Optimalkan Emisi Obligasi

Oleh : Tumpal Sihombing

Presiden Direktur BondRI

Saat ini, banyak negara maju dan berkembang sedang mengalami kesulitan dalam ranah fiskal terutama di sisi surat berharganya. Amerika Serikat tetap bersiteguh dengan quantitative easing saat menghadapi kondisi shutdown, Jepang tetap bersikeras dengan quantitative dan qualitative easing saat menghadapi positive current account yang konsisten mengalami narrowing, dan Indonesia yang giat menerbitkan surat utang secara masif dalam kondisi defisit fiskal yang masih rawan risiko.

Pertanyaaan yang relevan dan penting adalah, amankah menerbitkan surat berharga saat ini? Jawabannya mudah, pada saat emisi tentu saja mudah berkata aman, saat ini. Namun nanti, pada saat periode investasi berjalan terutama di periode pelunasan, tak ada satupun yang bisa memastikan, apakah aman atau justru default. Siapa yang bisa memastikan jauh hari sebelumnya bahwa kini justru negara superpower lah yang sedang berhadapan dengan kondisi rawan akan surat berharga dan berpotensi default? Memang begitulah karakter alami surat berharga, riuh-heboh di awal namun belum tentu tak rusuh-gaduh di akhir. Investor diharapkan bersikap pruden terhadap karakter ini.

Dari skor kesehatan obligasi BondRI mengindikasikan, kondisi kesehatan utang agregat (negara dan korporasi) yang ada kini kurang kondusif dalam jangka menengah/panjang. Ragam indikator makroekonomi/mikrekonomi/fiskal/moneter dengan bobot masing-masing masuk ke dalam perhitungan BondRI dalam menghasilkan scorecard ini. Secara umum, skor ini sangat terkait dengan kemampuan negara dalam hal penerimaan, rumusan pemerintah secara kuantitif menghadapi defisit, perubahan cadangan devisa, total kapitalisasi aset perbankan serta total emisi baru dan outstanding surat berharga baik (negara maupun korporasi). Semua pertimbangan dan indikator tersebut dikaitkan pula dengan volatilitas rupiah serta dinamika laju inflasi (plus uncontrollable variables lainnya) dalam figur terkini, yang akan mempengaruhi turun-naiknya nilai indikator kondisi kesehatan utang (loan + bond) secara agregat.

UU No.17/2003 menyatakan bahwa pembiayaan maksimum terhadap defisit anggaran dibatasi pada pagu 3% dari PDB. Jadi dengan nilai PDB nominal domestik yang berada di kisaran Rp 9.000 triliun, maka batas financing kita adalah di kisaran Rp 270 triliunan untuk figur total pusat dan daerah. Dus, terhitung dari selisih antara pengeluaran pemerintah (Rp 1.683 triliun) dengan penerimaan negara (Rp 1.530 triliun) sebesar Rp 153 triliun, maka pada saat ini indikator deficit(absolut) to financing ratio nusantara ada di level 56% an. Dalam kondisi indikator yang menurun, tidak lantas buru-buru dinyatakan bahwa kondisi kesehatan utang secara agregat sedang membaik.

Hal ini masih sangat tergantung pada variabel mana yang berubah dan arah perubahannya. Secara ideal tentunya defisit dipertahankan agar tidak semakin melebar dalam kondisi pagu yang tak terancam jebol karena masalah kekurangan pembiayaan tahun berjalan. Artinya, jika nilai absolut defisit fiskal mengalami pengurangan, hal itu dapat dikategorikan cukup sehat jika dan hanya jika nilai efektif dari pembiayaan yang diperoleh via emisi surat berharga juga masih jauh dari level pagunya. Demikian juga, jika nilai efektif pembiayaan semakin kecil dan jika berdampak pada pengurangan figur total penerimaan negara hingga memperlebar nilai absolut defisi anggaran, maka indikator yang bertambah bukan juga berarti suatu kondisi yang menyehatkan dalam jangka menengah/panjang.

Lantas apa yang menjadi esensi? Apa yang perlu dicermati oleh para partisipan pasar terkait hal ini? Sovereign creditworthiness adalah bentuk reputasi pemerintah yang dapat dinilai dari efektivitas pengelolaan keuangan negara dalam ranah fiskal dan moneter, yang secara agregat dapat dinilai dari indikator makroekonomi, dan secara taktis paralel juga dapat dinilai dari indikator mikroekonomi yang tersedia dalam industri. Esensinya, negara kita memang sedang mengalami defisit anggaran dan butuh pembiayaan. Namun, terbitkanlah utang secara pruden sesuai dengan kebutuhan yang ada.

 

BERITA TERKAIT

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…

BERITA LAINNYA DI

Ekspor Nonmigas Primadona

Oleh: Zulkifli Hasan Menteri Perdagangan Neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus pada periode Februari 2024 sebesar USD0,87 miliar. Surplus ini…

Jaga Kondusivitas, Tempuh Jalur Hukum

  Oleh: Rama Satria Pengamat Kebijakan Publik Situasi di masyarakat saat ini relatif kondusif pasca penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Perspektif UMKM di Ramadhan

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Memasuki pertengahan bulan suci Ramadhan seperti ini ada dua arus perspektif yang menjadi fenomena…