SUBSIDI PERTANIAN KUNCI PERBAIKAN EKONOMI - Benahi Sektor Pertanian Nasional

Jakarta – Guncangan perekonomian nasional yang ditandai oleh anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, kaburnya investasi dari pasar bursa, melorotnya ekspor dan banjirnya impor, bisa diatasi secara mudah. Solusinya, benahi sektor pertanian nasional.

Menurut pengamat ekonomi pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, pertanian adalah jawaban untuk sebagian besar persoalan di Indonesia. “Kalau persoalan pertanian selesai, maka terselesaikan juga sebagian besar persoalan Indonesia, terutama kemiskinan dan pengangguran,” jelas Khudori kepada Neraca, Senin (9/9).

NERACA

Sayangnya, menrut Khudori, anggaran yang dikucurkan untuk Kementerian Pertanian terbilang kecil. Menurut dia, struktur dan politik anggaran yang berjalan di Indonesia tidaklah memadai untuk mendorong sektor pertanian dengan signifikan. Pertanian tidak dilihat sebagai tulang punggung atau harapan ekonomi masa depan.

Kalau anggaran untuk sektor pertanian digabung, termasuk anggaran untuk irigasi yang bermarkas di Kementerian Pekerjaan Umum (PU), lanjut Khudori, memang akan terlihat besar. Tetapi sering kali terjadi program-program pengembangan pertanian menjadi tidak nyambung.

“Kementerian Pertanian yang berkepentingan untuk meningkatkan produktivitas dan produksi sering tidak nyambung dengan dana-dana yang dikelola kementerian lain. Misal irigasi, bagaimana mungkin Kementerian Pertanian bisa menggenjot produksi kalau sampai hari ini 52% infrastruktur irigasi itu hancur atau rusak! Jadi target-target Kementerian Pertanian untuk mencapai swasembada yang mensyaratkan perbaikan irigasi itu tidak kompatibel dengan Kementerian PU,” tandas Khudori.

Dia menyebut, ketidaksesuaian kepentingan untuk mengembangkan pertanian juga tidak sejalan dengan yang dilakukan Kementerian Perdagangan. “Kementerian Perdagangan sangat pro dengan impor. Jadi di satu sisi Kementerian Pertanian ingin produksi, tapi di sisi lain ada kebijakan-kebijakan Kementerian Perdagangan yang liberal dan sangat pro impor. Maka beberapa insentif yang dilakukan untuk sektor pertanian menjadi sia-sia,” kata dia.

Indonesia, lanjut Khudori, belum serius mengembangkan industri di sektor pertanian. Lihat saja pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor-sektor non-tradable. Sektor tradable, termasuk pertanian, hanya tumbuh kurang dari separuhnya.

“Idealnya, industri yang kita bangun itu berdasar industri yang kita punya, ya pertanian. Bukan industri seperti sekarang yang menyebabkan 70% impor adalah bahan baku dan bahan penolong,” tegas Khudori.

Pertanian Tak Diurus

Di tempat terpisah, Winarno Tohir, Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menegaskan, pemerintah tidak serius dalam menangani masalah pertanian di Indonesia. Banyak program yang dirumuskan, tapi tidak ada realisasi di lapangan hanya sebatas pembicaraan di rapat-rapat saja. “Kita negara agraris, harusnya sektor pertanian menjadi perhatian khusus dari pemerintah. Tapi ini tidak, pemerintah hanya punya program tapi realisasi di lapangan tidak ada,” kata Winarno, kemarin.

Pasalnya, lanjut Winarno, sampai sejauh ini banyak program-program pemerintah yang tidak jalan, misalnya soal subsidi. Memang ada subsidi pupuk dari pemerintah sebesar 65%. Tapi itu tidak cukup, karena yang lainnya tidak disubsidi. Saat ini saja katanya ada benih gratis, tapi realisasinya tidak ada. “Cost atau modal petani besar, sedangkan pemerintah memberikan subsidi tidak seberapa maka dari itu banyak petani yang tidak bisa menanam karena keterbatasan modal,” terangnya.

Harusnya, imbuh Winarno, pemerintah sadar untuk memperhatikan nasib petani Indonesia. Karena hingga ini subsidi pemerintah yang masuk dan langsung diterima oleh petani hanya 6% dari anggaran APBN. Idealnya itu subsidi baik dari pusat maupun daerah itu 10% dari anggaran APBD maupun APBN. “Sepuluh persen saja itu sudah batas minimal. Kalau berkaca dari negara lain sektor pertanian harusnya lebih dari 50% subsidi untuk petani. Mengingat Indonesia menjadi negara agraris, sektor pertanian harusnya mendapatkan dukungan penuh dari pemeerintah,” ujarnya.

Belum lagi untuk infrastruktur seperti irigasi dan jalan. Sejauh ini, irigasi yang ada sisa peninggalan zaman dulu, dan sampai kini belum ada lagi pembuatan saluran irigasi. Belum lagi jalan, hampir tidak ada pembangunan. Sedangkan untuk infrastruktur yang ada saat ini lebih dari 52% sudah rusak.  “Untuk perbaikan aja pemerintah masih belum bisa tanggap, apalagi membangun baru,” bebernya.

Realita kini, sektor pertanian masih menjadi anak tiri bagi pemerintah. Padahal apabila, sektor pertanian kita sehat semua sektor yang lainnya bisa mengikuti. “Walaupun secara global ekonomi sedang terpuruk. Tapi apabila pertanian kita sehat, kebutuhan pangan tercukupi. Saya yakin sektor yang lain mengikuti. Tidak ada pengaruh terhadap dampak ekonomi dunia,” tandasnya.

Lihat saja dari beberapa tahun ini, hampir semua pangan diimpor dari luar. Pada hal semua produksi pangan itu harusnya bisa diproduksi dalam negeri. Kondisi seperti ini jelas mencerminkan bahwa ada permainan untuk memonopoli perdagangan di Indonesia. “Saya rasa melihat kondisi sekarang, memang Indonesia didesain untuk menjadi negara pengimpor, bukan negara produksi,” jelasnya.

Padahal dulu di zaman orde baru, sudah dimunculkan program swasembada pangan yang kemudian menjadi industri berbasis pertanian. Tapi setelah reformasi sudah tidak mendapatkan sentuhan lagi. “Kalau kita fokus menjalankan program swasembada pangan, melanjutkan program dulu Indonesia tidak terpuruk seperti sekarang,” tandasnya.

Guru Besar Universitas Brawijaya Prof Dr Achmad Erani Yustika menjelaskan bahwa masalah pangan adalah masalah klasik yang tidak pernah diselesaikan pemerintah. \"Pemerintah pasti sudah tahu bahwa jalan keluar dari masalah pangan adalah subsidi pangan. Namun pemerintah tidak punya niat baik untuk memberikan subsidi pangan karena kepentingan politik,\" ujarnya.

Menurut dia, sejauh ini International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organization (WTO) tidak melarang sepenuhnya untuk dilakukan subsidi terhadap pertanian. Menurut dia, pemerintahnya saja yang tidak ada keinginan untuk mensubsidi pangan. \"Pemerintah masih tidak memanfaatkan hal ini, padahal negara-negara lain menjadikan sektor pertanian menjadi daya tahan dan menjadi fundamental ekonomi mereka dengan memberikan subsidi,\" katanya.

Sebenarnya, lanjut Erani, pemerintah telah mengedepankan sektor pertanian menjadi leading sektor di era orde baru, namun kini telah berubah karena banyak perang kepentingan. Untuk itu, ia menghimbau agar pemerintah segera mengubah struktur dan alokasi anggaran APBN untuk lebih memperbanyak subsidi pertanian. \"Dengan pemerintah memberikan tambahan anggaran untuk pangan, maka nantinya akan tercipta peningkatan produktivitas. Hasilnya, Indonesia tidak akan ketergantungan terhadap impor dan nantinya defisit neraca perdagangan yang disebabkan dari impor pangan akan berkurang. Ujungnya adalah, para petani mendapatkan hasilnya dengan peningkatan daya beli,\" tuturnya.

Dia menyebutkan bahwa subsidi sektor pertanian bisa berupa banyak hal seperti subsidi terhadap pupuk, benih, perbaikan irigasi, akses terhadap perbankan, mendekatkan rantai perdagangan antara petani dengan konsumen tanpa melalui tengkulak, dan menjadikan Bulog sebagai stabilisator harga pangan. \"Hal itu semua perlu dana besar. Maka dengan peningkatan anggaran subsidi adalah jalan keluar yang tepat,” paparnya. 

Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih mengungkap, sektor pertanian Indonesia dalam tahap kritis, pasalnya hampir semua sektor pangan kita berasal dari impor. Bahkan yang lebih parah lagi pemerintah tidak punya kebijakan yang baik dalam pengembangan sektor pangan.

\"Hampir 10 tahun ini pemerintah tidak konsisten mengembangkan pertanian. Kalau pun ada program, implementasinya tidak ada. Padahal ketahanan suatu negara ada di sektor pangannya,” jelas Bungaran saat dihubungi Senin.

Dia mengungkap, pemerintah harus memberikan prioritas subsidi kepada sektor pertanian. Ini ditujukan untuk menggenjot produktivitas pertanian dalam negeri agar Indonesia tidak lagi terus bergantung pada impor.

\"Saat ini subsidi pertanian sangat minim, pelatihan dan pembinaan para petani di daerah penghasil pangan juga tidak ada. Pemerintah seakan tidak peduli dan melakukan pembiaran di sektor pangan,” keluh Bungaran.

Bungaran juga menyarankan kepada pemerintah untuk keluar dari World Trade Organization (WTO) dan menolak semua saran dari International Monetary Fund (IMF) karena dua lembaga itu membuat liberalisasi perdagangan dan membuat Indonesia dengan mudahnya melepaskan subsidi dan menekan tarif bea masuk sehingga pasar lokal kebanjiran produk impor.

\"Saran dari kedua lembaga itu menyesatkan untuk ketahanan pangan dalam negeri. Jangan semuanya diikuti, yang baik kita ambil kalau yang tidak sesuai harus kita tolak dan bantah, kita harus punya sikap yang tegas,” papar Bungaran.

Pemerintah, tandas Bungaran, dalam membangun pertanian yang kuat tidak perlu tunduk dengan aturan-aturan liberalisasi perdagangan yang dikemas IMF dan WTO, hendaknya menjadi tekad yang kuat bagi pemerintah untuk menjadikan pertanian sebagai sektor unggulan.

Ke depan, imbuh Dia, kebijakan ekonomi harus lebih mengarah pada pemberdayaan masyarakat kecil dan petani. Subsidi yang telah dihapuskan atau dihilangkan agar dihidupkan kembali bahkan menjadi skala prioritas, seperti pemberian subsidi pupuk dan kredit petani. Pemerintah juga harus berani menerapkan tarif bea masuk yang cukup besar pada komoditi pertanian impor.

“Mulai sekarang, pemerintah harus melindungi pertanian dalam arti luas, karena bagaimana pun juga ketahanan pangan dalam negeri harus kuat,” papar Bungaran.

Meski nantinya  konsekuensi tersedotnya anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) ke arah sektor pertanian, Bungaran menilai itu tidak masalah, yang lebih penting pemerintah harus berusaha mengurangi pengeluaran pada pos-pos yang dianggap tidak penting.

Selama dua periode kepemimpinan presiden SBY, Bungaran melihat pemerintah belum menelorkan kebijakan yang mampu membantu petani alias masih belum punya komitmen terhadap sektor pertanian. Padahal yang harus disadari, tanpa pemberian subsidi bagi pertanian, tidak mungkin produk pertanian kita bisa mencukupi.

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…