Ketika Parlemen Menjadi Institusi Terkorup - Oleh: Rohendi, SIP, Pemerhati Kajian Komunikasi Politik dan Kemasyarakatan

Pada Senin (16/09), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Adnan Pandu Praja, kembali mengeluarkan tudingan pedas tentang moral atau perilaku wakil rakyat. KPK mencatat DPR dan Polri adalah institusi negara yang paling korup. Hingga saat ini, sekurangnya 65 anggota DPR telah dijerat oleh KPK. Yang lebih memprihatinkan adalah di ASEAN, parlemen Indonesia dinilai paling kreatif dan paling canggih korupsinya. Sayangnya, bukannya melakukan introspeksi diri, pimpinan DPR malah sibuk membela diri mencari pembenaran ketika tudingan itu muncul kembali. Ketua DPR, Marzuki Alie, beralasan maraknya korupsi di parlemen bukan semata-mata salah anggota DPR.

 

Pemerintah dituding ikut andil karena mau melakukan deal dengan anggota DPR. Apalagi kuasa pengelolaan anggaran ada di tangan pemerintah. Menurut Marzuki, kasus serupa akan terus terjadi bila tidak ada perbaikan menyeluruh dalam sistem kenegaraan. Pembelaan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, lain lagi. Priyo mengingatkan KPK untuk menghormati DPR. Alasannya, yang membangun dan memilih anggota KPK adalah DPR. Tetapi Priyo berjanji akan menjadikan peringatan Adnan itu sebagai bahan untuk memperbaiki kinerja DPR. Pejabat negara, aparat penegak hukum, dan wakil rakyat di parlemen telah banyak yang ditangkap KPK dan diadili serta divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai koruptor.

 

Tetapi, korupsi terus merajalela. Sanksi dan vonis yang dijatuhkan kepada sejumlah anggota DPR, anggota Polri, dan penegak hukum lainnya belum mampu memberikan kan efek jera bagi yang lainnya. Apalagi penjara ternyata tidak bisa membatasi ruang gerak terpidana, yang berduit. Kebebasan itu bisa mereka beli. Kasus teranyar yang terungkap adalah kasus Muhammad Nazaruddin. Terpidana tujuh tahun perkara suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang itu tetap leluasa mengendalikan bisnisnya. Ia bahkan mendirikan 28 perusahaan baru, memimpin rapat, hingga menginstruksikan \\\"belanja anggaran\\\" ke Dewan Perwakilan Rakyat serta berburu proyek di kementerian dan lembaga pemerintah.

 

Nazaruddin mendapat keistimewaan di dalam bui, terutama di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, sebelum dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, pada 9 Mei lalu. Untuk mendapatkan proyek, ia bergerak ke dua arah: ke atas mengatur anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat dan ke bawah menyogok pemimpin lembaga penyelenggara proyek atau panitia lelang. Ia kemudian menggerumuti tender dengan sejumlah perusahaannya yang seolah-olah dimiliki orang lain dengan penawaran harga berbeda. Coba bandingkan dengan pencuri kelas bawah. Hukuman bagi pencuri kelas bawah jauh lebih berat jika dibandingkan dengan tindak kriminal yang mereka lakukan.

 

Warga biasa yang kedapatan mencuri seekor ayam saja bisa sampai babak belur, bahkan ada yang harus meregang nyawa karena dikeroyok massa. Belum lagi penyiksaan selama terkurung di jeruji besi hingga masa hukumannya berakhir. Tetapi, berbeda dengan koruptor. Mereka masih bisa menghirup udara segar di luar penjara. Mantan pegawai pajak, Gayus Halomoan Tambunan, misalnya. Terdakwa kasus mafia pajak dan pencucian uang itu masih bisa menonton tenis Tournament Commonwealth Bank Tournament of Champions, di Nusa Dua, Bali, Jumat (5/11) dua tahun lalu, saat yang bersangkutan menjadi tahanan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Koruptor juga bisa memesan tempat di penjara seperti layaknya sebuah kamar hotel berbintang. Seperti yang dilakukan Artalyta Suryani alias Ayin.

 

Pengusaha yang menyuap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Urip Tri Gunawan, sebesar 660.000 dollar AS ini memperoleh fasilitas kamar mewah di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Fasilitas kamar tahanannya sangat nyaman, dilengkapi AC, lemari es, sofa, dan fasilitas karaoke. Mirip lounge sebuah hotel. Publik menjadi gamang. Negeri, yang dulunya selalu mengusung dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang positif dalam setiap aspek kehidupan warga negaranya, kini tinggal cerita dan kenangan.

 

Berlomba Memperkaya Diri

 

Hampir semua aspek sosial di negara ini sudah tercemari oleh hal-hal yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral yang senantiasa digembar-gemborkan itu. Para pejabat negara berlomba-lomba memperkaya diri. Tidak hanya itu, pegawai pajak, anggota Dewan, aparat kepolisian, hakim, dan jaksa hampir sama saja. Ironisnya, itu dilakukan di tengah rakyat yang masih banyak kekurangan. Penyebab utama bermunculannya wajah koruptor-koruptor baru di negara ini bukan hanya karena ada kesempatan, tetapi juga karena lemahnya hukuman. Hukuman yang dijatuhkan terkesan ringan dan sangat fleksibel. Tidak ada efek jera. Tidak heran kalau selalu saja ada generasi baru penerus para koruptor.

 

Jujur harus kita katakan bahwa saban kali pesta keramaian lima tahunan, rakyat di negeri ini selalu menaruh setumpuk harapan baru. Khususnya, harapan adanya perubahan yang lebih baik bagi bangsa ini. Dan, harapan itu diamanahkan ke pundak orang-orang pilihan yang dihantarkan rakyat ke lembaga terhormat; legislatif. Sudahkah harapan itu diwujudkan oleh para wakil rakyat kita? Menjawab pertanyaan seperti ini tidak terlalu sulit. Sebab, jawabannya tidak akan pernah jauh alias berbeda dengan yang sudah-sudah. Artinya, apa yang diharapkan 200 juta lebih rakyat di negeri ini tak lebih hanya tinggal harapan.

 

Dan, harapan itu selalu berbanding terbalik dari realitas yang diharapkan. Harapan sebuah perubahan yang lebih baik hanyalah sebuah utopis semata. Ya, realitas ini yang saban waktu tersajikan kepada kita sebagai rakyat biasa. Bagaimana begitu manisnya orang-orang pilihan itu menjual janji-janji manis sebuah perubahan kepada kita yang ternyata hanya sebuah dusta belaka. Fakta tak memungkiri memang benar terjadi sebuah perubahan. Namun, sejatinya yang berubah adalah prilaku wakil-wakil rakyat yang telah mengalami transformasi sosial. Mereka mengalami kejutan budaya di mana ego personal dan kelompok jauh lebih utama daripada merealisasikan yang diimpikan dan diharapkan rakyat.

 

Jujur saja, sejatinya rakyat sudah teramat apatis ketika menghadapi bentuk-bentuk pesta keramaian yang melibatkan mereka. Sebab, ujung dari sebuah pesta itu memang tidak pernah memberikan harapan baru. Yang terjadi, justru kepentingan mereka yang terpilih dengan segudang ambisi pribadi dan kelompoknya. Ironisnya, ketika menyoroti prilaku anggota dewan terhormat seperti berteriak di tengah padang pasir yang luas. Sekencang apa pun teriakan yang kita suarakan seolah hanya akan terdengar sayup-sayup. Dan, suka tidak suka, bunyi teriakan kita tidak akan bisa mengubah para wakil rakyat yang asyik dengan dunianya; datang, duduk, diam, dengkur, dan duit.

 

Kita tentu sedih terhadap lembaga terhormat seperti DPR berisikan orang-orang yang hanya asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Lembaga (DPR) yang sebenarnya adalah pelayan masyarakat, kini justru terbalik menjadikan rakyat sebagai pelayan mereka. Karenanya jangan disalahkan kalau kemudian banyak orang menafsirkan lembaga DPR sebagai \\\'Dewan Pemeras Rakyat\\\'. Sangat banyak bukti yang bisa dijadikan alasan mengapa DPR ditafsirkan seperti itu. Banyaknya terjadi kasus korupsi dengan mafionya di DPR, gaya hidup mewah para legislator, kunjungan kerja alias safari ke luar negeri, dan budaya bolos rapat. Semua yang dilakukan mereka itu menggunakan uang rakyat secara semena-mena. (analisadaily.com)

 

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…