Kasus Bahan Baku Baja Tertahan di Pelabuhan - Parlemen Minta Pemerintah Perbaiki Importasi

NERACA

 

Jakarta - Anggota Komisi VI DPR Ferrari Roemawi mengungkapkan tertahannya baja impor di pelabuhan yang dinilai mengandung bahan berbahaya (limbah B3)  dan beracun karena memang baja tersebut tidak bersih dan berlumpur. Oleh karena itu, harus ada perbaikan dalam proses importasi baja sehingga tidak bermasalah dengan aturan Kementerian Lingkungan Hidup.

Ferrari memaparkan permasalah industri baja karena ketidakseimbangan struktural pada sektor hulu dan sektor hilir mengakibatkan tingginya ketergantungan pasokan bahan baku dan bahan pembantu impor dirasakan semakin menyulitkan industri baja nasional membangun kemandiriannya.

"Ketidakberadaan industri iron ore di dalam negeri dan peran pemerintah yang kurang aktif untuk mendukung industri baja dalam negeri, menyebabkan industri baja sektor hulu masih belum mampu bersaing terhadap produk baja impor," papar Ferrari kepada Neraca, Selasa (5/3).

Sering kali posisi tawar sektor industri Indonesia selalu terkalahkan.Dia mencontohkan pada sektor industri otomotif yang telah berkembang di Indonesia sejak 35 tahun lalu, sampai saat ini masih menggunakan pelat baja impor.

Bagi industri baja Indonesia,lanjut Ferrari menghadapi krisis global bukanlah persoalan sederhana karena dengan penurunan produksi nasional sebesar 30%-50% sudah diperkirakan pasar Indonesia yang pada tahun ini diperkirakan mencapai 7,16 juta ton, akan menjadi incaran industri baja di berbagai negara. Akibatnya produk-produk impor dengan harga dumping-sekitar 25% di bawah cash cost-dan impor ilegal kian membanjiri pasar.

Situasi ini sebenarnya menuntut adanya upaya penyelamatan industri baja nasional melalui kebijakan dan regulasi yang dapat mencegah membanjirnya produk impor. "Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan suatu instrumen regulasi melalui tata niaga impor produk baja berupa otorisasi bagi importir terdaftar dan importir produsen,"imbuh Ferrari

Padahal sebagai pembanding, Vietnam secara cepat melakukan penyesuaian pajak impor untuk produk baja dari 5% menjadi 15% guna mengantisipasi gejolak di industri baja. Begitu pula Malaysia dan China. Bahkan negara-negara industri besar seperti Inggris dan Prancis juga melakukan tindakan serupa. Semua kebijakan ini tidak melanggar aturan WTO karena organisasi tersebut menetapkan bound tariff yang diizinkan maksimal 37%.

Penciptaan sebuah iklim investasi bagi berkembangnya industri baja melalui berbagai instrumen kebijakan strategis dan berpihak kepada kepentingan industri nasional jangka panjang sangat diperlukan karena kecenderungan unfair trade dalam perdagangan bebas produk baja mulai tampak nyata dan harus dicermati sehingga tidak malah membelenggu industri kita.

Diserbu Impor

Sementara itu, pengusaha baja nasional menangis. Mereka gundah karena terus diserbu baja impor asal China dengan harga banting di pasar domestik. Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk Gunato Gunawan, dengan harga lebih murah 3%-5% dibandingkan produksi lokal, pihaknya menduga adanya praktik bisnis tak terpuji praktik bisnis yang mengakali aturan bea masuk impor yang ditetapkan pemerintah.

Ia menerangkan, praktik tersebut dilakukan dengan memberikan dokumen laporan yang diklaim telah mengandung Boron (bahan campuran baja untuk meningkatkan kekuatan baja berketebalan tipis). Padahal, setelah dicek kandungan Boronnya sangat kecil, hanya 0,008%. Dengan demikian, bisa dikatakan baja asal China tersebut tidak beda ubahnya dengan baja biasa.

“Hal itu mereka lakukan untuk menghindari bea masuk baja impor sebesar 5% yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Selain itu, pemerintah China juga memberikan pengembalian pajak ekspor sebesar 9% kepada eksportir baja China yang menambahkan kandungan Boron di bajanya. Dengan keringanan pajak sebesar 14% tersebut sudah mampu menutupi biaya produksi baja yang dijual ke Indonesia,” jelasnya.

Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi Djamaluddin Tanoto menilai, derasnya baja impor asal China tersebut makin memberatkan produsen baja lokal. Apalagi pada Februari ini industri baja nasional terpaksa menaikkan harga produk baja berkisar 13%-15% dari harga lama.

“Penaikan harga jual tersebut tak bisa dihindari, dikarenakan harga berbagai bahan baku baja seperti scrap (besi bekas), iron ore pellet (bijih besi), dan slab(baja setengah jadi) yang sebagian besar masih diimpor naik secara signifikan sejak awal 2013. Sehingga, penaikan harga jual produk baja bukan untuk mencari untung besar, melainkan agar produsen baja domestik tetap dapat berproduksi,” jelasnya.

BERITA TERKAIT

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Industri

NRE dan VKTR Sepakat Kembangkan e-MaaS di Indonesia

NERACA Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy ("Pertamina NRE"), subholding PT Pertamina (Persero) yang fokus pada pengembangan energi bersih, dan…

Produksi PHE ONWJ Dioptimalkan

NERACA Cirebon – Tim dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan peninjauan proyek Offshore PT Pertamina Hulu Energi…

Investasi dan Ekspor Industri Mamin Semakin Lezat

NERACA Jakarta – Industri makanan dan minuman (mamin) merupakan salah satu sektor strategis dan memiliki peran penting dalam menopang pertumbuhan…