Banyak Syarat - Investor Enggan Membeli Bank Mutiara

NERACA

Jakarta - Pengamat perbankan Lin Che Wei, mengatakan bahwa harga minimum penjualan PT Bank Mutiara Tbk (ex.Bank Century), berdasarkan Undang-undang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) dengan nilai Rp6,7 triliun, sangat tinggi. Hal itu menyebabkan minat investor untuk membeli Bank Mutiara dari LPS, minim.

“Dengan harga setinggi itu, sulit mendapatkan calon investor yang berminat serius. Karena itu, perlu insentif dalam bentuk skema pembayaran bertahap selama periode tertentu untuk mengkompensasi tingginya harga pembelian. Jadi kalau ada fleksibilitas, saya yakin investor lokal pun banyak yang berminat,” kata pengamat yang juga pendiri Katadata, di Jakarta, Rabu (6/3).

Mekanisme yang bisa diimplementasikan dalam tender LPS adalah para calon investor diminta mengajukan kesanggupan skema pembayaran cicilan selain penawaran harga pembelian. “Siapa yang bisa memberikan harga pembelian tertinggi dan skema pembayaran bertahap paling optimal. Dialah yang akan keluar sebagai pemenang tender. Dengan cara ini, negara tidak akan dirugikan dan UU LPS tidak dilanggar. Sementara bagi investor pun harganya masuk akal,” terangnya.

Lembaga Penjamin Simpanan mulai 21 Januari sampai 15 Mei 2013 mendatang telah membuka kembali tender penjualan Bank Mutiara tahap III. Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata, belum ada peminat serius terhadap bank tersebut. Selain harga jual yang terlalu tinggi, LPS juga menetapkan sejumlah persyaratan yang cukup berat.

“Memang ada sejumlah hambatan dalam penjualan Bank Mutiara. Pertama, keharusan harga penjualan senilai Rp6,7 triliun hingga tahun kelima setelah penyelamatan. Lalu, syarat calon investor yang relatif berat khususnya yang memiliki pengalaman dalam industri perbankan. Gangguan politisasi kasus Century secara terus menerus yang menekan harga jual, serta ketidakpastian politik menjelang Pemilu 2014,” paparnya.

Harga penawaran Bank Mutiara yang sebesar itu setara dengan 4,8 kali dari modalnya yang saat ini mencapai Rp1,4 triliun. Berdasarkan riset Katadata, nilai tersebut lebih tinggi dari price to book value (PBV) bank-bank besar termasuk BNI, Bank Mandiri, BRI, CIMB Niaga, dan Bank Danamon. Mereka rata-rata berada di kisaran 1,5-2,5 kali PBV. Sementara PBV di perbankan Eropa dan Asia hanya berkisar 1-1,5 kali PBV.

“Karena itulah, pemberian insentif bagi calon investor menjadi faktor yang signifikan. Perlu juga dicatat, apabila dalam periode ini, penjualan tetap gagal dilakukan, maka nasib Bank Mutiara akan semakin tidak jelas. Sebab, berdasarkan UU LPS, dia hanya bisa menangani bank tersebut sampai tahun keenam saja,” ujarnya.

UU Nomor 24/2004 tentang LPS memang mensyaratkan saham bank yang dialihkan ke lembaga ini harus dijual paling lama tiga tahun setelah penyerahan, dengan harga minimal sebesar seluruh penempataan modal sementara yang telah dikeluarkan. Masa penjualan ini bisa diperpanjang dua tahun tapi tetap harus dijual pada harga yang setara dengan nilai bailout.

“Jika ini pun gagal, barulah di tahun keenam, penjualan bisa dilakukan dengan harga di bawah nilai bailout. Maka Bank Mutiara harus tetap ditawarkan pada harga minimal Rp6,7 triliun sampai November 2013 atau setara dengan nilai Bank Century ketika di-bailout pada November 2008. Baru pada November 2014 boleh di bawah itu,” ungkapnya.

Mutiara tidak laku

Direktur Eksekutif Katadata, Metta Dharmasaputra, menambahkan kalau Direktur Utama BRI, Sofyan Basir pernah mengatakan kalau pihaknya baru mau membeli Bank Mutiara jika harganya hanya 1,2-1,5 kali dari harga buku. Alasannnya karena begitulah harga di pasar.

“Sebetulnya investor-investor lokal tidak berminat (membeli Bank Mutiara). Mengirim surat saja tidak. Seperti Yawadwipa. Itu kan hanya tools marketing saja. Kalau CMNP hanya mau membeli dengan mencicil, tapi tidak 100%. Mana mau mereka mengeluarkan uang. Makanya hanya bilang untuk menaikkan harga, mereka melepas obligasi (surat utang). Intinya, nggak ada yang serius. Apalagi asing, tidak ada yang berminat," tegas Metta.

Lebih lanjut dirinya menuturkan, apabila pembelian saham Bank Mutiara menunggu hingga tahun keenam, dengan harga di bawah harga minimal, itu artinya di bulan November 2014. Terlebih bertepatan dengan Pemilihan Umum. "Kalau ini terjadi, apa tidak akan ramai?,” kata dia, seraya bertanya. [ria]

BERITA TERKAIT

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…