Harga Bahan Baku Bensin Rp7.400/Liter - Belum Termasuk Biaya Pengolahan

NERACA

Jakarta - Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir mengatakan, harga bahan baku untuk membuat bensin adalah sebesar Rp7.400 per liter. Jumlah tersebut belum termasuk biaya pengolahan. “Kalau dihitung-hitung dengan harga ICP (Indonesian Crude Price), maka harga bahan baku produksi BBM adalah Rp7.400,” kata Ali di Jakarta, pekan lalu.

Perhitungannya sederhana, kata Ali. Katakanlah harga minyak mentah Indonesia di dunia (ICP) US$100 per barel atau sekitar Rp1 juta per barel. Satu barel setara dengan 159 liter minyak mentah. Tetapi dalam pengolahannya, hanya 85% dari minyak mentah tersebut yang menjadi BBM, atau sekitar 135 liter. Jadi, satu barel minyak mentah seharga Rp1 juta dapat menghasilkan 135 liter BBM. Dengan kata lain, bahan baku pembuatan BBM adalah sebesar Rp7.400 per liter.

“Itu kalau menghitung dengan harga ICP sebesar US$100. Sekarang ICP sudah US$106, jadi bahan bakunya bisa lebih mahal lagi dari itu. Belum lagi ditambah dengan biaya pengolahan,” kata Ali. Biaya pengolahan, lanjut Ali, adalah sekitar 15% dari harga pokok BBM. Itu pun berdasarkan International Energy Agency (IEA).

Dengan harga pokok sebesar Rp7.400, maka biaya pengolahannya sebesar Rp1.100. Total harga pokok ditambah biaya pengolahan menjadi Rp8.500. “Jadi tidak benar perhitungan yang menyatakan bahwa harga keekonomian BBM di bawah Rp4.500 sehingga pemerintah dikatakan sudah mendapatkan untung,” jelas Ali.

Pernyataan tersebut membantah pernyataan Ketua Serikat Pekerja Pertamina Abdullah Sodik yang mengatakan bahwa pemerintah sudah mendapatkan untung dengan harga bensin sebelum dinaikkan sebesar Rp4.500 dan mendapatkan untung yang lebih banyak ketika harga BBM bersubsidi sudah dinaikkan menjadi Rp6.500 per liter untuk bensin dan Rp5.500 untuk solar.

“Perhitungan itu keliru. Jangan anggap bahwa kita negara produsen minyak. Sudah tidak lagi. Kita adalah importir minyak, baik minyak mentah maupun BBM yang sudah jadi,” jelas Ali. Dia menyampaikan perhitungannya. Lifting minyak Indonesia saat ini adalah 830 ribu barel per hari. Tetapi bagian Indonesia hanya 85% dari jumlah tersebut, yaitu 700 ribu barel.

Kapasitas kilang minyak Pertamina adalah satu juta barel per hari. Untuk memenuhi kapasitas produksi tersebut, impor dilakukan sebanyak 300 ribu barel minyak mentah per hari. Sehingga kapasitas maksimum pertamina terpenuhi. Dari satu juta barel minyak mentah yang diolah pertamina, dihasilkan 850 ribu barel BBM. Sementara kebutuhan dalam negeri adalah 1,3 juta barel BBM per hari. Kekurangan dari kebutuhan tersebut dipenuhi dengan impor BBM jadi.

Dengan kondisi begitu, Indonesia jauh dari kondisi aman energi. Negara lain sudah melakukan pengiritan penggunaan energi tidak terbarukannya. Misalnya Amerika yang menjadi importir minyak terbesar di dunia. Minyak yang diimpor Amerika tersebut bukanlah untuk digunakan, tetapi untuk disimpan sebagai stok energi Amerika.

China pun demikian. Dia adalah importir batu bara terbesar. Tetapi bukan berarti China tidak mempunyai batu bara. China mempunyai batu bara tetapi digunakan secara hemat agar sumber daya tak terbarukannya tetap tersimpan dengan baik dan dapat digunakan saat darurat.

“Kalau tidak ada penemuan-penemuan yang berarti, minyak kita 11 tahun lagi habis. Dan dalam 20 tahun ke depan batu bara kita juga sudah habis. Peningkatan harga BBM bersubsidi secara tidak langsung mendorong pengembangan energi-energi terbarukan di Indonesia. Pertamina sedang menuju ke situ,” kata Ali.

Kualitas BBM Indonesia buruk

Aktivis Gerakan Rakyat Menggugat Ahmad Safrudin mengatakan bahwa kualitas BBM Indonesia buruk dan tidak sepantasnya dihargai setara dengan harga MOPS (Mean of Platts Singapore). “BBM bersubsidi Indonesia dalam konteks Piagam Kualitas BBM Dunia (World Wide Fuel Charter) berada di bawah kategori 1. Sementara Malaysia sudah kategori 2. Di Amerika Serikat harga BBM nya Rp8.900 per liter, tetapi sudah kategori 4. Jadi tidak bisa dikatakan BBM Indonesia paling murah, karena kualitasnya berbeda dengan negara lain,” kata Ahmad.

Subsidi yang dilakukan pemerintah, lanjut Ahmad, hanya untuk meningkatkan profit margin Pertamina. “Kita pakai standard MOPS, tapi tidak sekualitas itu. Biaya produksi BBM Indonesia akan berbeda dengan biaya produksi BBM di Singapura yang sudah kategori 2,” kata dia. Namun Ali membantah hal tersebut. “Pemerintah sendiri sudah menetapkan harga jual produksinya berdasar ICP. Harga ICP Indonesia rata-rata lebih tinggi daripada MOPS,” tandasnya. [iqbal]

BERITA TERKAIT

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…