Oleh: Launa, SIP MM, Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia dan Sekretaris Eksekutif Sinergi Indonesia - Rehabilitasi Sosial Anak Jalanan

Hari Anak Sedunia, yang jatuh setiap tanggal 1 Juni, adalah ratapan bagi sebagian anak Indonesia yang tak beruntung. Betapa tidak! Terungkapnya kasus mutilasi beberapa anak jalanan (anjal) di berbagai kota besar Tanah Air, kian mempertegas posisi anjal yang rentan menjadi korban pelecehan seksual, kekerasan, eksploitasi, bahkan penjagalan.

Kehidupan jalanan yang keras telah menempatkan anjal sebagai kelompok subordinatif dan eksploitatif dalam struktur sosial masyarakat kota (urban society) yang kian gigantis, individual, dan intoleran. Kota telah menjadi tunggku api bagi anjal dan kaum miskin.

Menyeruaknya jumlah anjal menjadi indikator kegagalan negara dalam mengurus anak sebagai generasi penerus bangsa. Faktual, anjal tak mendapat hak asuh yang wajar dan perlindungan negara secara maksimal, seperti hak atas pendidikan, hak atas perlindungan dan pemerliharaan serta hak rehabilitasi sosial.

Alih-alih ingin melahirkan generasi emas (gold generation), yang terjadi negara dan membiarkan anak tak beruntung untuk hidup liar dan bebas, meninggalkan norma hukum dan agama serta hidup tanpa kepastian masa depan.

Ironisnya, di tengah sulitnya mencari pekerjaan dan impitan ekonomi, tak sedikit orang tua yang tega menyeret anak-anak mereka menjadi anjal. Anak dipaksa mengamen, membersihkan kaca mobil, mengemis, bahkan menjadi pemalak atau penjambret. Bentuk eksploitasi anjal, kini lebih terorganisir, dikendalikan para bandit dan sindikat jalanan.

Fenomena anjal sebagai implikasi struktural modernisasi sesungguhnya telah lama menyita perhatian penentu kebijakan di negeri ini. Tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak (usia 18 tahun), 35,5% dari total seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 40% atau 33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan, dan 45,8 juta sisanya tinggal di perdesaan.

Sementara data Kementeriaan Sosial menunjukkan, jumlah anak telantar di seluruh Indonesia mencapai sekitar 4,5 juta anak yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air. Ironisnya, anggaran yang tersedia di Kementerian Sosial sebesar Rp 281 miliar hanya cukup untuk mengurusi sekitar 175 ribu anak (Republika, 23/4/2012).

Kriteria anjal versi pemerintah adalah anak yang berusia 5-18 tahun, yang menghabiskan sebagai besar waktunya berkeliaran di jalan untuk mencari nafkah. Waktu yang mereka habiskan di jalanan atara 4-5 jam per hari. Sebagian besar anjal berasal dari keluarga miskin, tertinggal, dan tak mampu memberdayakan dirinya.

Tipe anak jalanan terdiri dari anak jalanan yang memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua, anak jalanan yang memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua,  anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga, dan anak jalanan yang tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.

Eksistensi anjal terpaut dengan perlakuan dan kondisi dalam keluarga, baik akibat kemiskinan, perceraian orangtua, minimnya perhatian dari lingkungan sosial, dan tendensi memprioritaskan uang dari pada bersekolah atau melakukan kegiatan lain.

Mandat konstitusi amat jelas, yakni memberi kewenangan pada negara untuk mengurus (dan bukan menangkapi) anjal. Tekannya pada pemeliharaan, penanganan, pemberdayaan, dan rehabilitasi sosial.

Pasal 34 Ayat 2 tegas menyebut: “Negara mengembangkan suatu jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Rehabilitasi Sosial

Prioritas konstitusional agar negara berperan aktif dalam membanguan manusia Indonesia yang lebih bermartabat, menjadi memilukan saat kita hadapkan dengan kondisi obyektif kualitas hidup manusia (human development indeks) Indonesia saat ini yang jauh dari layak; ranking 121 dari 187 negara (2012), hanya naik tiga peringkat dibanding tahun sebelumnya (2011) yang menempati posisi 124 dari 187 negara.

Integritas manusia Indonesia menjadi buram karena balutan kemiskinan. Ironisnya, penanganan anjal masih menjadi domain negara.Sementara institusi lain hanya berperan sebatas partisipan (akibat minimnya dana, sarana, dan SDM yang memadai). Dominasi negara dan sekat-sekat kelembagaan dalam menangani kelompok marjinal seperti anjal, tampaknya belum ada perubahan paradigma sejak era Orde Baru.

Integritas dan peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia seakan hanya relevan jika dikaitkan dengan kepentingan pemilik modal. Kebijakan yang berpihak kepada kelompok establish dan para kapitalis merupakan sumber bencana sosial di negeri ini.

Proses peminggiran masyarakat secara sistematik tampak pada keberpihakan pemerintah yang begitu mencolok untuk mendahulukan kepentingan para elite ekonomi dan korporasi. Sementara, kebijakan pro anjal dan fakir miskin (pro poor) dinomorsekiankan.

Di sini, konsep keberpihakan negara yang pro poor, pro job, dan pro wealth seperti kerap dilontarkan pemerintah menjadi komedi omong yang komitmenya hanya sebatas tenggorokan. Ambiguitas pendekatan terkait kebijakan rehabilitasi sosial atas anjal juga terasa begitu parsial akibat lemahnya koordinasi, ego sektoral, dan korupsi anggaran yang terus membelit institusi yang telah diberi mandat penuh untuk mengurus problem anjal.

Tak terlihat sikap serius dan kemauan keras dari insitutsi negara (baik di pusat maupun daerah) untuk menyinergikan kebijakan dan pola penanganan anjal menjadi satu kekuatan nasional guna memerangi akar kemiskinan yang saat ini bergerak makin parah.

Program rehabilitasi sosial dan inklusi sosial untuk anjal agaknya beroperasi tanpa panduan konsep yang jelas: bersifat ad hoc, parasial, tambal sulam, tak menyentuh akar masalah, dan di desain secara lebih terukur, terencana, dan relatif tuntas.

Proyek “rumah singgah” sebagai wadah rehabilitasi dan inklusi sosial anjal hanyalah program sejenak yang sama sekali tak terkait dengan statistik penurunan angka anjal yang terus membengkak dari tahun ke tahun.

Nyata, membludagnya angka anjal dan fakir miskin di negeri ini adalah buah dari desain pembangunan nasional yang parsial, sektoral, bias modal, tak ramah anak, dan tak berpijak pada mandat konstitusi. (analisadaily)

 

 

 

BERITA TERKAIT

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…

BERITA LAINNYA DI Opini

Jaga Persatuan dan Kesatuan, Masyarakat Harus Terima Putusan MK

    Oleh : Ridwan Putra Khalan, Pemerhati Sosial dan Budaya   Seluruh masyarakat harus menerima putusan Mahkamah Konstitusi (MK)…

Cendekiawan Sepakat dan Dukung Putusan MK Pemilu 2024 Sah

    Oleh: David Kiva Prambudi, Sosiolog di PTS   Cendekiawan mendukung penuh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa…

Dampak Kebijakan konomi Politik di Saat Perang Iran"Israel

  Pengantar Sebuah diskusi webinar membahas kebijakan ekonomi politik di tengah konflik Irang-Israel, yang merupakan kerjasama Indef dan Universitas Paramadina…