Selain bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh keberkahan dan ampunan, bulan yang suci…

Gejolak Harga Beras

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta   Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…

Risiko Fiskal dalam Pembangunan Nasional

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…