RAWAN KEPENTINGAN POLITIK - BI Tolak Bank Pertanian

Jakarta - Wacana hangat pembentukan bank khusus pertanian akhirnya ditolak mentah-mentah oleh Bank Indonesia (BI). Menurut bank sentral, penolakan tersebut lantaran pembiayaan kredit di sektor pertanian bukan hanya sekadar mengembangkan industri pertanian saja, namun yang terpenting meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri. Selain itu, proses pembentukan dan operasionalnya perlu waktu panjang serta rawan kepentingan politik.

NERACA

Gubernur BI Darmin Nasution menjelaskan, ada atau tidaknya bank khusus pertanian, pembiayaan kredit pertanian tetap harus berjalan. Keberadaan bank khusus pertanian ini masih memerlukan waktu panjang, karena perlu menyiapkan infrastruktur dan sumberdaya manusia (SDM) sebagai pelaksana.

“Terus terang saja. Kami dari BI tidak ingin menunggu (adanya bank khusus pertanian). Biarkan saja proses perdebatan dalam pembentukan bank khusus pertanian itu berjalan alamiah secara politik, akademik, atau dalam bentuk apapun. Kami tidak ingin terjebak dalam perdebatan farmer’s market arena kita mau membuat infrastruktur yang cepat bisa masuk ke kebutuhan petani. Karena petani menopang keberhasilan swasembada pangan Indonesia,” ujar Darmin di Jakarta, Rabu (27/3).

Menurut data BI, hingga Februari 2013 tercatat penyaluran pembiayaan kredit di sektor pertanian hanya mencapai Rp149,7 triliun atau 5,5% dari total kredit perbankan sebesar Rp2.721,9 triliun. Itu pun sekitar Rp95 triliun atau 63,5% di antaranya disalurkan kepada perkebunan kelapa sawit dan hanya Rp6,18 triliun atau 4,1% untuk komoditas padi, Rp3,07 triliun (2,1%) untuk pembibitan dan budidaya sapi potong serta Rp843 miliar (0,56%) untuk komoditas holtikultura.

Dengan ketidaksetujuan bank sentral membuka peluang bank pertanian, kredit ke sektor produktif tersebut sudah difasilitasi BI dengan mewajibkan kepada perbankan, terutama bank-bank umum besar, agar menyalurkan kewajiban kredit ke sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebesar 20% dari portofolio kredit secara bertahap.

“Kami berikan masa transisi, di mana berdasarkan PBI No 14/22/PBI/2012 tanggal 21 Desember 2012 disebutkan bahwa setiap bank umum wajib menyalurkan kredit UMKM minimal 5% pada 2015, minimal 10% pada 2016, 15% pada 2017, dan minimal 20% pada 2018. Target ini cukup realistis lantaran pembiayaan UMKM pada Januari 2013 sebesar 19,9% dari portofolio kredit,” jelasnya.

Oleh karena itu, kata Damin, meski ada yang mengritik bahwa tidak semua bank bisa memberikan kredit UMKM sampai 20% dari total portofolio kredit, namuan dengan diberikan masa transisi maka itu bisa saja dilakukan. Pasalnya, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap overhead cost bank itu sendiri.

Jika melihat data penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada Januari 2013 yang mencapai Rp7,8 triliun untuk 1.221.512 debitur atau rata-rata per debitur menerima Rp6,7 juta. Padahal, lanjut Darmin, berdasarkan data survei angkatan kerja nasional BPS, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian pada posisi Agustus 2012 mencapai 38,9 juta jiwa atau sekitar 35% dari jumlah angkatan kerja yg mencapai 110,8 juta jiwa.

“Artinya, KUR yang disalurkan hanya dapat menjangkau 3,1% angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian dan perikanan, sehingga masih tersedia ruang cukup luas untuk meningkatkan pembiayaan ke sektor pertanian,” tambah Darmin.

Dengan demikian, adanya kredit dari perbankan kepada sektor pertanian juga memperkuat kedaulatan pangan serta diperlukan untuk mengoptimalkan proses peningkatan ketahanan pangan melalui pembiayaan. “Selama ini pembiayaan ke sektor pertanian masih sangat terbatas walaupun pertumbuhannya selama setahun terakhir hingga Februari 2013 mencapai 30,1% (year on year/yoy). Angka ini berada di atas rata-rata pertumbuhan kredit secara umum sekitar 23,3% pada periode sama,” tutur dia.

Belum Sesuai

Senada, ketika dihubungi terpisah, Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan bank yang dibuat khusus untuk mendukung sektor pertanian tidaklah perlu. Dia mengatakan, yang dibutuhkan sekarang adalah sistem perbankan yang peduli (aware) dan mengakomodasi kebutuhan pertanian.

“Kalau untuk penyediaan modal di sektor pertanian tidak perlu khusus dengan bank pertanian. Namanya saja bank pertanian, tetapi praktiknya konvensional. Jadi, ya, sama saja,” papar Enny kepada Neraca, Rabu. Lebih jauh lagi dia mengatakan, bank yang pro pertanian tersebut lebih masuk lagi ke kebutuhan masing-masing sub-sektor dalam pertanian.

“Pertanian itu banyak sektor. Ada pangan, perkebunan dan peternakan. Skema untuk masing-masing sektor pun juga perlu dibedakan,” ujarnya. Skema yang selama ini ada di bank-bank konvensional, menurut Enny, belumlah sesuai dengan skema untuk sektor pertanian. Skema kredit yang ada sekarang tidak berbeda antara pertanian dan bukan pertanian, yaitu skema bulanan.

Dia lalu mencontohkan sektor pangan, di mana skema yang diberikan seharusnya tiga bulanan karena panen dilakukan tiga bulan sekali. Atau skemanya bisa jauh lebih lama lagi ketika masuk ke subsektor peternakan.

“Skema-skema tersebut cukup menarik untuk dikembangkan karena nature Indonesia sangat mendukung untuk sektor pertanian. Dan jumlah penduduk Indonesia juga luar biasa banyak dengan tingkat konsumsi domestik yang tinggi. Namun bank yang mendukung pertanian belum begitu berkembang karena tidak ada yang menempatkan sektor pertanian sebagai agen pertumbuhan,” jelas Enny.

Sementara pakar pertanian Bustanul Arifin menuturkan kalau bank khusus pertanian itu diperlukan mengingat saat ini kita sudah kalah dengan Thailand dan Vietnam. Apalagi bisa dibilang kedua negara tersebut belajar dari Indonesia mengenai pelaksanaan bank pertanian.

“Tanpa mengesampingkan kekurangan dan kelebihan (bank khusus pertanian). Mengapa seakan-akan diperlukan bank pertanian atau bisa juga dibalik pertanyaannya, mengapa Thailand dan Vietnam telah melakukan itu? Nah, sejarah kita sebenarnya jauh lebih baik daripada mereka,” papar dia. Yang dimaksud Bustanul adalah sejarah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, yang mengembangkan Bimas dan Inmas, lalu Simpedes dan Kupedes sebenarnya lebih lengkap dari sejarah mereka. bari/iqbal/ria/ardhi

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…