Beban Sejarah Industri Gula - Oleh : Adig Suwandi, Praktisi Agribisnis, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Gula Indonesia

Keberadaan gula sebagai komoditas vital-strategik dalam ekonomi pangan Indonesia telah membawa pemerintah pada opsi tidak terlalu mudah. Persinggungan antara basis produksi yang melibatkan petani, sistem manufaktur dengan efisiesi beragam, pola penjualan yang tunduk mekanisme pasar, dan tekanan komunitas global bagi negara untuk membuka akses pasar seluas-luasnya menjadi domain yang tidak pernah terselsaikan secara memuaskan. Fluktuasi produksi di tengah hempasan perubahan iklim (climate change), makin mahalnya nilai sewa lahan dan biaya usahatani, lemahnya dukungan riset terapan, dan revitalisasi belum secara komprehensif mengarahkan pabrik gula (PG) menjadi industri berbasus tebu, barangkali merefleksikan dinamika persoalan yang mengambang terus. .

Manajemen PG mulai dikenal usai periode Tanam Paksa ketika sejumlah investor Eropa menyewa lahan petani dengan dukungan fasilitas pemerintah kolonial dan mengantarkan Hindia Belanda sebagai referensi gula dunia. Setelah Soeharto berkuasa hingga menjelang lengser, pola sewa dihentikan dan digantikan tebu rakyat dengan menjadikan PG sebagai pengolah. Industri gula menjadi beban sejarah lantaran kejayaan yang dicapai pada masa kolonial tidak diimbangi tetesan kemakmuran bagi komunitas lokal. Demikian pua, saat Soeharto mengintroduksikan tebu rakyat intensifikasi, petani terkena hukum wajib menanam tebu. Petani gagal menjadi manajer di atas lahannya sendiri akibat tidak ada keputusan yang dapat diambil secara mandiri.

Kini petani bebas memilih tebu sebagai komoditas alternatif di tengah kondisi PG masih sangat beragam. Ada yang hanya berkapasitas 1.000 ton tebu sehari (tth), dukungan bahan baku minimal, efisiensi dipertanyakan, dan areal pengembangannya pun terkendala geografi. Tetapi ada pula yang kapasitasnya memadai hingga 12.000 tth,, dukungan bahan baku melimpah, efisiensi relatif bagus, dan potensi untuk ekspansi areal terbuka. Secara generik sebagian besar PG, terutama yang berlokasi di Jawa, sangat menggantungkan pasokan bahan bakunya dari petani. Tingkat kepercayaan dan daya dukung tebu dalam meningkatkan kesejahteraan material berkorelasi positip terhadap keberlimpahan bahan baku. Resultante kesesuaian lahan, animo petani, agroklimat, kehandalan pabrik, skala ekonomi usahatani, dan harga jual gula adalah variabel pembentuk kontribusi.

Kenyataan empirik menunjukkan, kompetisi sangat ketat dalam penggunaan lahan tak dapat dihindari. Pengutamaan pada tanaman pangan yang dari sisi umur lebih cepat panen membuat keberadaan tebu kalah pamor,. Kondisi tersebut berimbas makin bergesernya budidaya tebu ke zona lahan kering dengan tingkat produktivitas berkategori rendah sampai sedang dan lokasi semakin jauh dari PG penggilingnya dengan konsekuensi meningkatkan biaya transportasi.

Terlepas dari akar persoalan struktural menghimpit dan tidak dapat diselesaikan secara mandiri, meski belum mencapai tahapan industri terintegrasi, tampaknya PG terus melakukan pembenahan internal, baik menyangkut kebun (on farm) maupun pabrik (off farm). Pada lingkup on farm, pembenahan tertuju mata rantai peningkatan mutu bahan baku, mulai dari pengaturan masa tanam, komposisi varietas, kecukupan agro-inputs, penerapan praktek budidaya terbaik (best agricultural practices), hingga manajemen panen. Sementara pada level off farm, persiapan pabrik makin baik, kebersihan mendapat prioritas, pengelolaan limbah dikawal ketat. Semuanya dilakukan berdasarkan kesadaran kolektif agar PG tidak menjadi beban sejarah, tetapi aset produktif yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan bangsa dan memikul engine of growth bagi daerah.

Langkah konkret yang sejak 2012 lalu dilakukan sebagai upaya mengembalikan kepercayaan petani menjadi fokus. Transparansi melalui pemberlakuan analisis rendemen individual guna menghindari kesan PG mencuri berat tebu dan rendemen petani secara bertahap dikikis. Demikian pula penjaminan harga dasar (floor price) gula untuk petani mulai diambil alih PG atau diserahkan sepenuhnya kepada petani dan secara bertahap meninggalkan penjaminan oleh investor yang menimbulkan kontroversi. Memang penjaminan tadi mengandung risiko tinggi (hight risk), terutama bila harga riil gula terbentuk melalui mekanisme pasar ternyata lebih rendah sehingga potensial memunculkan kerugian bagi korporasi penjaminnya.

Keyakinan saja tidak cukup. Diperlukan kalkulasi cermat agar pembentukan harga menguatkan bargaining position petani dan PG di mata pedagang. Pendapatan petani yang lebih baik secara psikologis membuat mereka makin termotivasi dan concern pada peningkatan daya saing tebu. Beberapa PG juga melakukan penjaminan rendemen minimum dengan catatan sortasi tebu dilakukan secara ketat sebelum digiling, dan memberikan subsidi bibit bagi petani yang ingin mengganti varietas baru, Semuanya dilakukan demi membangun kemitraan (partnership) berdasarkan kesetaraan peran dan manfaat ekonomi.

Dalam teori ekonomi mana pun, keterpisahan antara manajemen bahan baku dan manufaktur seperti PG, pastilah menimbulkan konflik. Anehnya usahatani tebu rakyat terbingkai dalam manajemen konflik semacam itu. Berbagai jurus sudah dicoba. Antara lain, memberikan opsi kepada petani menyerahkan pengelolaan lahannya ke PG. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan kompensasi senilai sewa, kemudian bila dari hasil panen produksinya berlebih masih ada tambahan pendapatan dengan formula yang disepakati. Opsi lain adalah menjadikan lahan petani sebagai saham PG. Kedua opsi rupanya masih belum diterima mulus, sehingga suka atau tidak pengelolaan lahan milik petani secara individual belum tergoyahkan.

Dalam waktu tidak terlalu lama, liberalisasi perdagangan yang mengharuskan semua negara menghilangkan berbagai hambatan masuk atas barang dan jasa impor, setidaknya mengingatkan kita tentang pentingnya penguatan daya saing industri gula. Tindakan nyata harus dilakukan mulai dari kebun dengan mengedepankan munculnya varietas baru hingga terwujudnya efisiensi pabrik mengarah standar internasional. Riset bioteknologi memberi peluang munculnya varietas dimaksud, sementara keseriusan melakukan revitalisasi secara terprogram menuju pabrik modern dan efisien menjadi bagian integralnya. Desain tadi diharapkan dapat meningkatkan peran industri gula dalam transformasi ekonomi Indonesia sekaliguis membatnya terlepas dari beban sejarah masa lalu.

 

BERITA TERKAIT

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…

BERITA LAINNYA DI Opini

Bansos Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Langgar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial?

  Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial…

Pembangunan Papua Jadi Daya Tarik Investasi dan Ekonomi

  Oleh : Clara Anastasya Wompere, Pemerhati Ekonomi Pembangunan   Bumi Cenderawasih memang menjadi fokus pembangunan yang signifikan di era…

Pastikan Stabilitas Harga dan Stok Beras, Pemerintah Komitmen Ketahanan Pangan

  Oleh : Nesya Alisha, Pengamat Pangan Mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia sangat penting karena memiliki dampak besar pada stabilitas…