Melepaskan Tradisi Ketergantungan Barang Impor - Oleh: Ika Novitasari, Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

 

Meningkatnya harga-harga bahan pokok, juga daging sapi, telah menimbulkan kesulitan berkepanjangan pada masyarakat. Itu sudah berlangsung lama. Khusus bagi daging sapi, kasus kuota daging sapi impor di Kementerian Pertanian yang diduga melibatkan (mantan) Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, menambah ruwet masalah. Meski begitu, urusan daging sapi akhirnya bisa teratasi, setelah Presiden SBY memperlihatkan kemarahan dalam rapat kabinet terbatas. Beberapa hari terakhir pemerintah menggelontorkan belasan ton daging sapi impor ke sejumlah pasar dengan harga jauh di bawah harga daging sapi lokal. 

Bulog atas dukungan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan telah mendatangkan 16 ton daging sapi impor dari 800 ton daging yang dibolehkan masuk ke Tanah Air melalui jalur udara. Sebanyak 2.200 ton daging beku lainnya dijadwalkan datang dengan kapal laut 21 Juli. Operasi pasar daging sapi impor yang dijual dengan harga sekitar Rp 80 ribu per kg, jauh di bawah harga daging sapi lokal yang mencapai Rp 110 ribu, tidak langsung mampu menstabilkan harga kebutuhan pokok. Lagi pula tidak semua kalangan dapat menerima daging sapi impor, dengan alasan daging beku tidak enak saat diolah karena kandungan lemaknya lebih tinggi dibanding daging segar.

Di samping itu ada kejanggalan, jika biasanya para pedagang mengeluhkan tingginya harga membuat pendapatan mereka menurun, kini setelah kedatangan daging impor sebagian di antara mereka malah memperlihatkan keberatan. Ada kesan, pedagang justru senang harga melambung dan bukan tidak mungkin mereka merupakan jaringan pihak yang mencari keuntungan dengan timbulnya gejolak harga. Tantangan lain, adanya kekhawatiran pemotongan yang dilakukan terhadap sapi-sapi di negeri asalnya tidak sesuai ajaran Islam.

Peran Pemerintah 

Ini wajar karena mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Untuk itu, pemerintah harus menjamin daging sapi impor tersebut halal. Untuk menjaga agar upaya pemerintah menstabilkan harga daging sapi serta harga-harga kebutuhan lainnya berjalan baik, pemerintah harus berusaha meyakinkan masyarakat dari segala hal, termasuk menyangkut keraguan halal tidaknya daging yang didatangkan. Pemerintah sewajarnya segera meminta fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yang pasti, dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok, menghadirkan daging sapi impor bukan satu-satunya jawaban. Hal lain yang sangat mendesak dilakukan adalah melakukan operasi pasar bagi banyak kebutuhan pokok. 

Harga cabai, bawang, telur, dan banyak lainnya harus distabilkan. Ingat, setiap memasuki Ramadhan, apalagi mendekati Lebaran harga-harga berlomba naik. Untuk itu, perlu campur tangan pemerintah. Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Kabulog tentunya tak perlu menunggu Presiden SBY marah, baru kemudian berbuat. Harua diakui bahwa melonjaknya harga daging belakangan ini ibarat penyakit menahun, diatasi, lalu kambuh lagi. Harga daging yang biasanya berkisar Rp 75 ribu dengan cepat meroket menjadi Rp 120 ribu per kilogram. Lonjakan harga kian terasa berat bagi banyak orang karena harga sejumlah bahan kebutuhan pokok lain pun merambat naik. Dan, seperti biasa, pemerintah seperti tak berdaya. 

Padahal penyebab tingginya harga daging selalu sama dari tahun ke tahun: terbatasnya stok daging saat puasa dan menjelang Lebaran. Sebetulnya pemerintah sudah berusaha mengantisipasi lonjakan itu. Maret lalu, dibuat aturan baru dengan mempercayakan impor daging sapi Australia ke Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Cara ini diharapkan bisa menghilangkan permainan distribusi dan membuat harga daging tetap wajar. Bulog pun diberi kuota 3.000 ton daging. Jumlah ini semestinya cukup untuk menstabilkan harga daging di 148 titik pasar se-Jabodetabek. Sistem distribusi pun diperkuat. Pengiriman daging impor dari Australia tidak hanya melalui jalur laut, tapi juga udara. 

Lewat jalur udara, setiap hari 20 ton daging masuk. Pemerintah pun optimistis, pada H-7 Lebaran, daging yang mengguyur Jabodetabek bisa mencapai 1.000 ton. Tapi begitulah, perhitungan di atas kertas ternyata meleset. Menjelang pertengahan Ramadan, harga daging sudah meroket. Sistem yang dirancang tak berjalan mulus karena ternyata Bulog sampai menjelang puasa tak memiliki fasilitas lemari pendingin daging (cold storage) yang memadai. Padahal lemari pendingin adalah syarat utama perizinan impor. 

Kebijakan Tambal Sulam

Sistem baru yang memberi amanah kepada Bulog sebagai importir daging ternyata diputuskan tanpa dukungan infrastruktur memadai. Melihat kondisi begini, usul Menteri Perdagangan Gita Wirjawan agar kuota impor daging Bulog ditambah sungguh tak menyelesaikan soal. Dengan kuota yang sekarang pun, Bulog belum mampu memenuhi kewajibannya. Sekarang Bulog memang sibuk menggenjot pembuatan pendingin baru. Tapi waktu semakin sempit. Sebentar lagi Lebaran datang. Kebutuhan akan daging meningkat, namun fasilitas penampungan tak memadai. Kebijakan tambal-sulam seperti inilah yang ikut menyumbang pada kegagalan pemerintah menahan gejolak harga daging. 

Hari-hari ini Bulog sibuk membuat storage. Bisa dibayangkan pembuatan karantina daging itu pasti dilakukan tergesa-gesa. Dengan kuota yang ada saja, daging tak tertampung. Apalagi jika ditambah. Tapi, di sisi lain, kebutuhan akan daging memang makin meningkat. Yang terjadi kemudian, memang harga daging sulit dikendalikan. Jika hal ini tak segera diatasi, jangan-jangan nantinya harga daging sapi meroket lebih tinggi dibanding pada zaman sebelum dipegang Bulog. 

Bahkan bisa lebih buruk, diikuti kenaikan harga daging ayam, bawang merah, dan cabai merah, karena Bulog dipersiapkan menjadi pengimpor bawang merah dan cabai merah. Tentu kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan Bulog, apalagi menjadikannya kambing hitam. Yang harus dilakukan adalah menata ulang impor daging. Untuk sementara, keran impor daging kembali dibebaskan ke perusahaan-perusahaan distributor daging sapi yang lebih siap. Ini memang langkah mundur, tapi harus dilakukan sambil menunggu Bulog siap. Dalam jangka panjang, yang harus digenjot adalah mengurangi impor dan meningkatkan produksi daging lokal. 

Pemerintah sudah menargetkan 2014 sebagai tahun swasembada. Program inilah yang harus diprioritaskan. Sebab, terus-menerus bergantung pada daging impor sangatlah merugikan. Dulu kita bukan hanya tidak mengimpor, tetapi mampu melakukan ekspor. Namun sekarang, nampaknya kejayaan dalam hal itu sangat sulit dicapai. Untuk itulah perhatian pemerintah perlu juga diarahkan untuk mendukung para petani, peternak dan nelayan agar kemudian bangsa ini mampu mandiri dalam soal pangan. analisadaily.com

 

BERITA TERKAIT

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Stabilitas Keamanan untuk Dukung Percepatan Pembangunan Papua

    Oleh: Maria Tabuni, Mahasiswa Papua tinggal di Bali   Aparat keamanan tidak pernah mengenal kata lelah untuk terus…

Konsep Megalopolitan di Jabodetabek, Layu Sebelum Berkembang

Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram…

Pasca Pemilu Wujudkan Bangsa Maju Bersatu Bersama

    Oleh: Habib Munawarman,Pemerhati Sosial Budaya   Persatuan dan kesatuan antar masyarakat di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu)…