Octane Booster Mengancam Kehidupan - Harus Penuhi Standar Euro 3

NERACA

Jakarta - Bukan rahasia lagi, begitu banyak siasat bagi para pengguna kendaraan bermotor untuk meningkatkan kandungan oktan bahan bakar minyak. Apalagi, disparitas harga antara bensin RON 92 ke atas dan RON 88 cukup tinggi. Saat ini, PT Pertamina (Persero) membanderol Pertamax (RON 92) pada harga Rp9.400 per liter, sedangkan Premium (RON 88) mencapai Rp6.500 per liter.

Dengan melihat disparitas harga tersebut, pengguna kendaraan bermotor dihadapkan pada sejumlah pilihan. Pertama, cara biasa dengan mencampur Premium dengan Pertamax. Kedua, ada pilihan lain yang mulai populer yaitu dengan menggunakan octane booster. Hanya dengan mengeluarkan uang Rp50 ribu-Rp 70 ribu per botol, konsumen sudah bisa mencampur suplemen bahan bakar ini ke dalam tangki.

Berdasarkan penelusuran, satu botol octane booster bisa dipakai untuk mencampur bensin sebanyak 60 liter ke dalam tangki. Lantas, sebenarnya octane booster itu jenis apa? Rata-rata, octane booster yang dikonsumsi masyarakat Indonesia masih diimpor dan sebagian besar berjenis octane enhancer non-oxygenate. Produk ini disinyalir berpotensi membahayakan lingkungan.

Kendati octane enhancer non-oxygenate terbukti mampu memacu peningkatan kandungan oktan bahan bakar kendaraan bermotor, campuran tersebut juga diyakini mengancam kesehatan manusia yang menghirup sisa pembakarannya.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mendefinisikan octane enhancer non-oxygenate adalah campuran beberapa unsur logam (organometallic) yang bisa meningkatkan nilai oktan. Adapun, beberapa unsur logam tersebut di antaranya terdiri dari besi (Fe), timbal (Pb), dan mangan (Mg). Namun, unsur-unsur ini dikenal sangat berbahaya bagi lingkungan.

Bayangkan, jika sisa pembakaran dari tiga bahan dasar tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Lalu apa dampaknya terhadap mesin kendaraan bermotor? Gaikindo dengan tegas menolak penggunaan suplemen ash-forming aditif atau non-oxygenate ini pada mesin.

Indra Chandra Setiawan, Anggota Tim Transportasi, Lingkungan, dan Infrastrukstur Gaikindo, mengatakan kendaraan roda empat dewasa ini telah dilengkapi peralatan pengontrol emisi yang sangat rumit. Salah satunya yaitu 3-way catalyst dan oksigen sensor untuk gas buang yang mampu melakukan control closed loop yang sangat teliti.

Dengan demikian, pencampuran octane enchancer non-oxygenated akan merusak sensor kendaraan sehingga tidak optimal. “Sistem kendaraan ini harus bisa dijaga dalam keadaan optimal agar dapat mempertahankan emisi gas buang yang rendah sepanjang usia kendaraan,” katanya dalam seminar bertajuk Penggunaan Octane Enhancer Non Oxygenate Dalam Bahan Bakar Bensin, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (3/7).

Menurut Indra, penggunaan ash-forming aditif dapat memengaruhi secara signifikan kondisi operasi catalyst dan komponen lainnya termasuk oksigen sensor. “Akhirnya, penggunaan octane booster non-oxygenated bisa meningkatkan emisi kendaraan,” ungkapnya.

Pengaruh buruk

Sementara itu, Heru Sutanto dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), juga mengatakan hal senada. Menurut dia, bila senyawa tersebut digunakan pada kendaraan bermotor, hal itu akan berpengaruh buruk pada kinerjanya.

Selain itu, AISI juga melihat penggunaan kandungan bahan bakar di Indonesia harus sesuai dengan emisi gas buang yang telah diatur oleh pemerintah. Terhitung mulai 1 Agustus 2013, pemerintah menetapkan semua kendaraan sudah memenuhi standar Euro 3.

Euro 3 adalah Standar Emisi Euro 3 (European Emission Standard 3).  Euro 3 merupakan salah satu standar emisi hidrokarbon dan karbon monoksida bagi kendaraan baru yang dapat diterima di negara-negara Uni Eropa. Selama ini, Indonesia masih memakai standar Euro 2 dan mulai Agustus tahun ini secara bertahap menuju Euro 3.

Dasar hukum penggunaan standar Euro 3 ini tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 23/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 10/2012 tentang Baku Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori L3.

Menurut standar Euro 3, kendaraan roda dua dengan kapasitas silinder kurang dari 150 cm3 hanya boleh menghasilkan 0,8 gr/km hidrokarbon (HC); 0,15 gr/km nitrogen oksida (NOx); dan 2 gr/km karbon monoksida (CO).

Adapun, kendaraan roda dua dengan kapasitas silinder lebih dari 150 cm3 hanya boleh menghasilkan 0,3 gr/km HC; 0,15 gr/kmNOx, dan 2 gr/km CO. Standar emisi Euro 3 ini diklaim lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan standar-standar sebelumnya. [bsak]

BERITA TERKAIT

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pemerintah Pastikan Defisit APBN Dikelola dengan Baik

  NERACA Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih terkelola dengan baik. “(Defisit)…

Kemenkeu : Fiskal dan Moneter Terus Bersinergi untuk Jaga Rupiah

  NERACA Jakarta – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan kebijakan fiskal dan moneter terus disinergikan…

Kereta akan Menghubungkan Kawasan Inti IKN dengan Bandara Sepinggan

    NERACA Jakarta – Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) mengungkapkan kereta Bandara menghubungkan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan atau KIPP…