BISNIS PEMBIAYAAN MIGAS DIKUASAI ASING - Bankir Takut Risiko, Kucuran Kredit Sektor Migas Seret

Jakarta – Kalangan perbankan nasional dinilai aneh karena tidak mempunyai keberanian untuk masuk ke bisnis pembiayaan di industri minyak dan gas. Akibatnya kucuran kredit ke sektor migas dikuasai perbankan asing.

NERACA

Menurut Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Lana Soelistianingsih, perbankan Indonesia hanya mencari sektor bisnis yang risiko kecil dibanding membiayai sektor migas yang risikonya besar. “Selain risiko yang besar, tidak banyaik SDM perbankan yang ahli di sektor migas karena harus melihat proyeknya. SDM perbankan juga tidak paham detail usaha eksplorasi migas. Sehingga perbankan di Indonesia mencari yang lebih aman, jelas dan yang pasti-pasti aja,” ujarnya saat dihubungi Neraca, Kamis (18/4).

Lana mengungkap, tidak hanya sektor migas yang mendapat porsi pembiayaan sedikit dari perbankan, sektor pelayaran juga mendapat perlakuan yang sama. Alhasil kondisi ini dimanfaatkan oleh Singapura. \"Agak miris melihat potensi laut Indonesia yang cukup besar dan dikenal dengan bangsa agraris akan tetapi tidak berani memberikan pembiayaan. Begitu juga dengan potensi sumber daya alam yang begitu besar akan tetapi perbankan masih enggan memberikan kreditnya,\" ujarnya.

Senada dengan Lana, pengamat energi Kurtubi mengungkap, kucuran kredit perbankan ke bisnis pemboran minyak dan gas memang sangat seret. Lantaran, hingga kini perbankan masih menilai proyek pengeboran migas tidak ekonomis. Masalahnya, banyak bankir tidak mengerti industri perminyakan, padahal bisnis pembiayaan di sektor ini punya potensi yang sangat menguntungkan.

Kurtubi menerangkan, pembiayaan di saat proses eksplorasi memang cukup berisiko, namun pada tahap produksi keuntungan yang didapatkan sangat besar, sehingga pihak perbankan harus berlomba-lomba untuk masuk ke sektor ini. \"Selama ini belum ada aturan yang mengikat kalau Kontraktor KKS yang masuk harus memakai pembiayaan dari Indonesia,\" ujarnya, kemarin.

Untuk bisnis pembiayaan yang risikonya kecil, lanjut Kurtubi perbankan bisa menjadi sumber dana bagi kegiatan pemboran yang dijalankan oleh penyedia barang atau jasa di KKKS tersebut, terutama untuk memenuhi kebutuhan drilling rig di Indonesia.

Dia menyebut, potensi kredit yang dibutuhkan industri migas cukup besar. Sehingga, masih banyak kesempatan bagi bank untuk menggali sektor ini. \"Karena potensinya besar ada harapan perbankan nasional. Kredit sektor migas sih memang sudah besar, tapi karena kebutuhan pembiayaan migas juga besar jadi masih kurang,” terang Kurtubi.

Bertenor Pendek

Sementara itu, pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengutarakan bahwa akumulasi outstanding kredit ke sektor migas sejak 2007-2011 hanya sekitar Rp49 triliun, dari jumlah outstanding kredit keseluruhan yang sebesar Rp2200 triliun. “Itu kan hanya 4%-nya. Berarti memang masih kecil sekali,” paparnya.

Menurut dia, alasan mengapa kredit perbankan nasional yang disalurkan di sektor tersebut sangat kecil disebabkan berbagai kombinasi faktor, baik dari perbankan maupun sektor hulu migasnya sendiri. Kalau dari sisi bank, memang adanya regulasi yang ketat di industri perbankan untuk menjalankan prinsip kehati-hatian (prudensial), untuk mitigasi resiko yang mungkin terjadi di masa mendatang.

“Kemudian, kredit yang dikeluarkan perbankan memang rata-rata bertenor pendek, sementara bisnis di sektor migas biasanya jangka panjang. Jadi ini pasti mereka (perbankan) memikirkan hal-hal yang terkait resiko jangka panjang,” ujarnya.

Sedangkan dari sisi hulu migasnya, sambung dia, ada keengganan dari mereka untuk meminta kredit dari perbankan nasional karena biaya modal yang mereka rasakan masih besar. “Ini karena masalah net interest margin (NIM) di perbankan nasional kita yang masih tinggi yakni 5%. Jadi mereka lebih suka meminta kredit dari bank di luar negeri karena NIM-nya lebih rendah. Kalau ada yang murah kenapa mesti cari yang mahal? Sudah begitu, perusahaan migas masih mempunyai opsi lain untuk mendapatkan dana selain meminjam dari bank, yaitu dengan menerbitkan obligasi,” tuturnya.

Komaidi juga mengatakan kalau K3S asing di Indonesia selama ini memang lebih banyak meminjam dari bank-bank di luar negeri, khususnya dari bank di negara tempatnya berasal. “Itu kan sudah supporting dari negaranya masing-masing. Bahkan sebelum jadi K3S di sini pun merek sudah didampingi. Misalnya saja Medco mau membuka di Iran atau Irak, maka dia bisa saja meminta Bank Mandiri yang mendampinginya. Sementara K3S itu sudah sejak bertahun-tahun lalu di mana perbankan nasional masih belum maju,” jelasnya.

Selain itu, masalah regulasi juga yang jadi hambatan mengapa sampai sekarang outstanding kredit dari perbankan nasional ke sektor migas masih kecil. “Regulasinya yang secara spesifik memang belum ada. Sekarang masih terbuka, perbankan nasional mau masuk ke situ (sektor migas) tidak apa-apa, tidak pun tidak masalah. Tidak ada kewajiban bagi mereka, dan perlakuan penyaluran kreditnya sama saja dengan sektor yang lain,” tandas Komaidi.

Dia menuturkan regulasi itu khususnya belum ada dari otoritas perbankan, sementara di hulu migas sudah ada aturan PTK 007 yang berisi himbauan kepada K3S untuk melakukan transaksi barang dan jasanya melalui perbankan nasional, misalnya Bank BUMN atau swasta lainnya.

“Tapi aturan tersebut belum sampai mengenai pinjaman, maka itu kalau perbankan dan hulu migas ingin meningkatkan sinergitas harus ada regulasi khususnya. Otoritas terkait, seperti BI dan SKK Migas, bahkan Kemen ESDM harus menjadi fasilitator untuk ini,” tuturnya.

Mengenai apakah NPL kredit di sektor hulu migas masih besar, makanya menyebabkan perbankan nasional enggan menyalurkan kreditnya ke sana, dia kurang setuju dengan itu. “Itu karena cost recovery-nya yang kalau sudah berproduksi akan diganti pemerintah. Jadi apapun yang diganti, pasti NPL akan bisa nol persen bahkan. Cost recovery itu kan sudah ada di asumsi APBN. Jadi kalau memang perbankan masih takut masuk ke eksplorasi (migas), dia bisa masuk ke produksi dulu. Di situ dia bisa belajar lebih jauh, dan kalau sudah siap bisa masuk ke eksplorasi,” katanya.

Berdasarkan data Bank Indonesia per Desember 2011, bahwa kredit ke sektor pertambangan hanya sebesar Rp87,91 triliun, dari total kredit yang sebesar Rp2200 triliun. Kredit ke sektor pertambangan itu terbagi atas kredit migas sebesar Rp49,55 triliun, kredit bijih logam sebesar Rp8,97 triliun, kredit batu bara sebesar Rp24,08 triliun, dan kredit lainnya sebesar Rp5,32 triliun.

Direktur Bisnis Komersial Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sulaiman Arif Arianto, memaparkan bahwa untuk menyalurkan kredit ke migas memang diperlukan likuiditas dolar AS yang lebih besar.

\"Untuk memfasilitasi kebutuhan US$, selain dari kita sendiri, misalnya juga bekerja sama dengan BUMN lain juga, karena di sini juga ada aturan untuk pemberian kredit dengan tenor yang sepanjang masa kontrak itu, karena biasanya kita memberi ke tenor yang lebih cepat dari itu. Kita dibilang hanya memberi ke sektor-sektor yang less risk saja, tapi itu bukan karena kita ke migas itu takut resiko, tapi karena memang kredit paling besar ke sektor lain-lain saja,\" katanya.

Sementara Direktur Corporate Banking Bank Mandiri, Fransisca N. Mok, mengatakan bahwa masih sedikitnya kredit perbankan nasional ke sektor migas salah satunya disebabkan oleh jumlah dana dalam dolas AS yang tersedia di dalam negeri tidak memadai. Apalagi perusahaan migas kebanyakan meminta pembiayaan dalam dolar untuk operasionalnya.

\"Dana dolar AS di Indonesia masih kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah dana keseluruhan. Maka kemampuan kita memberikan kredit dalam dolar AS masih kecil. Kenapa pembiayaan tidak dalam rupiah saja? Karena struktur rupiah kita sebenarnya masih kuat sekali, tapi yang dikhawatirkan adalah jika ada utang dalam dolar maka akan ada selisih mata uang yang cukup besar. Dan ini perlu dicermati dalam pemberian kredit juga,\" ungkapnya.

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…