Swasembada Pangan 2014, Sebuah Halusinasikah?

Swasembada Pangan 2014, Sebuah Halusinasikah?

Jika kita berdiskusi tentang swasembada pangan, ingatan kita belum pudar, saat Presiden HM Soeharto menerima penghargaan dari Badan Pangan Dunia (FAO) karena berhasil mewujudkan swasembada beras. 

Penghargaan diterima pertama kali pada 1985, di Roma Italia. Penghargaan kedua diberikan pada Mei 1996 di Istana Kepresidenan, Jakarta, karena Pak Harto dianggap telah memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah pangan dan kemiskinan di dunia.

Sekarang,  pemerintah, yaitu Kementerian Pertanian menetapkan rencana swasembada pangan pada 2014. Pangan yang dimaksudkan, tentu bukan hanya beras atau padi, tapi juga gula, kedelai, jagung, dan daging sapi. Tahun 2014 adalah akhir masa Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Untuk mewujudkan swasembada pangan tersebut, pemerintah menargetkan produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, 4,81 juta ton, dan 0,55 juta ton. Target itu ditetapkan dalam Konferensi  Dewan Ketahanan Pangan 2012 yang bertajuk Percepatan Pencvapaian Sasaran Swasembada 5 Komoditas Pangan Pokok.

Menteri Pertanian Suswono ketika itu mengakui ada sejumlah kendala untuk mengejar target tersebut. Di antara kendala itu adalah adanya alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan kerusakan infrastruktur pertanian.

Kendati demikian, Kementerian Pertanian  menargetkan perluasan lahan untuk kedelai dari 700 ribu hektare menjadi 2 juta hektare pada 2014. Produktivitas kedelai juga ditingkatkan dari 1,3 juta ton menjadi 1,54 juta ton, serta perlunya pemberian bantuan benih unggul.  Pemerintah bahkan optimistis, pada 2014 mampu mewujudkan surplus beras hingga 10 juta ton.

Tapi, dari beberapa sumber menyatakan, target swasembada itu ibarat halusinasi, atau khayalan karena mereka melihat tidak ada kebijakan atau progress yang jelas untuk mewujudkan swasembada pangan 2014.    “Ya kami sangat pesimistis program swasembada pangan dapat terwujud,” kata Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia  (HKTI) Sutrisno Iwantono kepada Neraca.

Khusus beras, Iwantono melihat, saat ini kebutuhan beras mencukupi hingga tahun depan. Namun, apakah stok itu merupakan hasil produksi lokal, atau digabung dengan sisa impor. “Jadi datanya harus diklarifikasi dulu,” ujar Iwantono yang juga konsultan ahli persaingan usaha .

Mantan deputi Kementerian Koperasi dan UKM ini mengatakan, persoalan swasembada pangan itu terkait dengan inkonsistensinya pemerintah menjaga agar komoditas tersebut dalam posisi surplus.

“Tapi kenyataannya, selalu saja kita mengandalkan impor dengan alas an keadaan darurat,” tuturnya. Bentuk inkonsistensi tersebut antara lain, di saat memasuki musim tanam, ternyata benih dan pupuknya tidak ada.  

Daging Sapi

Sementara itu, khusus daging sapi, Iwantono makin pesimistis lagi. Sebab, kata dia, jangankan mendekati swasembada, untuk mencukupi kebutuhan saat ini saja, banyak peternak yang terpaksa memotong sapi betina. Bisa jadi kebutuhan perkapitanya juga harus dikoreksi atau ditambah.

Kendati tak bakal mencapai target swasembada, Iwantono mengingatkan Kementerian Pertanian dua hal. Pertama, impor daging atau sapi diperbanyak untuk mencegah pemotongan sapi betina dan harga yang bergejolak. “Agar harga tak terombang-ambing, lebih baik hapuskan kuota impor daging,” ujarnya.

Saat ini, telah terjadi kartel daging sapi impor. Karena, pemain importirnya hanya sedikit, dan itupun didominasi dari New Zealand dan Australia. “Jika kuota dibebaskan, dengan jumlah importir lebih banyak, maka harga pun akan kompetitif,  dan dipastikan tidak akan ada gejolak harga.

Hal senada juga dilontarkan Sarman Simanjorang, ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya. Menurut dia, pihaknya setuju dan mendukung swasembada daging sapi pada 2014. Kendati demikian, kata Sarman, pemerintah juga harus mampu mencukupi kebutuhan sekarang. Dengan kecukupan barang, tentu harga akan turun.  

Menurut Iwantono, pemerintah perlu menerapkan tarif bea masuk. Kutipan itu disalurkan untuk mensubsidi peternak lokal agar mampu bersaing dengan pemain raksasa.   Dia juga menyarankan, untuk menuju swasembada, sebaiknya pemerintah mengimpor benih sapi yang nanti akan dikembangbiakkan menjadi sapi-sapi daging.

“Karena itu, sebaiknya, pemerintah nanti membatasi impor daging. Jika itu dilakukan, selamanya Indonesia akan terus impor, padahal, harusnya bisa mengekspor,” kata dia.

Hal senada dilontarkan Ketua Himpunan Peternak Indonesia (HPI) Rudy Prayitno. Sebelumnya, Rudy mengatakan, tingginya impor daging, menyebabkan Australia menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara  tujuan ekspor daging sapi Australia. “Kalau mau swasembada daging, ya perkuat posisi daging,” kata dia.  (saksono)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…