Sifat Tamak Dan Ekonomi Islam - Oleh: Prof. DR. H Imam Suprayogo, Rektor UIN Malang

Berbicara tentang ekonomi Islam  adalah sangat tidak relevan manakala masih memberi peluang bagi orang-orang tamak. Sebab salah satu misi Islam adalah membangun kebersamaan, memperhatikan antara sesame dan juga tolong menolong. Ekonomi Islam menjadikan bagi siapapun dalam upaya memenuhi kebutuhannya tidak merugikan orang lain. Demikian sebaliknya, orang tamak selalu mementingkan diri sendiri, sekalipun orang lain menderita oleh karena ketamakannya. 

Ekonomi Islam berbeda secara paradigmatic dengan ekonomi lainnya. Ekonomi Islam memandang bahwa sebenarnya kebutuhan manusia itu adalah terbatas, sedangkan sumber-sumber ekonomi adalah tidak terbatas. Pandangan ini berbalik dengan paradigm ekonomi pada umumnya. Sementara ini paradigm ekonomi pada umumnya  mengatakan  bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan ketersediaan pemenuhan kebutuhan   selalu terbatas.

Mempercayai pandangan ekonomi pada umumnya menjadikan orang kapan saja dan di mana saja selalu berebut harta, khawatir  tidak berhasil memenuhi kebutuhannya sendiri. Kebutuhan dimaksud biasanya tidak terbatas jumlahnya. Padahal harta yang dikumpulkan dengan jumlah yang tidak terbatas itu  belum tentu dimanfaatkan bagi hidupnya. Kita melihat fenomena misalnya, terdapat orang berhasil mengumpulkan triliyunan dolar, sementara dalam jumlah sekian banyak orang tidak memiliki kekayaan dan bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. 

Berbeda dengan hal tersebut adalah paradigm ekonomi Islam yang dianut, maka seseorang tidak akan menumpuk harta sebanyak-banyaknya, oleh karena diyakini bahwa kebutuhannya terbatas, sedangkan ketersediaan bahan untuk mencukupi itu selalu tidak terbatas. Orang akan berpikir untuk apa menngejar dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, sebab tanpa menyimpan dan mengumpulkannya, hingga berakibat kebutuhan sesamanya terganggu, tidak akan mengalami kekurangan.

Selama ini,  di antara sebab-sebab yang menjadikan munculnya persoalan  ekonomi hingga melahirkankemiskinan adalah terdapatnya orang-orang yang bersifat rakus dan tamak. Hal itu dengan mudah kita lihat gambarannya  di kota-kota besar, seperti Jakarta dan lainnya. Kita akan segera menyaksikan bentuk bangunan rumah yang tidak seimbang.

Sebagian orang memiliki  rumah yang sedemikian besar,  luas,  tetapi juga  banyak jumlahnya. Sedangkan sebagian besar lainnya, tidak memiliki sama sekali. Kelompok yang disebutkan terakhir  berteduh di tempat-tempat seadanya. Atau mereka membuat gubug-gubung yang tidak pantas dihuni oleh orang.

Apa yang tampak di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya itu,  sebenarnya adalah  oleh karena terdapat orang-orang yang rakus, menumpuk-numpuk harta oleh karena terlalu mencintainya. Perilaku orang tamak  ini mengakibatkan orang lain tidak kebagian, sekaluipun sebatas untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Oleh karena itu,  ketidak-cukupan ekonomi bukan karena keterbatasan sumber-sumber ekonomi, melainkan justru disebabkan oleh banyaknya orang tamak itu. Sebagai anak keturunan dari  sifat orang tamak,  adalah  terjadi kesenjangan, penghisapan, dan bahkan juga perilaku korup di mana-mana yang tidak mudah dihentikan.

Ekonomi Islam sebagaimana ditunjukkan dalam al Qur’an, bahwa Tuhan akan memenuhi  kebutuhan  ekonomi manusia, sehingga jika dipahami secara mendalam menghindarkan bagi siapapun perperilaku tamak. Maka  sebenarnya bukan sumber-sumber ekonomi yang terbatas, hingga menyebabkan kekurangan, melainkan  kemampuan manusia dalam mengekploitasi sumber-sumber ekonomi itu yang masih  terbatas dan sifat ketamakan itu.

Andaikan saja, paradigm Qur’ani dikembangkan dalam membangun ekonomi Islam, maka tidak akan terjadi perebutan sebagaimana terjadi pada saat ini. Melalui paradigm itu, maka orang berhasil menghindar dari sifat tamak yang sangat membahayakan bagi banyak kalangan. 

Oleh karena itu,  berbicara ekonomi Islam, namun sehari-hari pandangannya masih sama dengan pandangan ekonomi konvensioonal, sehingga sifat tamak masih belum bisa dicegah, maka perbincangamn  ekonomi Islam tidak relevan. Memang bisa jadi riba berhasil  dihindari, jual beli dilakukan secara Islami,  usaha ekonomi dilakukan dengan bagi hasil, dan seterusnya.

Akan tetapi jika orang-orangnya masih berperilaku tamak,  menumpuk harta  dengan melupkan pihak lainya yang kekurangan,  ketakutan tidak tercukupi kebutuhannya sendiri, maka hal itu kontra produktif dengan ekonomi Islam. Ekonomi Islam mencegah siapapun bersifat tamak, menumpuk harta yang  tidak diperlukan  sehingga  mengakibatkan kebutuhan orang lain tidak tercukupi dan menderita. Wallahu a’lam. (uin-malang.ac.id)

 

BERITA TERKAIT

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…

BERITA LAINNYA DI Opini

Pembangunan Infrastruktur Demi Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat Papua

  Oleh : Damier Kobogau, Mahasiswa Papua tinggal di Surabaya   Pemerintah terus berkomitmen membangun Papua melalui berbagai pembangunan infrastruktur…

Pembangunan Fasilitas Pendukung Salah Satu Kunci Kesuksesan IKN

  Oleh : Rivka Mayangsari, Peneliti di Lembaga Studi dan Informasi Strategis Indonesia   Pembangunan IKN merupakan sebuah keputusan sejarah…

Presiden Terpilih Perlu Bebaskan Ekonomi dari Jebakan Pertumbuhan 5% dengan Energi Nuklir Bersih

    Oleh: Dr. Kurtubi, Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014 – 2019, Alumnus UI Bencana Alam yang banyak terjadi didunia…