Dalam Kasus Bioremediasi - SKK Migas Dituntut Berperan Lebih Dominan

Jakarta – Pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dituntut berperan lebih dominan dalam menyelesaikan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang cukup mengganggu kepastian hukum di sektor migas.

Hal ini diungkapkan Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Satya Widya Yudha dalam  Ekspose dan Diskusi Energy and Mining Editor Society (E2S) bertema “Analisis dan Outlook Sektor Migas Semester I 2013; Dilematika Penanganan Kasus Bisnis Korporasi” di Jakarta, Selasa, 23 April 2013.

Menurut Satya, dalam pelaksanaan pengolaan migas Indonesia yang dinaungi oleh sistem Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC) pemerintah telah menunjuk lembaga yang mengawasi Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) Migas dalam setiap operasional kegiatannya. Jangan sampai dengan berkembangnya kasus hukum korporasi yang mengganggu kepastian hukum, SKK Migas terkesan ada dan tidaknya sama saja.

Ia mencontohkan kasus bioremediasi PT CPI, seharusnya PT CPI tidak dibiarkan membela karyawan dan kontraktor serta menghadapi kasusnya sendirian. Karena tuduhan dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus bioremediasi itu, tidak terlepas dari peran SKK Migas yang sebelumnya sudah menyetujui pelaksanaan proyek dan besaran nilai proyek yang kemudian dimintakan penggantian kepada pemerintah melalui mekanisme Cost Recovery.

Perlu dicatat, kata Satya, Cost Recovery merupakan suatu bentuk investasi tidak langsung Pemerintah Indonesia dalam kegiatan hulu migas. Dalam mekanisme Cost Recovery yang merupakan bagian dari sistem PSC, ada institusi negara yang mengaudit besarannya agar tidak sampai merugikan negara. Ada multiple audit di sana, termasuk oleh SKK Migas. “Kalau sampai terjadi Cost Recovery jebol, berarti yang mengaudit Cost Recovery itu yang tidak becus,” tandasnya.

Meski demikian, lanjutnya, kalau memang dinilai ada kelebihan dalam pembayaran Cost Recovery, sesuai sistem PSC yang berlaku di Indonesia, maka dimintakan pengembalian kepada KKKS yang bersangkutan. “Dan kalau terjadi kelebihan dalam pembayaran Cost Recovery, mestinya yang ditegur lebih dulu adalah si pengawas. Tidak bisa dibebankan langsung kesalahan itu operator atau KKKS yang sebenarnya merupakan pihak yang diawasi,” ujar Satya lagi.       

Satya menambahkan, mencuatnya kasus bioremediasi PT CPI harus dievaluasi oleh seluruh pemangku kepentingan di sektor migas. Jangan sampai setiap orang yang kalah dalam tender dan kebetulan dekat dengan aparat hukum, bisa sewaktu-waktu mempersoalkan suatu proyek hulu migas menjadi suatu kasus pidana. “Kalau ini berlanjut terus, akan menjadi sangat tidak sehat,” ujarnya lagi.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas menuturkan, dalam konteks pengelolaan hulu migas ada tiga prinsip utama yang diatur oleh UUD 1945. Yakni Mineral Rigth dan Mining Rigth yang itu ada pada state atau negara, serta Business/Interprise Right yang itu ada pada swasta baik nasional maupun asing.

Dalam konteks ini, menurut Firdaus memang PSC migas akhirnya bisa dijangkau oleh hukum pidana. Maka dari itu, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Bareskrim Polri sejak tahun lalu sudah menandatangani MoU (Nota Kesepahaman) untuk adanya penanganan sepuluh sektor yang berpotensi besar menimbulkan korupsi. Salah satunya di pertambangan dan migas.

Namun pada kasus bioremediasi PT CPI, menurut Firdaus masih banyak yang belum jelas. Karena dalam konteks korporasi terutama PSC Migas, tuduhan adanya tindak pidana korupsi harus didasarkan pada dua hal. Pertama, apakah terjadi pelanggaran peraturan? Kemudian yang kedua, apakah ada pihak yang diperkaya dalam kasus itu? “Kedua hal ini belum terjawab dalam kasus bioremediasi PT CPI,” ujarnya.

Sejauh ini, lanjutnya, yang mengemuka dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus bioremediasi, hanya tentang adanya pembayaran Cost Recovery sebesar USD 9,9 juta selama 2002 – 2012. Namun Kejaksaan Agung yang menangani perkara ini, tidak proaktif memberikan informasi yang jelas termasuk ke ICW, tentang peraturan apa yang dilanggar dan siapa yang diperkaya?

BERITA TERKAIT

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Grab Raih Sertifikat Kepatuhan Persaingan Usaha

NERACA Jakarta - Grab Indonesia menjadi perusahaan berbasis teknologi pertama penerima sertifikat penetapan program kepatuhan persaingan usaha menurut Komisi Pengawas…

KPK: Anggota Dewan Harus Mewariskan Budaya Antikorupsi

NERACA Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan anggota dewan harus mewariskan budaya antikorupsi. “Tantangan terbesar…

KPPU: Skema Denda di UU Cipta Kerja Guna Beri Efek Jera

NERACA Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan skema denda yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertujuan…