Faktur Pajak Fiktif Mendominasi Tindak Pidana Perpajakan

NERACA

Jakarta – Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak melakukan mapping modus yang sering terjadi dalam tindak pidana perpajakan. Faktur pajak fiktif adalah yang paling sering terjadi di lapangan. “Sekitar 70-80% kejadian di lapangan itu karena faktur pajak fiktif,” kata Direktur Intelijen dan Penyidikan, Ditjen Pajak, Yuli Kristiyono di Jakarta, Jumat (21/6) pekan lalu. Beberapa modus operandi dari faktur pajak fiktif ini, lanjut Yuli, misalnya tersangka mendirikan perusahaan dan menerbitkan faktur pajak yang tidak didukung dengan transaksi uang dan barang. Jadi, perusahaan didirikan hanya untuk menjual faktur pajak.
Modus operandi lain yang sering ditemukan adalah dalam rangka mengurangi setoran PPN, perusahaan  dengan sengaja menambahkan atau membeli faktur pajak masukan dengan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.

“Dalam faktur pajak fiktif, banyak pihak yang terlibat, misalnya penerbit dan pengguna. Di antaranya ada mafia yang melakukan penjualan, termasuk bagaimana meng-create para penerbit dalam menerbitkan faktur pajak fiktif,” kata Yuli.
Modus kedua yang trennya semakin meningkat adalah memungut pajak, tetapi tidak menyetor. Menurut Yuli, modus ini banyak ditemukan di pegawai negeri yang berfungsi sebagai bendaharawan. Setelah melakukan pemungutan kepada para vendor pemerintah, bendaharawan ini tidak menyetorkannya ke negara.
“Modus ini trennya terus meningkat. Salah satu kasusnya misalnya sebuah kota kecil di Aceh. Yang dipungut tapi tidak disetor dalam dua tahun itu senilai Rp60 miliar, padahal itu baru kota kecil. Kasus tersebut dilaporkan ke kepolisian atas tindak korupsi. Lalu dikembalikan oleh pengadilan bahwa itu bukan pidana korupsi, tapi pidana perpajakan,” jelas Yuli.

Pasalnya, lanjut Yuli, peraturan PP nomor 60 tahun 2008 membuat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) lemah karena tidak dapat lagi melakukan pemeriksaan. Dulu, BPKP masih melakukan pemeriksaan setempat di setiap satuan kerja. Berapa jumlah yang diterima, berapa yang dipungut, dan berapa yang disetor dapat diperiksa. Namun sejak terbit aturan itu, BPKP tidak lagi dapat melakukan pemeriksaan. Selain modus faktur pajak fiktif dan modus tidak dilakukannya pelaporan, tindak pidana di bidang perpajakan juga dipenuhi dengan modus penambahan biaya-biaya fiktif. Misalnya dengan membuat kontrak manajemen dengan perusahaan satu grup di luar negeri untuk menimbulkan management fee, padahal sebetulnya tidak ada jasa manajemen di lapangan.

Contoh lainnya, membuat bukti biaya atau kuitansi yang sebenarnya tidak ada biaya yang dikeluarkan, kemudian uang untuk biaya fiktif itu akan ditransfer dari perusahaan ke rekening penampung sementara yang selanjutnya akan dibagikan ke pemegang saham. Bisa juga dengan membuat kontrak hedging atau wash out secara tanggal mundur. Wajib Pajak akan dibuat selalu rugi dalam hedging atau wash out tersebut. Pelunasan kerugian hedging atau wash out akan ditransfer dana dari rekening perusahaan ke rekening perusahaan grup di luar negeri.

Dalam setiap kasus yang dimenangkan Ditjen Pajak, terdapat kerugian negara dan denda yang harus dibayarkan wajib pajak. Uang tersebut masuk ke dalam penerimaan negara. “Semua pembayaran masuk ke kas negara. Kalau denda dalam arti pidana yang sudah inkrah, itu masuk ke pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” jelas Yuli. Dia mengaku, kekuatan Ditjen pajak masih kecil untuk menanggulangi seluruh kasus perpajakan, sehingga belum semua kasus dapat diselesaikan atau ditemukan. “Kekuatan kami masih sangat kecil. Penyidik hanya 400 orang. Dibanding jumlah kasus yang masuk luar biasa banyak. Kami tidak bisa proses itu semuanya. Jadi ada pemilihan kasus mana yang signifikan, mana yang cukup data untuk maju ke penyidikan, dan kasus mana yang banyak berefek kepada masyarakat. Itu yang didahulukan,” jelas Yuli. Pada tahun ini, lanjut dia, Ditjen Pajak berfokus pada penyidikan kasus di tiga sektor, yaitu properti, pertambangan, dan perkebunan. Ketiga sektor itu dirasa cukup banyak penyelewengan sehingga perlu ditindaklanjuti lebih dalam untuk membuat penerimaan negara dari pajak ketiga sektor tersebut meningkat. [iqbal]

BERITA TERKAIT

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital

Jadilah Individu Beretika di Dunia Nyata Maupun Digital NERACA Banyuwangi - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab

Bijak Bermedia Sosial, Bebas Berekspresi Secara Bertanggung Jawab  NERACA Probolinggo - Dalam rangka mewujudkan Indonesia Makin Cakap Digital, Kementerian Komunikasi…

Perhatikan Batasan dalam Berkonten di Media Sosial

  NERACA Jember - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo RI) berkomitmen meningkatkan literasi digital masyarakat menuju Indonesia #MakinCakapDigital2024. Dalam rangka…