Kebijakan Naikan BI Rate Bakal Blunder - Bank Indonesia Panik!

NERACA

Jakarta –  Langkah Bank Indonesia (BI) yang menaikan suku bunga sebanyak 50 basis poin sebagai respon panik. BI dianggap tidak melihat persoalan melemahnya rupiah sebagai dampak inflasi yang telah menjalar dari bawah sejak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

“Inflasi memang sudah pasti, itu kan datangnya dari bawah. Dari harga-harga yang terus melonjak sejak naiknya harga BBM,” kata Rektor Kwik Kian Gie School of Business Anthoni Budiawan, kepada NERACA, Kamis (11/7).

Menurut Anthoni, mahalnya ongkos produksi terus merembet hingga ke atas. Sementara pemerintah belum mampu mengerem konsumsinya. Hal ini kemudian berdampak pada inflasi.

“Jelas BI panik, Wong, inflasi kali ini murni datang dari meningkatnya ongkos produksi kok. Dan pemerintah juga harus mampu ngerem jumlah konsumsinya,” tandas Dia.

Anthoni melihat masalah ini sebenarnya sederhananya. Teori mengatakan inflasi terjadi karena banyaknya permintaan namun persediaan tidak mencukupi. Menurutnya, BI ingin untuk menetralisir inflasi dengan menaikan suku bunga.

Bagi Anthoni, langkah tersebut sangat tidak efektif bahkan justru akan semakin menambah panik perekonomian di tanah air. “Kalau BI justru meningkatkan suku bunga, jelas tidak akan ada pengaruhnya. Wong, inflasi kali ini murni datang dari meningkatnya ongkos produksi kok,” terangnya.

Di samping itu, imbuh Anthoni, ketersediaan dollar di Indonesia memang perlu diperhatikan. Ia mengamati ketersediaan dollar akan terus berkurang berhubungan banyaknya kewajiban bayar hutang ke luar negeri.

Anthoni mengatakan, kebutuhan Indonesia terhadap dollar sangat tinggi, terutama untuk membayar utang. Angka kebutuhan juga akan terus bertambah melihatnya masih banyaknya kebutuhan domestik dalam negeri yang harus disuplai melalui impor. “Rencananya impor kita kan juga banyak, dekat-dekat ini akan ada impor kedelai lagi loh,” kata Anthoni.

Sebagai jalan keluar, Anthoni melihat langkah yang tepat untuk menghadapi inflasi kali ini bukan dengan menaikan suku bunga terhadap rupiah melainkan dengan menaikan suku bunga terhadap dollar. Karena kalau rupiah yang ditekan terus akan sejauhmana BI bisa bertahan, atau justru akan melemahkan kinerja bank-bank di dalam negeri. Tapi ia melihat, pasar dunia juga akan mengalami inflasi dalam jangka waktu dekat ini. “Jadi perlu diwaspadai ongkos impor akan melonjak tinggi,” ungkap Anthoni.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz secara tegas menolak kenaikan BI Rate sebesar 50 basis poin (bps). Dia menyebut, DPR tidak setuju dengan kenaikan itu. “Karena DPR berharap pemerintah bisa meningkatkan kualitas sektor riil sehingga bisa bersaing dalam upayanya menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean tahun 2015 yang akan datang,” katanya.

Dengan kenaikan BI Rate, ujar Harry, maka arus masuk modal asing diperkirakan semakin bertambah. Dia menilai, kenaikan BI Rate akan mendorong masuknya Capital Inflow, namun dana ini berada di posisi portofolio di BI sendiri.

“Ini kan berarti BI membuka peluang bagi spekulan, dengan membiarkan ruang spekulan besar ini masuk ke Indonesia, maka hal ini bisa dibilang sesuatu hal yang gila,” ujarnya.

Harry mengungkap, BI telah dua kali berturut-turut menaikkan suku bunga acuan BI hingga di posisi 6,5% dalam waktu dua bulan. Dia lantas mempertanyakan komitmen Gubernur BI, Agus Martowardojo saat fit and proper test Gubernur BI, Agus dituntut agar bisa memangkas suku bunga acuan (BI rate). Namun demikian, baru beberapa bulan menjabat sebagai Gubernur BI pihaknya langsung menaikkan BI Rate  sampai 6,5%.

“Keputusan menaikkan BI rate akan berdampak tidak baik terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor riil, khususnya bagi pertumbuhan kredit perbankan. Padahal BI berniat akan meningkatkan rasio kredit perbankan terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia. Ini yang dipertanyakan, di mana komitmen Pak Agus (Gubernur BI), belum lama menjabat sudah menaikkan BI rate,\\\" ungkapnya.

Harry juga menuturkan BI harusnya melakukan langkah-langkah yang lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan. Seharusnya BI tidak perlu menaikkan BI Rate, dalam merespon pasar yang tengah tidak kondusif seperti sekarang ini.

“Dengan kenaikan BI Rate ini maka suku bunga kredit perbankan akan ikut juga naik, menaikkan BI Rate untuk meredam inflasi bukanlah kebijakan yang tepat karena pemicu inflasi adalah naiknya harga bahan makanan pasca kenaikan bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi,” tandasnya.

Senada dengan Harry Azhar, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan, naiknya BI Rate akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang ditarget pemerintah dalam APBN-P sebesar 6,3%. “Naiknya BI rate akan menghambat ke sektor riil. Karena realisasi kredit akan lebih tinggi lagi. Sementara inflasi diperkirakan meninggi. Nanti efeknya ke sektor riil. Jadi pertumbuhan 6,3% tidak akan tercapai,” kata Dia kepada Neraca, Kamis (11/7).

Eko memprediksi terjadinya kenaikan BI rate, tetapi hanya 25 bps. Kenaikan 50 bps adalah terlalu tinggi dan di luar dugaan. Dengan BI rate 6,5%, bunga deposito akan naik. Suku bunga kredit juga akan naik, karena cost of fund akan meningkat.

Indef memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini adalah sebesar 5,9%, sama dengan prediksi pertumbuhan ekonomi Bank Dunia yang kini sudah diturunkan pada angka 5,9%. Prediksi tersebut berbeda jauh dari target pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah dalam APBN-P 2013 sebesar 6,3%, yang tadinya ditarget 6,8% dalam APBN 2013.

Eko juga menilai, motif menaikkan BI rate untuk meredam inflasi bukanlah langkah yang tepat, karena acuan BI rate hanyalah inflasi inti, padahal komponen penyumbang inflasi yang terbesar adalah inflasi dari volatile food. Itu terbukti setidaknya mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa bulan terakhir yang mencantumkan komoditas volatile food dalam kategori andil terbesar penyebab inflasi.

“Kalau hanya dengan naikkan BI rate, tidak akan efektif, karena BI rate acuannya hanya inflasi inti, sementara domain dari inflasi kita volatile food, yaitu kebijakan fiskal. Sehebat apapun BI intervensi, kalau sektor fiskalnya hanya lakukan impor tanpa lihat produksi dalam negeri, maka tidak akan cukup meredam inflasi,” jelas Eko.

Dia juga mengkritisi antisipasi pemerintah dalam menekan inflasi dengan melakukan operasi pasar dan mengadakan pasar murah. “Operasi pasar dan pasar murah itu sangat insidental. Kalau hanya sehari, terus di momen-momen tertentu saja, maka tidak akan efektif menurunkan harga. Mungkin pada saat itu akan turun, tapi besok naik lagi,” kata dia.

Pengusaha Setuju

Di tempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi menilai keputusan BI untuk menaikkan BI Rate sangat wajar. Alasannya, sebagai upaya menjaga kestabilan nilai tukar rupiah yang sudah menembus Rp 10.000 per dolarnya.

“BI Rate ini apapun harus kita terima. Ini untuk menjaga inflasi supaya rupiah jangan gonjang-ganjing, sudah Rp 10.000 lebih, Bisa gila kita semua,” ujar Sofjan kepada Neraca.

Namun Sofjan mengakui, kenaikan BI Rate membuat bunga kredit perbankan naik sehingga memberatkan pengusaha. Namun, kenaikan BI Rate tetap langkah terbaik dalam rangka menjaga kondisi makro perekonomian nasional. “Ini mengganggu kita karena bank-bank sekarang sudah mulai takut, sudah mulai menaikan bunga untuk kita,” ujar Dia.

Kenaikan BI rate juga membuat Sofjan khawatir akan mempengaruhi investasi terutama yang mengandalkan kucuran dana kredit dari bank.

Dia menjelaskan, pengaruh yang timbul diantaranya melambatnya geliat investasi. Termasuk bagi pelaku usaha yang tengah melakukan diversifikasi usaha. \\\"Ya, pengusaha akan menunda investasi. Kalau ini terus berlanjut bukan tidak mungkin akan berujung pada efisensi tenaga kerja,\\\" ujar Sofjan.

Sofjan berharap kenaikan harga BBM subsidi dapat mengurangi impor minyak sehingga defisit neraca perdagangan bisa ditekan dan nilai tukar Rupiah menguat. \\\"Mudah-mudahan kenaikan harga BBM bisa membuat ekonomi kita lebih stabil, orang bisa hitung-hitungan lebih benar,\\\" pungkas Sofjan.

Staff Ahli Ekonomi Bappenas Bambang Prijambodo menilai langkah Bank Indonesia dengan menaikan suku bunga acuan atau BI rate tepat. Pasalnya salah satu cara untuk membuat nilai rupiah tetap stabil adalah dengan menaikkan BI rate. \\\"Menaikkan BI rate, jauh lebih aman dibandingkan dengan terus membiarkannya disaat kondisi rupiah sedang tidak stabil. Bahkan kalau tetap dibiarkan maka nilai rupiah semakin anjlok, dan defisit neraca perdagangan akan semakin tinggi,\\\" ujar Bambang kepada Neraca, kemarin.

Menurut dia, jika BI tidak mengambil langkah dengan menaikkan BI rate maka semakin membahayakan ekonomi. \\\"Saya rasa ini adalah langkah yang terbaik,\\\" katanya. Meskipun begitu, Bambang menyatakan bahwa dengan kenaikan BI rate maka akan semakin mengancam target pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P sebesar 6,3%.

Bambang menjelaskan, sebelum ada kenaikan BI rate, pertumbuhan ekonomi di tahun ini tidak akan sebaik yang diperkirakan. Pasalnya beberapa penyebab eksternal seperti krisis global yang juga belum selesai dan kebijakan pemerintah AS terkait dengan QE yang menyebabkan capital outflow serta masalah internal seperti belanja negara yang kurang maksimal. Dengan demikian, Bambang memproyeksi pertumbuhan ekonomi antara 5,8-6,2%.

Meski BI telah menaikkan suku bunga acuan, dia berharap agar perbankan tidak secara gencar dan langsung menaikkan suku bunga kredit. Karena sedikit banyak akan mempengaruhi dunia usaha. \\\"Kalau bisa kenaikannya bertahap, jangan besok langsung dinaikkan,\\\" tutupnya.  

Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo mengumumkan, hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI sebesar 50 bps menjadi 6,5%. Selain itu, BI rate juga menaikkan deposit facility sebesar 50 bps menjadi 4,75%, sementara untuk suku bunga lending facility masih tetap pada level 6,75%. “Keputusan ini kami ambil untuk memastikan agar inflasi pasca kenaikkan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu kembali normal,” ujar Agus di Jakarta, Kamis (11/7)

Agus menjelaskan, untuk menekan inflasi secara efektif, BI memperkuat dengan beberapa bauran kebijakan antara lain, melanjutkan stabilitas nilai tukar rupiah. “Agar mata uang sesuai kondisi fundamentalnya serta menjaga kecukupan likuiditas dipasar valas,” imbuh dia.

Selain itu, BI juga akan memperkuat langkah koordinasi dengan pemerintah dengan fokus memelihara stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan agar momentum pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga dan bergerak kearah yang lebih sehat. “Kami yakin bauran kebijakan ini cukup memadai untuk mengendalikan tekanan inflasi,” ucap Agus.

Dia mengatakan, kenaikkan ini memang benar terkait dengan inflasi yang diperkirakan 7,2 – 7,8%. “BI melihat ini menjadi bias ke atas, kita juga mengupayakan koordinasi yang baik dengan pemerintah dan regulator lain,” ujar dia.

Agus menjelaskan inflasi ini juga terkait dengan biaya transport dalam kota yang secara average naik hingga 33%. “Mungkin ini terlalu tinggi dan tentu akan membuat inflasi kembali naik, selain itu volatile food harus diperhatikan karena jika tidak diatasi hal ini akan terus bergejolak,” kata dia.

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…