Minat Investasi Manufaktur Masih Tinggi

NERACA

 

Jakarta - Meskipun target pertumbuhan ekonomi Indonesia diturunkan dari 6,8 % menjadi 6,3 %, Kementerian Perindustrian menyatakan minat investor menanamkan modal di Indonesia masih cukup  tinggi, khususnya di industri manufaktur logam dasar dan petrokimia.

Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan banyak investor, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, yang datang ke Kemenperin dengan niat berinvestasi. “Yang masih mikir- mikir banyak, yang sudah pendekatan banyak. Sekarang mereka sedang melihat prospeknya,” kata Panggah, Jumat (7/6).

Menurutnya, rencama investasi di industri logam dasar mencapai US$12 miliar yang sedang diproses, sementara di industri petrokimia sekitar US$6 miliar. .“Kami berharap, investasi tersebut bisa segera terealisasi. Belum lagi yang saat ini masih pendekatan, banyak sekali,” ujar Panggah.

Adapun proyek investasi di bidang industri logam dasar yang sedang berjalan a.l. proyek besi baja PT Krakatau Steel-Posco (US$3 miliar), perluasan Krakatau Steel (US$400 juta), PT Meratus Jaya (US$140 juta), PT Delta Prima (US$40 juta), PT Indoferro (US$120 juta), pengolahan bauksit PT Indonesia Chemical Alumina, pengolahan nikel PT Weda Bay Nikel (US$5 miliar) dan Feni Haltim (US$1,6 miliar).

Untuk investasi di bidang Industri petrokimia yang sedang dalam proses a.l. Perluasan PT Nippon Shokubai (US$332 juta), PT Petrokimia Butadiena (US$145 juta), PT Asahimas Chemicals (US$400 juta), PT Indorama (US$185 juta), PT Amoco Mitsui (US$200 juta) dan rencana Honam (US$5 miliar).

“Amoco itu baru, mau bangun pabrik disini, bahan baku kimia, saya lupa jenisnya. Dia baru mengajukan tax holiday,” jelas Panggah.

Industri Kimia

Sekedar informasi setiap tahun, kebutuhan bahan kimia kian pesat seiring dengan terus bertumbuhnya industri. Namun, tak ada penambahan kapasitas produksi pabrik ataupun kilang dalam negeri. Akibatnya, impor petrokimia terus meroket. Selama 10 tahun terakhir, tidak ada pertumbuhan investasi industri kimia hulu di Indonesia. Padahal, negeri ini merupakan negara pertama di Asean yang mengenal kilang minyak, yakni sekitar 1892.

Singapura yang baru mengembangkan kilang sejak 1961, kini sudah memiliki kapasitas kilang sekitar 1,3 juta barel. Adanya tekanan dari negara tetangga pascapemberlakuan sederet perjanjian liberalisasi perdagangan serta tidak adanya integrasi bisnis antara industri petrokimia dan kilang minyak kian membuat Indonesia terjerembab menjadi negara importirbahan kimia. Saat ini, Indonesia menjadi pengimpor minyak mentah, BBM, nafta, etilena, propilena, PP, PE, paraxylene, benzene dan produk turunannya dalam jumlah besar.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, impor produk polietilena (PE) dan polipropilena (PP) terus meningkat seiring dengan tumbuhnya konsumsi bahan kimia. Gara-gara tidak ada penambahan kapasitas produksi, delta antara kapasitas produksi dan konsumsi semakin tipis dan membuat impor semakin tinggi. Da lam data tersebut disebutkan, pada 2012, konsumsi PE di Indonesia sekitar 955.000 ton per tahun, sedangkan kapasitas lokal hanya 778.000 ton per tahun dan impor sekitar 327.000 ton.

Pada tahun ini, impor PE diperkirakan meningkat jadi 403.000 ton dengan konsumsi per tahun sekitar 1,03 juta ton. Kapasitas produksi lokal tidak bertambah. Pada 2014, konsumsi diperkirakan meningkat lagi menjadi 1,11 juta ton per tahun tanpa diiringi dengan penambahan kapasitas. Pada tahun depan, impor PE diperkirakan mencapai 486.000 ton per tahun.

Sama halnya dengan PE, impor PP juga terus meningkat. Pada 2012, dari konsumsi sebesar 1,3 juta ton per tahun, Indonesia mengimpor sekitar 581.000 ton per tahun. Pada 2013, Indonesia akan im por PP sekitar 687.000 ton per tahun dari konsumsi sebesar 1,46 juta ton. Pada 2014, impor PP di prediksi meningkat lagi menjadi 805.000 ton dari konsumsi sekitar 1,58 juta ton.

Impor produk petrokimia akan terus berlangsung bila Indonesia tidak berupaya menambah kapasitas pabrik atau kilang yang terintegrasi dengan petrokimia. Pasalnya, pertumbuhan industri manufaktur, khususnya yang mengandalkan bahan kimia seperti industri plastik, ban, kosmetik, dan sebagainya akan terus tumbuh sehingga kebutuhan bahan kimia akan terus meningkat.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Budi Susanto Sadiman mengatakan selama dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan bahan kimia industri, impor akan terus dilakukan. \"Katanya pemerintah ada rencana pembangunan pabrik petrokimia, kemudian kilang yang terintegrasi dengan petrokimia, te tapi sampai sekarang tidak tahu ba gaimana perkembangannya,\" kata Budi.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…