Bank Lokal Terseok-Seok Bersaing Melawan Bank Global

NERACA

Jakarta – Perbankan di Indonesia terseok-seok bersaing melawan bank asing. Bahkan di “kandang” sendiri, bank-bank lokal Indonesia masih kalah jauh jika dibandingkan dengan bank-bank yang sudah beroperasi global, seperti Standard Chartered Bank, Deutsche Bank, Commonwealth Bank, BNP Paribas, atau HSBC.

“Bank kita masih sangat domestic oriented. Kita memang masih tertinggal jauh dari bank-banl global. Kalau bank global sperti Standard Chartered itu sudah masuk ke semua negara,” kata Deputy Country Director Asian Development Bank (ADB), Edimon Ginting di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Edison, sebenarnya tidak hanya bank lokal Indonesia yang kalah bersaing. Perbankan Singapura dan Malaysia juga kesulitan bersaing. Terbukti, perbankan Singapura dan Malaysia juga belum hadir di semua negara ASEAN. “Kalau bank kita mau ekspansi ke luar negeri, akan lebih mudah untuk masuk ke negara ASEAN selain Singapura dan Malaysia,” tutur Dia.

Susahnya, imbuh Edison, bank-bank dari negara ASEAN kesulitan masuk ke negara lain, terutama negara di luar Asia Tenggara. Pasalnya, ketatnya persyaratan dan izin masuk di tiap-tiap negara, sulit dipenuhi perbankan domestik.

“Beberapa persyaratan tersebut, misalnya banknya harus punya sistem TI yang bagus, masuk peringkat teratas di dunia, dan lain-lain. Maka bank-bank di ASEAN juga masih kalah dari bank-bank global. Bank DBS (dari Singapura) yang terbesar pun masih belum masuk peringkat 50 bank-bank global terbesar,” ungkapnya.

Maka itu dalam rangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), khususnya ASEAN Banking Integration di 2020, sebaiknya negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini tidak melupakan persyaratan minimal yang harus disetujui di antara negara-negara tersebut.

“Setelah persyaratan minimal disepakati, lalu dilakukan lah harmonisasi dengan aturan di negara kita. Itu perlu, tapi lebih spesifiknya ke aturan perbankan. Walaupun gap (antar aturan di masing-masing negara ASEAN) tidak besar tapi belum tentu terharmonisasi,” ujarnya.

Dia mengakui, adanya keterbukaan di antara negara-negara ASEAN memang memunculkan resiko bahwa negara kecil itu akan didominasi oleh asing. Tapi dia meyakini hal tersebut akan sulit terjadi di Indonesia karena perekonomian kita besar.

“Tapi kalau perbankannya yang diminta terintegrasi juga, maka akan jadi masalah tersendiri. Karena di masing-masing negara ASEAN itu tingkat development-nya berbeda. Jadi yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mengintegrasikan bank dengan tingkat development yang berbeda. Misalnya Myanmar yang PDB per kapitanya masih di bawah US$1000. Lalu, kepemilikan bank di dalam negeri juga menjadi penting, yakni kita harus punya bank domestik yang kuat,” jelasnya.

Kalau dari sisi persyaratan atau peraturan sudah terintegrasi antar negara-negara di ASEAN, maka jangan dilupakan aspek kompetisinya. Karena pendalaman pasar keuangan kita, masih jauh lebih rendah daripada Singapura atau Malaysia yang sudah sangat dalam di sektor finansialnya.

“Kita sebetulnya masih sangat tidak deep dibandingkan negara-negara lain di ASEAN, walaupun secara ekonomi kita besar. Bond market kita saja masih 15% dari PDB. Lalu dari sisi aset finansial, kita masih di bawah, padahal hampir di semua negara meningkat,” beber Dia.

Padahal, tutur Edimon, dalam sektor finansial itu ‘size matter’. Jika Indonesia bisa lebih dalam pasar keuangan, maka perekonomian kita bisa lebih efisien. “Ini menjadi bagian penting dari stabilitas bersaing. Kalau ekonomi sudah diintegrasikan, maka size juga lebih besar, maka benefit juga akan besar,” imbuhnya

Dia juga menerangkan kalau MEA itu dibentuk untuk menciptakan ASEAN yang lebih punya daya saing dibandingkan dengan regional lainnya di dunia. Setelah MEA itu berjalan maka ada ada free flow of goods (barang dan jasa), tenaga kerja, dan investasi, sehingga ASEAN bisa menjadi pusat ekonomi yang besar. Termasuk harus dibangun sektor finansial yang terintegrasi di wilayah Asia Tenggara.

“Portofolio (investasi) di ASEAN itu memang meningkat, tapi investasi intra ASEAN itu mendatar. Orang ASEAN itu bias, either dia menempatkan asetnya di negara sendiri atau malah di negara maju, tapi bukan di negara ASEAN lain. Ini karena masalah likuiditas market-nya. Kalau financial market yang lebih terintegrasi, maka akan banyak lebih banyak lagi investasi masuk di intra ASEAN,” tutupnya.

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…