Pengenaan Pajak dan Biaya Tinggi Untuk Barang Impor - Pemerintah Harus Melindungi Produk Lokal

NERACA

 

 

 

 

 

Jakarta -  Demi mendorong pengembangan industri dalam negeri, Pemerintah berencana menaikkan pajak dan biaya untuk barang-barang impor. Langkah ini juga demi melindungi industri lokal mengingat kualitas lokal saat ini sudah terus berkembang."Kita melindunginya dengan biaya masuk yang kita naikkan supaya harga impor bisa lebih mahal kalau dibandingkan beli di dalam negeri," kata Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat di Jakarta, Rabu (16/10).

 

Menurut Hidayat dengan menaikkan harga impor ini tidak akan menyalahi aturan dari World Trade Organisation (WTO) mengenai perdangan antar negara."Mestinya nanti kalau sudah dibuat oleh Indonesia (bahan baku), kita melindunginya, asal jangan menyalahi aturan WTO saja," tegas dia.

 

Secara jangka panjang, pemerintah Indonesia akan terus meningkatkan investasi terkait produk-produk yang banyak diimpor dari berbagai negara di dunia yang nantinya akan menciptakan subtitusi impor.Ini nantinya akan menjadi daya saing Indonesia lebih bagus di mata dunia, terlebih menjelang ASEAN Economic Comunity 2015.

 

Salah satu bentuk realisasi pemerintah akan hal itu adalah sudah mulainya pembangunan pabrik baja yang akan menjadi pabrik baja terbesar di ASEAN nantinya yang dikelola oleh PT Krakatau Posco."Saya sekarang sedang membuat pabrik baja. Jadi dimulai dari industri dasar. Ini nanti diharapkan akan mampu mengurangi impor baja, misal untuk pembuatan kapal, bangunan, kan impor baja kita masih banyak," tutup Hidayat.

 

Sayangnya hingga saat ini Hidayat belum bisa memastikan kapan penerapan naiknya biaya impor diterapkan mengingat industri Indonesia masih dalam masa berkembang.

 

Sekedar informasi, Saat kinerja ekspor terus melemah dan krisis ekonomi global mengintai, banjir produk impor adalah ancaman yang amat membahayakan. Sekokoh apa pun fundamental ekonomi nasional, lambat laun bakal jebol jika terus-menerus diterjang gelombang impor.

 

Fenomena itulah yang sedang terjadi sekarang. Sejak tahun silam, kinerja ekspor terus melemah. Ekspor kita pada Mei 2012 turun 8,55% dibanding Mei 2011 menjadi US$ 16,72 miliar. Sebaliknya, impor terus meningkat. Hasilnya, dalam dua bulan berturut-turut, neraca perdagangan kita digerogoti defisit. Jika pada April terjadi defisit perdagangan senilai US$ 641,1 juta, maka pada Mei defisit mencapai US$ 485,9 juta.

 

Defisit neraca perdagangan Indonesia bukan hanya dipicu melonjaknya impor barang modal, tapi juga impor barang konsumsi. Tanpa bermaksud menebar kecemasan, defisit neraca perdagangan selama dua bulan berturut-turut adalah sinyal paling otentik bahwa wabah krisis ekonomi global yang menyebar dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) sejatinya sudah mulai menjalar ke Indonesia.

 

Jika krisis ekonomi yang melindas negara-negara Eropa berasal dari sektor finansial, krisis yang mengancam Indonesia bakal datang dari sektor perdagangan. Maka sungguh menggelikan jika pemerintah, dengan alasan ekonomi nasional masih tumbuh 6-6,5%, terus-menerus mengklaim Indonesia luput dari krisis ekonomi global. Bahwa fundamental ekonomi nasional masih cukup kokoh, itu benar adanya.

 

Tapi, Indonesia tidak boleh terus terbuai oleh performa ekonomi nasional yang hingga detik ini, kebetulan, masih cemerlang. Krisis ekonomi yang meluluhlantakkan perekonomian nasional pada masa lalu mengajarkan banyak hal. Salah satunya, kita tak boleh lengah, apalagi terlena. Krisis moneter 1998 datang menyergap ketika kita dibuai pertumbuhan ekonomi yang pesat, angka pengangguran yang rendah, inflasi yang landai, dan nilai tukar rupiah yang stabil.

 

Kini, Indonesia tak boleh lengah. Banjir impor harus diwaspadai sebagai cikal-bakal krisis ekonomi di negeri ini. Sebelum benar-benar menjelma menjadi krisis, kita harus menumpasnya. Defisit neraca perdagangan yang terus menganga adalah fakta bahwa industri nasional sedang digoyang dari dua sisi. Di luar negeri, industri kita harus berjuang memperebutkan ceruk pasar yang kian sempit akibat pelemahan ekonomi negara-negara tujuan ekspor.

 

Di dalam negeri, industri nasional dihantam produk impor, sehingga pasarnya menciut. Industri kita sejauh ini mungkin masih bisa bertahan. Tapi, cepat atau lambat, pelan namun pasti, pertahanan mereka bisa porak-poranda. Hal yang paling kita takutkan dapat terjadi. Mereka akan ramai-ramai mengurangi produksi, melakukan efisiensi, menutup pabrik, dan memangkas jumlah karyawan. PHK akan terjadi di mana-mana. Angka pengangguran dan kemiskinan bakal membubung tinggi.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…