Industri Nasional Harus Menang dalam Ajang Masyarakat Ekonomi ASEAN

NERACA

 

Jakarta - Pintu gerbang kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) 2015, tidak lama lagi akan dibuka. Ini merupakan tonggak awal dari sebuah pertarungan terbuka dan persaingan semua negara anggota ASEAN disektor perekonomian yang meliputi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga terampil dan arus modal yang lebih bebas, sebagaimana ketentuan tersebut telah dibuat dan disepakati dalam cetak biru pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke 19 di Bali 2011 yang lalu.

Konsep dari kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN ini merupakan suatu sistem ekonomi yang terintegrasi di dalam kawasan itu dengan tujuan agar lebih maju dan efisien dan beberapa kebijakan seperti penerapan pasar tunggal dan basis produksi regional,  kawasan berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan terintegrasi dengan perekonomian dunia.

Namun, apabila kita melihat struktur wilayah dan jumlah penduduk anggota ASEAN,Indonesia merupakan yang paling besar dan paling banyak penduduknya. Sebagai negara terbesar di ASEAN dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, bahkan diperkirakan penduduk Indonesia 40% dari total seluruh penduduk anggota ASEAN menjadi salah satu pasar yang potensial bagi negara pesaing, karena konsumsi masyarakat yang besar dan jumlah penduduk kelas menengah yang terus naik.

Fakta yang ada di lapangan sejumlah kalangan seperti Anggota DPR, menteri,para pengusaha pesimis produk industri nasional bisa bersaing dengan produk negara anggota ASEAN yang lain. Pasalnya pengembangan industri nasional masih terkungkung  sejumlah hambatan yang justru dari dalam negeri sendiri, seperti kondisi infrastruktur yang tidak memadai, membuat biaya logistik tinggi, tarik ulur kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan upah minimum yang mencapi 40%. Belum lagi tarik ulur masalah ketenagakerjaan, hingga masalah maraknya pungutan liar hingga izin birokrasi yang berbelit.

Indikator Penting

Sejumlah hambatan tersebut, menurut pelaku industri nasional memang menjadi biang keladi, penghambat peningkatan daya saing produk industri sejak beberapa waktu silam. Bahkan, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima, mengungkapkan pernyataan yang sangat keras. Terlebih lagi, Aria meminta pemerintah untuk melakukan pengkajian ulang kesepakatan dengan para petinggi ASEAN harus  dilakukan, mengingat kondisi industri nasional yang belum siap. \"Perlu adanya kesepakatan dengan para petinggi ASEAN, masterplan di Indonesia seperti apa. Kita belum siap,\" tegasnya.

Menurut Aria, kondisi subjektif menjadi indikator yang penting dalam AEC 2015 adalah,produk industri harus mampu mendongkrak volume perdagangan nasional. \"Artinya harus memberi penguatan industri dalam negeri untuk ekspor,\" imbuhnya.

Untuk saat ini,lanjut Aria ada beberapa hal yang perlu diperbaiki agar industri nasional dapat bersaing, dengan melakukan perbaikan daya saing industri melalui penyelesaian masalah-masalah yang tengah dihadapi oleh industri. Komisi VI DPR meyakini industri nasional belum siap menghadapi AEC 2015. Buktinya, pelaku industri sudah banyak menyampaikan masukan terkait AEC 2015 yang menyatakan belum siapnya industri.

Berbagai Hambatan

Di sisi lain, Menteri Perindustrian MS Hidayat juga merasa tidak percaya diri dalam menghadapi AEC 2015 nanti. Ini lebih disebabkan karena begitu banyak hambatan yang menghadang industri nasional, seperti kurangnya infrastruktur sehingga beban biaya logistik harus ditanggung oleh pelaku industri. \"Biaya logistik yang terlampau mahal serta buruknya infrastruktur membuat industri nasional \"gugup\" menghadapi AEC 2015 nanti,\" ungkap Hidayat.

Kekhawatiran pemerintah, menurut Hidayat, dipicu dengan masih mahalnya biaya logistik serta minimnya pembangunan infrastruktur di dalam negeri yang membuat daya saing industri nasional masih kalah dibandingkan negara kompetitor di kawasan Asean. \"Di Indonesia biaya logistik saat ini rata-rata masih 16% dari total biaya produksi. Sedangkan normalnya maksimal hanya 9% sampai dengan 10%, jika tidak diperbaiki nanti Indonesia hanya menjadi penonton,\" tukas hidayat.

Hal senada juga diungkapkan oleh kalangan pengusaha yang tergabung dengan Kadin dan Apindo. Merasa tidak siap menghadapi AEC karena hambatan yang ada di dalam negeri begitu berat sehingga industri nasional menanggung beban yang berat, sehingga produk yang mereka hasilkan kurang berdaya saing dari segi kualitas dan kuantitas.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto meragukan kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC 2015. Karena hingga saat ini, pemerintah maupun dunia usaha belum terlihat berupaya mengintegrasikan program untuk persiapan ke arah itu.

Untuk menghadapi AEC, Kadin berharap adanya keterlibatan integratif dalam pembuatan kebijakan pemerintah Indonesia seperti yang sudah dilakukan negara-negara Asean lain, di antaranya Singapura, Malaysia, dan Thailand. \"Dalam hal ini, Indonesia masih harus berbenah karena sektor swasta masih jauh berada di luar lingkaran pengambilan keputusan oleh negara,\" ujar Suryo.

Namun, ujar Suryo, jika AEC diberlakukan akhir 2015, Asean akan terbuka untuk perdagangan barang, jasa, investasi, modal, dan pekerja (free flow of goods, free flow of services, free flow of investment, free flow of capital, dan free flow of skilled labor). \"Terserah pada masing-masing negara untuk mendapatkan kemanfaatan dari kebebasan tersebut. Akan tetapi, pemerintah sudah seharusnya mendukung dunia usaha. Untuk itu,pemerintah harus menghilangkan semua hambatan agar dunia usaha bisa  meningkatkan daya saing,\" jelas Suryo.

Bersiap Diri

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan Indonesia butuh bersiap diri menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Menurut dia, selama ini tak terlihat persiapan pemerintah Indonesia maupun pengusaha untuk menghadapi AEC. Menurut dia, AEC harus bisa dihadapi oleh pemerintah bersama pengusaha, juga masyarakat. \"Salah satunya urusan aturan birokrasi yang berbelit,\" ujar dia.

Sofjan menyebutkan banyak peraturan yang dibuat tapi justru overlap. Contohnya, kata dia, aturan dipakai dengan pilih-pilih. Kalau tak suka dengan pengusaha aturan diberlakukan, kalau suka dengan pengusaha tak diberlakukan.\"Ini kan birokrasi justru bikin susah,infrastruktur juga belum memadai,\" kata dia.

Saat pemberlakuan AEC, sudah pasti akan berdampak pada perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN. Terbukanya akses-akses ekonomi akan memunculkan persaingan di sektor usaha semakin tinggi. Bukan hanya bersaing di dalam negeri, pengusaha-pengusaha Indonesia akan berhadapan secara langsung dengan pengusaha di tingkat regional.

Akan tetapi, pengamat ekonomi dari Econit Hendri Saparini mengatakan saat pelaksanaan AEC nanti, perekonomian Indonesia bisa diibaratkan \"seperti kapal laut yang sedang menghadapi hujan badai di tengah samudera\". \"Jika industri nasional mampu menerjang badai dan bertahan,maka perekonomian Indonesia akan selamat dan produk dari industri nasional mampu untuk bersaing,\" ungkapnya.

Lebih lanjut lagi, Hendri Saparini mengatakan apabila dilihat dari kondisi industri dalam negeri yang sebenarnya. Bisa dipastikan pada saat awal pemberlakuan AEC 2015 nanti,industri nasional belum sepenuhnya siap untuk menghadapi pertarungan dan persaingan dengan produk dari negara ASEAN yang lainnya.

\"Pada awal pemberlakuan AEC, satu atau dua tahun pertama,produk industri nasional memang belum siap bersaing. Ini lebih disebabkan adanya hambatan di industri nasional, belum semuanya teratasi oleh pemerintah.Namun seiring berjalannya waktu serta upaya pemerintah yang bertekad, menghilangnya seluruh hambatan yang ada,bisa dipastikan industri dalam negeri mampu untuk bersaing dan sukses di AEC nanti,\" terang Hendri Saparini saat dihubungi Neraca.

Namun apapun itu, industri nasional masih punya waktu untuk mengakselerasi kesiapan menghadapi AEC atau MEA tersebut. Harapannya, seiring dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan ajang ini, dengan kesiapan yang mantap, industri nasional akan menjadi pemenang dalam kompetisi tersebut.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…