PRODUK RI DI PASAR GLOBAL - Bunga Kredit Tinggi Hancurkan Daya Saing

NERACA

Jakarta – Tingginya bunga kredit perbankan telah menghancurkan daya saing produk industri Indonesia di pasar perdagangan global. Lemahnya daya saing bukannya membuat produk Indonesia kalah bersaing di pasar global, tapi juga di pasar domestik.

\"Di Indonesia kalau kita pinjam bunganya 10%, sedangkan di Malaysia hanya 2%. Bagaimana pengusaha kita bisa bersaing jika kita sudah dikalahkan 8% pada langkah awalnya,” kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Jakarta, Sabtu (18/5).

Menurut Mendag, bunga kredit perbankan untuk modal kerja harus bisa diturunkan dari levelnya sekarang sekitar 10%-15%. Dia menyebut, potensi ekonomi Indonesia sangat besar, tapi sayang Indonesia hanya jadi pasar barang-barang impor. Padahal, banyak barang impor sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri.

Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Purbaya Yudhi Sadewa menambahkan, bunga bank di Indonesia masih terlalu tinggi hingga memperlemah daya saing produk ekspor Indonesia. “Cost of capital menjadi lebih mahal. Keuntungan perusahaan menjadi tergerus,” kata Yudhi kepada Neraca, Minggu (19/5).

Bunga yang tinggi tersebut, lanjut Yudhi, karena industri perbankan di Indonesia bersifat oligopolistik. “Perbankan Indonesia adalah perbankan yang mendapat margin terbesar di dunia,” kata Yudhi.

Spread antara bunga pinjaman dan BI Rate, menurut dia, jauh lebih tinggi dibanding negara lain. “Coba saja perhatikan, dari sepuluh besar perusahaan yang listing di bursa, delapan di antaranya adalah bank. Hanya dua yang dari sektor riil. Desain yang ada sekarang terlalu menganaktirikan sektor riil dan membuat sektor perbankan sangat nyaman,” jelas dia.

Yudhi mengakui bahwa Bank Indonesia sudah mau menekan perbankan untuk mengurangi tingginya suku bunga, tetapi belum berhasil. “Kebijakan yang diambil adalah rezim inflasi. Ketika inflasi yang terjadi lebih tinggi daripada inflasi yang diasumsikan, maka BI cenderung untuk menaikkan suku bunga. Sebaliknya, jika yang terjadi lebih rendah maka BI cenderung untuk menurunkan suku bunga,” jelas Yudhi.

Dia memprediksi, dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 maka tambahan inflasi yang terjadi adalah 2%-2,5%. Sementara asumsi inflasi pemerintah dalam APBN adalah 4,9%. Menurut dia, kenaikan inflasi akan mendorong BI untuk menaikkan suku bunga.

Yudhi yakin bahwa dengan suku bunga rendah, pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi. “Hampir pasti,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengungkapkan, tingginya suku bunga kredit akan melemahkan daya saing produk dalam negeri. Pasalnya tingginya bunga kredit akan membuat dunia usaha sulit untuk membuat perencanaan bisnis dalam waktu hingga satu tahun ke depan.

Seharusnya, imbuh Sofjan, Pemerintah dapat menekan suku bunga kredit serendah mungkin, bahkan kalau bisa satu digit. Karena dengan rendahnya suku bunga kredit akan mendorong ekspansi bisnis tidak hanya sektor usaha menyerap tenaga kerja di industri padat karya dan padat modal tetapi juga sektor usaha kecil.

Dia memaparkan dalam kondisi ekonomi saat ini, sangat sulit produk dalam negeri bangkit, terutama sektor manufaktur menghadapi gempuran produk impor yang hampir menguasai 50% pangsa pasar dalam negeri.

\"Sangat sulit bagi produk dalam negeri memenangkan persaingan atas besarnya tekanan produk impor terutama yang berasal dari Cina,” ujarnya, kemarin.

Suku bunga kredit di dalam negeri, imbuh Sofjan, dapat dapat ditekan serendah mungkin. Mengingat, kondisi perbankan saat ini tidak terlalu mengkhawatirkan karena cenderung memiliki likuiditas cukup. Bahkan sebagian besar bank banyak menempatkan dananya pada instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Tetapi, tandas dia, perbankan selalu saja beralasan cost of fund (biaya dana) masih tinggi sehingga memungkinkan terjadi peningkatan NPL (kredit bermasalah). Padahal tidak demikian, karena dana banyak diserap ke surat utang negara yang menjanjikan suku bunga lebih tinggi.

Di tempat terpisah, Direktur PT Bank Tabungan Negara (BTN), Saut Pardede mengatakan, tingkat suku bunga kredit erat kaitannya dengan berapa besar tingkat inflasi dan suku bunga acuan bank Indonesia. “Suku bunga perbankan sangat bergantung pada BI Rate, di mana saat ini sebesar 5,75%. Jika suku bunga kredit sebesar 10% maka margin bunga bersih (NIM) sekitar 4,25% maka sebenarnya ini sudah di bawah NIM industri,” ucapnya.

Meski demikian, lanjut Saut, tingkat suku bunga saat ini memang masih dapat diturunkan. Hal tersebut tergantung dari bagaimana perbankan mengelola dan melakukan efisiensi. Namun, dengan kondisi saat ini yaitu dengan ada isu kenaikan BBM cukup sulit bagi perbankan untuk bisa menurunkan tingkat suku bunga. “Kalau kita lihat di mana saat ini dibayangi BBM, momentum suku bunga rendah akan berubah atau berbalik arah. Tergantung bagaimana BI menangani nilai tukar rupiah sehingga dapat menekan cost of fund-nya,” paparnya.

Menurut dia, cukup sulit jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Singapura yang hanya merupakan kota kecil yang tentunya pelayanan yang harus diberikan perbankan tidak lebih luas dibandingkan Indonesia yang merupakan negara berkembang dan terdiri atas banyak pulau. Karena itu, biaya operasional yang harus ditanggung oleh perbankan Indonesia lebih besar dan membebani cost of fund bank.

Lepas dari hal tersebut, dengan masuknya masyarakat ekonomi ASEAN dan persaingan yang akan semakin ketat, besaran tingkat suku bunga perlu menjadi perhatian pemerintah. Selain efisiensi yang dilakukan bank itu sendiri, pemerintah harus menekan biaya operasional lainnya seperti biaya administrasi yang harus dikeluarkan bank. “Perlu juga didorong dari hal yang lain seperti perizinan menjadi lebih mudah sehingga tidak menambah biaya dan mendukung efisiensi.” tandasnya.

Berbicara dalam konteks pinjaman rupiah oleh pengusaha maka akan sangat bergantung pada inflasi sehingga tingkat suku bunga memang berada di atas inflasi. Berbeda jika perngusaha berani untuk pinjam dolar. \"Tidak mungkin suku bunga berada di bawah inflasi,\" imbuhnya. lia/iqbal/iwan/kam

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…