Rupiah Tekan Konsumsi Listrik Industri

NERACA

 

 

 

Jakarta - PT PLN (Persero) terus memantau serius tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Menurut Beny Marbun, Kepala Divisi Niaga PLN, tekanan nilai tukar rupiah ini dapat saja berdampak kepada menurunnya konsumsi listrik dari industri yang menggunakan bahan baku dominan impor dan produksinya dipasarkan di Indonesia, seperti industri peralatan elektronik.

Namun, lanjut dia, di sisi lain konsumsi listrik diharapkan meningkat dari industri yang produksinya menggunakan bahan baku dominan lokal dan pemasarannya ekspor, seperti industri pengolahan ikan, kayu, dan turunannya.\"Karenanya, untuk menjaga keseimbangan pergerakan perekonomian melalui peningkatan produksi industri,\" ungkap Beny lewat siaran pers yang diterima Neraca, Senin (17/6).

Beny menyatakan, PLN kini mendekati dan memberi kemudahan bagi calon industri yang menggunakan bahan baku dominan lokal yang pasar produksinya ekspor maupun lokal. Keseimbangan itu diharapkan dapat mengurangi dampak tekanan mata uang asing terhadap rupiah Indonesia, dan dampak dari masih lesunya perekonomian Eropa dan Amerika Serikat.

Konsumsi Listrik

Beny mengatakan pertumbuhan pemakaian listrik hingga akhir Mei 2013 ini kembali memberikan optimisme bahwa perkenomian Indonesia terus membaik. Indikasi ini terlihat dari pemakaian listrik pada Mei 2013 sebesar 16,07 Terawatthour (tWh) atau tumbuh 9,96% bila dibanding dengan pemakaian listrik pada Mei 2012 yang sebesar 14,61 tWh.

Sementara pertumbuhan pertumbuhan pemakaian listrik bulan Mei 2012 bila dibandingkan pemakaian Mei 2011 sebesar 9,68%. Pertumbuhan konsumsi listrik adalah salah satu indikator pertumbuhan ekonomi.\"Hal yang juga memberi optimisme bergeraknya perekonomian Indonesia adalah pertumbuhan konsumsi listrik dari segmen Industri yang masih tetap tinggi, di sekitar 10%. Bila sampai dengan April 2013, pertumbuhan konsumsi kWh segmen industri sebesar 9,0%, angka sampai dengan Mei 2013 sebesar 10,0%\" katanya.

Angka ini menunjukkan sektor penggerak utama perekonomian tetap bergairah, yang pada akhirnya diharapkan dapat menyediakan tambahan lapangan pekerjaan, dan mengurangi kemiskinan. Secara akumulatif dari Januari sampai dengan Mei 2013, penjualan listrik tumbuh 7,6% dibanding penjualan listrik periode yang sama tahun lalu. Namun, pertumbuhan yang relatif rendah ini secara akumulatif tidak lain karena rendahnya penjualan listrik pada Januari 2013 dan Februari 2013 sebagai dampak dari banjir besar yang melanda sebagian Jakarta, Bekasi, dan Karawang.

Selain itu, tentu tidak terelakkan juga dampak psikologis pengenaan tarif listrik baru yang mendorong konsumen, terutama konsumen bisnis, mengendalikan pemakaian listriknya.Pemakaian listrik yang mulai tinggi kembali pada Maret dan April 2013 memberikan gambaran bahwa perekonomian telah pulih dari dampak banjir, dan kegiatan usaha serta industri telah berjalan normal kembali.

PLN telah berkomitmen menjadi badan usaha yang menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Karenanya, perkembangan pertumbuhan penjualan listrik ini dipantau secara khusus. Untuk mendukung pertumbuhan konsumsi yang menggerakkan perekonomian, pasokan listrik kepada sektor-sektor produktif, seperti konsumen komersil dan industri, tetap mendapat perhatian khusus agar kualitas dan keberlangsungan pasokan listrik dari waktu ke waktu semakin baik, termasuk pemenuhan kebutuhan listrik pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).

Hal senada juga ungkapkan Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Ahmad Ridwan. Dia mengatakan dampak negatif depresiasi rupiah tidak hanya dialami oleh importir, tetapi juga oleh eksportir yang mengandalkan bahan baku impor dalam proses produksinya. “Produk ekspor menjadi tidak berdaya saing karena eksportir membeli bahan baku impor dengan harga yang mahal,” kata Ridwan.

Beberapa bidang industri di dalam negeri selama ini bergantung pada bahan baku impor, seperti industri alas kaki yang membutuhkan karet setengah jadi impor, sekalipun sebagian produk jadinya diekspor kembali. Industri elektronik dan otomotif pun mengandalkan komponen impor. Demikian pula dengan industri plastik yang membutuhkan polipropilena dan polietilena impor.

BERITA TERKAIT

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…

BERITA LAINNYA DI Industri

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

Hingga H+3 Pertamina Tambah 14,4 juta Tabung LPG 3 Kg

NERACA Malang – Selama Ramadhan hingga H+3 Idul Fitri 2024, Pertamina melalui anak usahanya, Pertamina Patra Niaga, telah menambah pasokan…

Pengembangan Industri Pengolahan Kopi Terus Dirorong

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong perkembangan industri pengolahan kopi nasional. Hal ini untuk semakin mengoptimalkan potensi besar…