SOK IKUT PASAR BEBAS DUNIA - Budaya Impor, Kedaulatan Pangan Hancur

Jakarta – Budaya impor yang dianut pemerintah Indonesia telah menghancurkan strategi bangsa ini menuju kedaulatan pangan. Akibatnya, kebutuhan pangan bangsa ini sangat bergantung pada impor dari manca negara.

“Pemerintah lebih memperhatikan impor dari pada peningkatan produksi. Padahal jika pemerintah lebih memikirkan pada faktor peningkatan produksi maka akan bertahan dalam jangka panjang dari sisi pangan. Sementara impor hanyalah penyelesaian yang sesaat, tetapi sayangnya pemerintah mulai ketagihan,” kata pakar ekonomi pertanian HS Dillon kepada Neraca, Rabu (4/9).

NERACA

Dillon juga mengritik konsep ketahanan pangan nasional yang hanya menjalankan agenda Bank Dunia sehingga membuka perdagangan bebas di sektor pangan dan komoditas pertanian lainnya. Untuk itu, Dillon cenderung mengusulkan agar pemerintah menjalankan kedaulatan dan kemandirian pangan yang berujung pada peningkatan produktivitas pertanian dan menyejahterakan para petani.

Sebab, lanjut dia, ketahanan pangan tidak berarti apa-apa kalau pada saat bersamaan para petani justru mengalami penurunan kesejahteraan. Bahkan ada kecenderungan para petani makin miskin akibat rendahnya daya beli. \"Jadi jelas, arah pembangunan sektor pertanian ini bertopang pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani, bukan pengusaha besar yang memanfaatkan agenda ketahanan pangan untuk mengimpor secara leluasa saja,” ujarnya.

Bahkan, dia menilai, saat ini kondisi pertanian Indonesia sangat tertinggal dari negara lain, seperti Thailand, India, Malaysia, dan Vietnam. “Indonesia belum memiliki peta perkembangan pertanian ke depan seperti apa. Pertanian bukan hanya masalah beras saja, melainkan juga semua tanaman pangan yang harus dikelola. Sementara konsumsi pangan semakin meningkat, sedangkan lahan pertanian sudah mulai berkurang,” jelasnya.

Sementara itu, ahli pangan Indonesia Bustanul Arifin menyayangkan kebijakan pemerintah untuk membuka kran impor pangan sampai akhir tahun ini.

Dia menilai, seharusnya impor itu hanya dilakukan dalam kondisi darurat dan sementara saja bukan terus menerus. Ketergantungan pada impor menjadikan kemandirian pemerintah kurang dalam menangani kekurangan kebutuhan pangan dalam negeri.

“Impor harusnya dilakukan dalam kondisi darurat saja, dan itu sifatnya sementara saja, tidak berlangsung terus menerus,” kata Bustanul, kemarin.

Kalau sudah seperti ini, program pemerintah Swasembada Pangan 2014 dipastikan gagal. “Pemerintah sudah tidak bisa lagi merealisasikan Swasembada Pangan, untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Dan saya pastikan sangat sulit sekali tercapai,” jelasnya.

Memang, imbuh Bustanul, kondisi pemerintah saat ini sangat sulit. “Sampai dengan akhir jabatan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), belum tentu masalah pangan ini teratasi. Saya sudah memperkirakan dari tahun 2010, pasti ada gejolak pangan, karena memang kondisinya sistem produksi lahan sudah banyak yang rusak dan belum ada sentuhan dari pemerintah,” tuturnya

Dia menyebut, bakal banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus dilakukan oleh pemerintahan baru nanti.

Bagi Bustanul, harusnya ada langkah antisipasi dan langkah konkrit pemerintah pusat dan daerah untuk memperbaiki sistem produksi yang sudah rusak, atau membuka lahan baru. “Saat ini sistem produksi lahan sudah banyak rusak, harusnya ada action dari pemerintah pusat dan daerah untuk bersinergi memperbaiki atau membuat lahan baru,” urai Dia.

Tapi, ujar Dia, kalau tidak ada perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki sistem produksi, terutama perbaikan lahan atau membuka lahan baru, sangat mustahil masalah pangan teratasi. “Harusnya pemerintah membuka lahan yang produktif. Setidaknya berpikir untuk jangka panjang,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi menilai pemerintah tidak punya strategi yang baik untuk membangun ketahanan pangan di dalam negeri. Seharusnya pemerintah mempunyai tekad yang kuat untuk menggenjot produksi pangan dalam negeri.

“Janganlah kita terus impor pangan. Sedikit-sedikit impor pangan atau impor sapi. Mau jadi apa kita nanti? Genjot dulu produksi dalam negeri. Kalau kurang sedikit baru impor, jangan dijadikan andalan,” keluh Sofjan, Rabu.

Dia memaparkan, pemerintah tidak punya perencanaan baik. Kalaupun punya rencana, tapi tidak dilakukan. Tidak pernah kasih bibit unggul yang baik ke petani, agar petani bisa menanam pada saat bukan musim tanam padi. “Ya bagaimana kebutuhan kita tinggi, produksinya nggak cukup. Pemerintah tidak pernah serius dan tidak punya strategi. Akibatnya apa? impor inilah itulah,” tandas Sofjan.

Kalau pemerintah mempunyai strategi pengembangan pangan yang baik, lanjutnya, keadaan seperti ini tidak akan pernah terjadi. Dulu Indonesia pernah mencapai swasembada pangan karena pemerintah pada waktu itu mempunyai strategi yang lebih baik dari pada saat ini.

Menurut Sofjan, kebijakan impor pangan menjadi sebuah cerminan atau gambaran tentang gagalnya ketahanan pangan bangsa. “Barangkali kita bisa mengatakan bahwa ketahanan pangan bangsa kita sangatlah lemah. Bahan makanan seringkali susah didapat di pasaran dan harganya pun tentu saja melambung tinggi. Dalam beberapa kasus, ketika pangan langka dan harganya tinggi, pemerintah selalu menyalahkan kondisi cuaca yang mengakibatkan gagal panen.

Padahal, lanjut Sofjan, gagal panen bukanlah satu-satunya penyebab Indonesia harus impor pangan. “Poin pentingnya adalah lemahnya sistem ketahanan pangan di negara kita untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri,” tegas Dia.

 Untuk saat ini, Sofjan berharap pemerintah bisa menstabilkan harga pangan karena terkait dengan gejolak perekonomian dalam negeri. “Tentunya harus diimbangi dengan manajemen stok yang baik. Pemerintah harus berkomitmen kuat mengatasi segala persoalan pangan nasional secara komprehensif dari hulu ke hilir agar tidak harus selalu bergantung pada impor,” jelasnya.

 

Sementara itu, usai mengikuti rapat koordinasi tentang pangan, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menyatakan, Pemerintah masih akan terus mengimpor bahan-bahan kebutuhan pokok. “Impor kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedelai dan lainnya. Tapi kita tetap melindungi petani dari sistem produksi nasional,” kata Dia.

Kebijakan tersebut, sambung Bayu, diambil karena melihat kenyataan bahwa produksi kebutuhan pokok tidaklah sebaik yang diharapkan. Produksi beras dalam angka ramalan I yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) hanya tumbuh sebesar 0,3%. Populasi sapi kerbau berkurang dua juta ekor dalam dua tahun terakhir, dari 16,73 juta ekor pada 2011 menjadi 14,17 juta ekor di 2013 berdasar data Sensus Pertanian yang baru-baru ini dilansir BPS.

“Itu adalah bentuk dari kondisi produksi kita. Karena masih demikian, maka kita masih memenuhinya dari impor,” ujar Bayu.

Khusus untuk kedelai, lanjut Bayu, yang menjadi kunci utama adalah memastikan bahwa kedelai tersedia cukup untuk para perajin tahu tempe. Dalam hitungan minggu atau hari, akan masuk lagi dua kapal yang masing-masingnya berkapasitas 60 ribu ton. Jadi total 120 ribu ton.

“Itu akan segera masuk sehingga pasokannya segera terjamin. Paling tidak sebulan sampai dua bulan ke depan. Dan seterusnya itu akan didorong untuk ketersediaan pasokannya ada,” kata Bayu.

Mengenai harga, Bayu mengatakan yang dilakukan sekarang adalah mengamankan harga petani. Tujuannya adalah sebagai insentif produksi, agar petani kedelai tidak ragu untuk menanam kedelai. Kemudian untuk harga jual, berhubung kedelai adalah barang impor, maka faktor pelemahan Rupiah adalah faktor yang penting. “Kita coba kendalikan nilai tukar mata uang kita,” kata Bayu.

Impor Bulog

Di tempat yang sama, Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Sutarto Alimoesa mengungkap, pemerintah masih bertahan dengan skema impor khususnya untuk komoditas beras dan kedelai untuk menjaga stok pangan. Dengan begitu pemerintah melihat harga pangan dapat terjaga stabilitasnya.

“Kita juga harus hati-hati menjaga harga. Karena sekarang kita sudah berhasil mengendalikannya. Jangan sampai drop lagi. Untuk itu kita masih perlu impor,” katanya.

Sutarto menambahkan, agar tidak impor semestinya target produksi beras dalam negeri musti tercapai, yaitu sekitar 700 ribu ton sampai 800 ribu ton per tahun. Namun Dia melihat kemungkinan produksi beras hanya mampu mencapai 300 ribu ton per tahun. Menurutnya jika target produksi itu sendiri tidak terpenuhi maka akan terjadi lagi gejolak pangan.

“Hingga akhir tahun ini stok beras kita masih aman. Tapi tahun ini juga kita akan segera impor beras. Nanti akan kita alokasikan untuk stok awal tahun 2014,” tutur Sutarto.

Begitu juga dengan penyediaan kedelai untuk kebutuhan dalam negeri. Sutarto mengatakan Kementrian Perdagangan telah menyetujui impor kedelai khusus Bulog sebanyak 100 ribu ton. Selama ini produksi kedelai baru mencapai 800 ribu ton per tahun. Padahal kebutuhan dalam negeri bisa mencapai 2,5 juta ton per tahun.

“Namun sejumlah kedelai itu baru bisa direalisasikan di akhir tahun 2013 jumlahnya pun masih kurang. Harusnya kedelai sudah masuk di Oktober atau paling lambat akhir tahun. Tapi kemungkinan akan sedikit terlambat karena perizinannya saja baru kita dapat Senin kemarin. Kalau saja izin itu bisa diberikan pada bulan Maret atau April maka kita bisa mensuplai kedelai impor tepat waktu,” jelas Sutarto.

Keterlambatan itu dinilai Sutarto telah menghambat hubungan dagang yang sebelumnya sudah terjalin. Sehingga Bulog terpaksa harus kembali membangun negosiasi ulang dengan para pengusaha penyedia kedelai dari luar negeri. Sementara ini pihaknya masih melirik Amerika Serikat (AS) sebagai mitra kerjasama penyediaan kedelai.

“Mungkin kita masih impor dari AS karena mereka produksinya paling besar. Tapi memang harga kedelai mereka sedang naik karena dollar. Sebelumnya Brazil, India dan Myanmar juga sudah memberi tawaran. Tapi nanti kita mempelajari ulang dulu kedelai seperti apa yang diinginkan produsen dalam negeri kita,” papar Sutarto.

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…