BI Rate Naik, Kredit Macet Perbankan Siap Melesat

NERACA

Jakarta - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate sebesar 50 basis poin (bps)dari 6,5% ke 7%, sejatinya bukan langkah jitu untuk menyelamatkan nilai rupiah. Tetapi pertanda bakal melesatnya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) dan membengkaknya beban cost of fund (COF) perbankan. Artinya, perbankan nasional memasuki ranah risiko tinggi pada tahun ini.

Menanggapi hal ini, ekonom Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha mengatakan, kebijakan bank sentral akan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan suku bunga pinjaman rendah kepada perbankan. Dengan begitu bisa menimbulkan banyak kredit macet (NPL).

“Setelah BI Rate naik maka semuanya tergantung dari kebijakan perbankan di Tanah Air. Apakah mau menaikkan suku bunga pinjaman atau tidak. Jika mereka (perbankan) mau mengambil risiko kredit macet maka akan dinaikkan suku bunga pinjamannya dan jika tidak, maka akan dipertahankan suku bunga pinjaman sekarang. Toh, naik atau tidak (BI Rate) bank tetap untung besar,” ujarnya kepada Neraca, Kamis (29/8).

Meski kenaikan BI Rate ini hanya bersifat temporari hingga akhir tahun 2013, namun tetap berpengaruh terhadap penurunan inflasi diakhir tahun, yang diperkirakan bisa mencapai 3%-4%. Jika hal itu terjadi, maka BI Rate harus turun. Tapi, kata Eugenia, masih ada permasalahan. Yaitu, turunnya BI Rate tidak akan diiringi oleh penurunan suku bunga pinjaman perbankan.

“BI sangat mudah untuk menurunkan dan menaikkan BI Rate. Tapi harus diingat, hal itu tidak bisa diiringi oleh perbankan untuk menurunkan suku bunga pinjaman,” ungkap Eugenia. Lagipula, lanjut dia, penurunan BI Rate ini akan sulit dilakukan dikarenakan pelemahan rupiah masih bergejolak sampai akhir tahun ini, dan bahkan tahun depan.

“Sebenarnya, BI Rate naik sebagai harapan untuk memitigasi risiko kemungkinan terjadinya pengaruh pelemahan rupiah terhadap inflasi. Meskipun inflasi bisa ditekan namun masih terjadi pelemahan rupiah maka BI Rate akan sulit untuk diturunkan,” tukas Eugenia.

Suku Bunga Naik

Di tempat terpisah, dua bank milik pemerintah, Bank Mandiri dan Bank BNI sangat mendukung kebijakan BI menaikkan BI Rate. Chief Economist Bank Mandiri, Destry Damayanti menuturkan, dengan demikian, ekonomi dalam negeri dapat secepatnya membaik. “Saya setuju BI menaikan suku bunga acuan menjadi 7%. Lagipula dalam kondisi ekonomi dalam negeri yang sedang melemah seperti saat ini kenaikan BI Rate memang tidak bisa dihindari. Itu pasti,” ucapnya.

Dengan begitu, Bank Mandiri tidak segan-segan menaikkan suku bunga kredit pada nasabahnya. Meskipun diakuinya, perseroan baru saja menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps). Namun karena BI juga telah menaikkan suku bunga acuan, maka pihaknya juga akan mengikuti stimulus tersebut.

“Sekarang suku bunga kita sekitar 11%-12%. Dengan naiknya BI Rate kita akan menaikkan suku bunga meski likuiditas kita masih straight. Namun karena mengikuti stimulus BI, adalah hal penting untuk menjaga NPL dan kualitas aset. Sebelum itu, kita harus rapat bersama dengan jajaran direksi,” klaim Destry.

Dia juga menjelaskan, dengan kenaikan BI Rate maka harapannya iklim investasi di dalam negeri bisa dikendalikan sehingga tidak liar. Terlebih, kenaikan BI Rate ini pun dianggap dapat meredam depresisasi terhadap rupiah. Pasalnya, harga dolar AS sendiri belum bisa dikendalikan melalui skema ekspor dan impor di dalam negeri.

Lebih lanjut Destry memaparkan, kenaikan BI Rate juga berpotensi membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga 6% meskipun pemerintah dalam RAPBN 2014 Revisi telah menurunkannya menjadi minimal 5,8%. Hingga sekarang pelemahan rupiah masih disebabkan oleh capital outflow atau impor yang terbilang tinggi. Sementara capital inflow atau nilai ekspor dalam negeri sendiri cukup rendah.

Senada, Chief Economist BNI, Ryan Kiryanto, mengaku lega dengan naiknya BI Rate. Pasalnya, menurut dia, akan memberikan efek positif. Pertama, mengerem laju inflasi dan ekspektasinya. Kedua, membantu menjaga kurs rupiah tidak jatuh lagi akibat suku bunga dalam bentuk rupiah menjadi lebih atraktif. Ketiga, memperkuat likuiditas dolar AS karena akan banyak pemilik dolar AS mengkonversikan ke rupiah kendati ada rumor soal tappering-off quantitative easing 3 oleh The Fed.

Keempat, mengembalikan kepercayaan pasar. Kelima, cadangan devisa terjaga dengan baik karena BI tidak harus melakukan intervensi pasar secara langsung. “Saya optimistis BI akan tetap mengawal rupiah agar terjaga melalui  bauran kebijakan moneter lainnya seperti menaikkan suku bunga fasbi ke 5,25% serta membuat Sertifikat Deposito BI (SDBI) dengan tenor beragam,” ungkap Ryan.iwan/sylke/mohar/ardi

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…