Krisis Ekonomi Indonesia Belum Capai Puncak - RUPIAH DAN BURSA SAHAM BISA LEBIH PARAH

Jakarta – Krisis ekonomi di Indonesia baru di titik awal dan belum mencapai puncaknya. Karena pemerintah belum memberi solusi jitu terhadap berbagai masalah yang membelit perekonomian nasional. Nilai tukar rupiah dan pasar saham bisa lebih parah dibandingkan dengan kondisi saat ini.

NERACA

“Rupiah bisa lebih terdepresiasi lagi, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) juga berpotensi menurun lagi,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus kepada Neraca, Senin (26/8).

Menurut Heri, saat ini Indonesia mengalami empat defisit sekaligus. Yaitu defisit transaksi berjalan, defisit perdagangan, defisit neraca pembayaran, dan defisit primer APBN. Namun begitu, Heri mengatakan bahwa kondisi ekonomi yang sekarang tidak akan berlanjut sampai seperti krisis yang terjadi pada 1998.

Dia menyebut, defisit neraca perdagangan yang terjadi di Indonesia semakin masif terjadi. Sepanjang 2012, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar US$1,6 miliar. Defisit neraca perdagangan berlanjut di tahun 2013 ini. Sampai Juli 2013 tercatat defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,3 miliar atau lebih dari dua kali lipat dari defisit sepanjang 2012.

Heri menambahkan, defisit neraca perdagangan tersebut memicu pelemahan Rupiah. Nilai rupiah semakin turun terhadap dolar Amerika Serikat akibat rentang antara ekspor Indonesia semakin jauh di bawah impor Indonesia.

Sementara itu, pengamat ekonomi, Yanuar Rizki mengatakan kondisi pasar saham dan pasar uang saat ini diberatkan oleh persoalan makro ekonomi. Namun sebenarnya untuk pasar saham, imbuh dia, tidak bisa dihubungkan dengan target dan peristiwa yang terjadi saat ini. Karena itu, dia tidak ingin berkomentar lebih jauh terkait pelemahan IHSG yang diproyeksi masih akan berlanjut. Pasalnya, untuk mengukur kondisi saat ini harus melihat pada keseimbangan market dan nonmarket.

“Sudah banyak yang memprediksi ini akan terjadi. Sekarang koreksi, besok balik lagi. Namun, orang berat soal makro. Begitu nilai tukar rupiah melemah akan berdampak secara luas,” jelasnya.

Di tengah fluktuasi pun, sambung dia, masih ada keuntungan di pasar saham. Selain itu, meski harga saham turun, likuiditas masih di tangan asing. Karena itu, dia menilai kondisinya sebenarnya tergantung dari pemodal besar atau bandar yang memanfaatkan kondisi pasar saat ini. “Dalam kondisi saat ini mereka menari-nari. Menurut saya kondisi market tergantung bandarnya mau gimana,” ucapnya.

Dia menyebut, secara makro nilai tukar rupiah masih akan mengalami pelemahan di market. Namun fundamental ekonomi yang memburuk tidak dapat dikaitkan dengan isu-isu di pasar saham dan rupiah. “Fundamental ekonomi memburuk, tapi saham masih bisa naik. Dan itu belum tentu pengaruh ke rupiah,” tandasnya.

Meski demikian, pihak otoritas dan pemerintah perlu mengambil solusi untu menyiasati koreksi yang terjadi di pasar. Salah satunya, dengan mengupayakan kustodian bank yang menyimpan dana-dana dari pasar bisa berada di sini dan short selling dibatasi. Sementara untuk mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah, yaitu dengan mengendalikan alat pengendali rupiah, seperti menambah cadangan devisa negara.

Lebih Buruk

Di tempat terpisah, Analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu Purnomo mengatakan, pelemahan indeks terendah yang relevan dari support IHSG dalam 2 minggu ke depan akan berada di level 4.000 dengan 2 kemungkinan akan membaik atau semakin memburuk. Jika akan memburuk, akan berada di level 3.800 seperti yang diperkirakan banyak pihak.

“Sehingga jika mau melakukan pembelian saham sebaiknya menunggu hingga terjadi level terendah terutama bagi investor yang ingin membeli saham-saham bluechip banyak. Kalau mau beli saat ini sebaiknya secara akumulatif, misalnya 10% dulu,” ujar dia.

Menurut dia, ada beberapa hal yang menjadi indikator indeks akan berada di level tersebut yang menjadi sentimen negatif bagi pergerakan indeks. Indikator tersebut adalah pengumuman BI mengenai pertumbuhan ekonomi menjadi 5,8%, defisit neraca perdagangan, naiknya BI Rate, Naiknya BBM yang menjadi pertanda ketidakstabilan ekonomi.

Dua indikator lain berasal dari sektor komoditas yaitu harga minyak dunia menguat menjadi US$100/barel yang membuat sektor komoditas menjadi lebih menarik daripada saham dan emas yang juga alami kenaikan.

“Sehingga investor lebih memilih berinvestasi pada dua komoditas ini. Selain itu, Sektor perdagangan di bursa saham juga akan lebih diminati daripada sektor lainnya,” jelas dia.

Selain itu, dua bursa acuan di Asia yaitu Nikkei dan Hang Seng sedang alami penurunan akibat adanya masalah ekspor dan impor di negara tersebut. Penurunan kedua bursa acuan ini memberi sentimen negatif terhadap Indonesia yang memang bagian dari kawasan Asia.

“Disamping itu, keputusan pemerintah untuk melakukan buyback saham tidak tepat karena pelaku pasar menilai pemerintah dalam kondisi kepanikan harusnya bukan mengintervensi pasar saham melainkan menghimbau agar pelaku pasar mengantisipasi gejolak perekonomian dan tetap tenang,” jelas dia.

Dengan banyaknya indikator dan tekanan terhadap indeks saat ini, dia belum mau menyimpulkan perekonomian Indonesia sudah tumbang. Ini berdasarkan pengumuman BI mengenai pertumbuhan ekonomi yang melambat menjadi 5,8% dan kondisi yang terjadi saat ini di pasar saham dinilai Lucky hanya sebagai sentimen negatif.

Selain memperkirakan indeks masih dalam kondisi rawan, Lucky juga memprediksi dalam 2 minggu ke depan akan banyak aksi jual yang dilakukan pelaku pasar. Menurut dia investor juga akan melakukan aksi beli saham secara selektif dan terbatas.

“Pasti mereka selektif ditengah kondisi rawan terkoreksi, tetapi kita akan lihat sektor pertambangan akan dominan dibeli dengan pertimbangan harga komoditas minyak dunia dan emas yang naik saat ini,” jelas dia.

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…