Hilirisasi Minerba - Freeport Didesak Bangun Smelter

NERACA

 

Jakarta - PT Freeport Indonesia menolak membangun smelter di Indonesia. Alasannya adalah pembnagunan smelter kurang ekonomis. Atas dasar itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Thamrin Sihite merasa geram dengan sikap Freeport.

\"Saya harus menjalankan undang-undang, pokoknya undang-undang harus jalan, saya kan pemerintah,\" tegas Thamrin di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Thamrin beralasan bahwa pembangunan smelter di dalam negeri merupakan amanat yang sudah tercantum dalam poin-poin regenosiasi antara pemerintah dan Frreport. Bahkan, kata dia, aturan pembangunan pengolahan pemurnian di Indonesia telah ada dalam UU Mineral dan Batubara (Minerba) nomor 4 tahun 2009. \"Mereka wajib mengolah di dalam negeri,\" tegas dia.

Ia juga menyarankan agar Freeport bisa bekerjasama dengan perusahaan dalam negeri untuk membangun smelter. Pasalnya ada salah satu perusahaan smelter yang kekurangan dana.  \"Nusantara Smelting itu kan kekurangan dana, ya bisa bekerja sama dengan mereka,\" katanya.

Selain smelter, Freeport pun masih enggan untuk mengurangi luas wilayahnya sebesar 25.000 hektar sesuai dengan poin-poin renegosiasi yang tercantum dalam poin-poin renegosiasi. \"Tapi di UU juga disebutkan membolehkan luas wilayah dapat melebihi 25 ribu hektar dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan,\" katanya.

Sebelumnya, Vice President of Marketing and Sales Freeport McMoRan, Javier Targhetta mengatakan enggan membangun smelter baru, karena membutuhkan biaya yang besar, namun dengan keuntungan yang kecil. Biaya penyulingan yang besar, ditambah dengan anjloknya harga komoditas membuat bisnis smelter menjadi sulit.

Mengenai divestasi, Targhetta mengatakan, kontrak kerja saat ini melindungi Freeport dari aturan pemerintah yang baru. Dalam aturan tersebut, perusahaan asing diwajibkan untuk mendivestasikan saham sebesar 51%. Freeport Indonesia telah mendivestasikan 20%n sahamnya kepada Indonesia, dengan komposisi 9,36% pemerintah dan 9,36% PT Indocopper Investama. Sisanya masih dipegang oleh Freeport McMoRan.

Investasi Besar

Bahkan Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto memaparkan pembangunan smelter memerlukan investasi yang besar, yakni mencapai US$ 1 miliar hingga US$ 1,5 miliar, dengan kapasitas terpasang sebesar 300.000 ton per tahun. Sementara, belakangan ini biaya operasional yang harus dikeluarkan Freeport terbilang tinggi lantaran proses penambangan memasuki fase wilayah dengan kadar tembaga dan emas yang rendah.

Rozik bilang, proses renegosiasi terkait kewajiban pembangunan smelter hingga saat belum menemukan solusi yang tepat, dan masih dibahas dengan pemerintah.  Selama ini, Freeport mengolah hasil tambangnya di dalam negeri mencapai 35% dari total produksi, atau sekitar 280.000 ton per tahun. \"Kalau memang pada 2014 kami tidak boleh mengekspor, ya, berhenti renegosiasinya,\" ujar dia.

Sebelumnya, Thamrin juga mengatakan tidak akan memberikan izin ekspor apabila perusahaan tambang khususnya mineral apabila tidak membangun smelter di dalam negeri. \"Mau tidak mau, jadi atau tidak jadi, kita sepakat bahwa pengolahan pemurnian di dalam negeri itu harus tercipta,” kata Thamrin.

Thamrin menambahkan, yang disebut mineral adalah terbentuknya komoditas ini selama satu juta tahun. Sedangkan komponen seperti nikel, diakuinya apabila dijual keuntungan komersialnya hanya tiga persen. Sementara 97% lainnya ikut diekspor. “Apa kita terus-terusan kaya begini? Mengekspor? Kita harus melihat jangka panjang. Sekarang dengan adanya kebijakan pembangunan smelter akan meningkatkan nilai tambah dengan melakukan pengolahan pemurnian di dalam negeri,” tegas Thamrin.

Thamrin mengungkapkan, saat ini ada 158 pengusaha mineral yang akan membangun smelter. Pemerintah pun melihat hal ini sebagai upaya yang baik. Menurutnya, ia mengetahui apabila pengusaha hanya berniat membangun smelter, asal diberi izin ekspor.

Namun demikian, pembangunan smelter dinilainya memakan waktu sembilan sampai 10 tahun. Pemerintah pun hanya memberi waktu sampai 2014. “Makanya kita bikin batas pada 2014, kalau dia (perusahaan tambang) tidak mau kerjasama membangun pemurnian, ya sudah kau setop saja. Mereka berkomitmen itu,” tambahnya.

Sekadar informasi, dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 7 tahun 2012 dijelaskan semua pengusaha mineral harus membangun smelter agar mendapat izin ekspor keluar negeri. “Tujuan dari pembangunan smelter adalah untuk mengubah bahan mineral menjadi bahan setengah jadi, sekaligus meningkatkan daya jual lebih tinggi,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…