Loan To Value Dorong Konsumen Lari Ke Luar Negeri - Developer Lebih Takut Bunga KPR Naik

NERACA

Jakarta – Para pengembang lebih takut perbankan nasional menaikan tingkat suku bunga pinjaman daripada mengerem laju kredit dengan menerbitkan regulasi Loan to Value (LTV). LTV membatasi perbankan memberikan kucuran Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Dengan begitu, konsumen harus menambah jumlah Down Payment atau uang muka rumahnya.

Menurut Setyo Maharso, ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), aturan LTV sudah lumrah diberlakukan di banyak negara. LTV juga membuat kualitas kredit di perbankan lebih baik.

“Yang kami khawatirkan justru adanya kenaikan suku bunga pinjaman,” kata Setyo Maharso dalam diskusi bertopik \"DP Rumah Naik vs Penyediaan Hunian Rakyat\" yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Minggu (21/7).

Setyo Maharso mengungkap, kenaikan suku bunga pinjaman bakal mendorong terjadinya shock atau kekagetan di masyarakat. Akibatnya, bakal terjadi kelambatan penjualan properti, terutama properti rumah tapak. “Masyarakat kita masih sensitif terhadap isu. Kalau terjadi apa-apa, mereka selalu mengambil posisi wait and see,” jelas Setyo Maharso.

Masalah, imbuh Maharso, kalau kekagetan di masyarakat terjadi sampai akhir tahun, maka penjualan properti akan menurun sampai akhir tahun. Padahal, biasanya dalam tiga bulan terakhir tahun, merupakan siklus penjualan properti tertinggi.

“Kecuali kalau kenaikan tingkat suku bunga KPR itu masih di bawah 2 persen. Itu tidak akan menimbulkan masalah besar,” terang Setyo Maharso.

Sementara itu, pakar pembiayaan perumahan Iskandar Saleh mengungkap, Bank Indonesia harus menerbitkan regulasi yang mengatur soal tingkat bunga pinjaman perbankan. “Sekarang perbankan bisa menaikan bunga pinjaman tidak hanya kredit baru, tapi juga kredit yang sudah existing. Harusnya, kredit existing tidak terkena kebijakan perbankan yang menaikan bunga pinjaman,” jelas Iskandar.

Harga Rumah

Di tempat yang sama, Direktur Komunikasi Bank Indonesia Difi A Johansyah menyatakan, LTV telah digunakan di negara lain sebagai alat prudensial untuk mengatasi pemanasan di industri properti. Negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Hongkong telah menggunakan LTV. Bahkan, akhir-akhir ini China sangat ketat mengawasi perkembangan sektor properti.

Menurut Diffi, BI sangat concern pada masalah harga properti, khususnya properti yang diagunkan ke bank. “Saat ini peminjam bisa memperoleh dana kredit yang nilainya jauh di atas value properti. Jika nilainya turun, dikhawatirkan perbankan yang akan kena dampaknya. Pengalaman sebelumnya, kalau terjadi krisis di sektoral maka perbankan paling rentan terkena dampaknya,” jelas Diffi.

Masalah lainnya, lanjut Diffi, adalah soal disparitas harga. Kecenderungan yang terjadi menyebabkan harga-harga produk properti naik. “Bisa jadi harga-harga semakin mahal dan semakin tidak feasible,” tandasnya.

Dia menambahkan, kredit untuk perumahan dengan skala lebih besar melonjak cukup tinggi. Data menunjukan, Kredit Pemilikan Apartemen naik hingga 111% per tahun. “Ada demand yang cukup tinggi, tapi kita lihat ada disparitas cukup besar antara demand rumah murah dengan properti menengah atas,” terang Dia.

Apalagi, sambung Diffi, dari hasil survey BI, saat ini properti merupakan pilihan investasi yang lebih menarik dibandingkan reksadana, saham, emas, atau deposito. Imbasnya, properti menjadi lahan investasi para spekulan. “Banyak debitur yang memiliki lebih dari dua KPR, bahkan ada 9 KPR,” tukas Diffi.

Diffi mengutarakan, ada indikasi yang memperlihatkan bahwa pembelian rumah secara banyak. Kemungkinan untuk investasi. “Konsumen sekarang menjadikan properti untuk investasi, properti bukan lagi kebutuhan primer, bukan untuk ditinggali tapi investasi, jadi ini tidak memperbaiki masalah rumah hunian. Bahkan, ada debitur kita yang memiliki KPR sampai 9 KPR,\" ujarnya.

Berdasarkan data BI, debitur yang tengah mencicil 2 rumah melalui skema KPR itu sekitar 31,3 ribu orang dengan nilai Rp 29 triliun. Sedangkan yang mencicil 2 rumah sampai 9 rumah melalui KPR terdapat 35,2 ribu orang. Terdapat juga 3.884 debitur yang mencicil 3 bahkan sampai 9 rumah melalui skema KPR di bank. Serta ada juga yang mencicil 9 sampai 12 bahkan 12 sampai 15 rumah.

Bisnis Pembiayaan Aman

Menurut Direktur Kredit PT Bank Tabungan Negara (BTN) Mansyur Nasution, regulasi LTV sangat positif untuk bisnis pembiayan properti. Namun, bagi bank yang fokus di perumahan khususnya di segmen di bawah 70 m2, aturan itu tidak akan memberikan pengaruh. Pasalnya, aturan LTV itu lebih menyasar properti di segmen di atas 70%.

Dia mengungkap, aturan LTV tidak mempengaruhi bisnis pembiayaan BTN karena segmen pasar yang disasar memang berbeda.

Mansyur menyebut, sebagian besar pembelian rumah memang masih menggunakan fasilitas KPR. “Debitur kami memang 99,5% untuk pembeli rumah pertama. Sisanya, KPR untukk pembelian rumah kedua dan seterusnya,” ucap Mansyur.

Jaga Industri Properti

Dalam kesempatan itu, Diffi juga menyatakan, BI tidak bermaksud untuk melemahkan industri properti. “Kami ingin industri ini tumbuh secara sustainable. Jangan tumbuh karena adanya utang konsumen. Pertumbuhan ekonomi kita ini direvisi terus ke bawah dari 6,2% jd 6,8% dan berubah ke 6,3%. BI sendiri sudah konservatif jadi 5,9%,” urai Dia.

Difi mengakui, kebijakan yang diluncurkan BI tidak populer. “Karena kita menyuruh bubar orang yang sedang berpesta. Namun kami benar-benar ingin ada firewall di sektor properti dan perbankan. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi,” bebernya.

Kendati demikian, Difi mengakui, di setiap aturan selalu saja ada loob hole. BI tidak mungkin membuat aturan amat detail. Lantaran hanya general principle yang diatur. “Kemarin kami buat aturan LTV, dipikir tidak ada peluang. Ternyata lari ke syariah,” paparnya.

Sementara Setyo Maharso menegaskan, para developer juga tidak ingin Indonesia mengalami krisis ekonomi akibat kejatuhan industri properti seperti tahun 1998 silam. “Posisi developer sebelum 1998 dan sekarang beda. Sekarang sudah seleksi alam. Para developer sekarang membiayai bisnisnya dengan modal pribadi bukan dari pinjaman perbankan,” tuturnya.

Bukan hanya itu, kalangan perbankan sekarang juga sangat ketat dalam mengucurkan KPR. Paling maksimal bank hanya berani mengucurkan KPR sampai 40 persen. “Pengalaman kami untuk harga Rp1 M ke atas, perbankan tidak akan mengucurkan KPR dalam jumlah besar. Maksimal paling hanya 40%, sedangkan sisanya dibayarkan oleh konsumen ke developer,” urainya.

Jangan sampai, lanjut Setyo Maharso, karena penerapan regulasi LTV yang memperketat pengucuran kredit, konsumen Indonesia lari ke Singapura. “Setahu saya, sampai dengan triwulan kedua 2013, pasar properti di Singapura tumbuh 16%,” terang Dia.

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…