Penarikan Pajak Bumi Bangunan Dipindah ke Daerah - Kok Cuma Dapat Rp8 Triliun!

NERACA

Jakarta – Peroleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepanjang tahun 2012 yang hanya meraup Rp 8 Triliun dinilai terlalu kecil. Angka tersebut seharusnya bisa lebih besar jika Pemerintah Daerah maksimal dalam bekerja.

Menurut Ekonom Universitas Indonesia, Aris Yunanto, angka tersebut terlalu kecil dan seharusnya bisa ditingkatkan lebih tinggi.

Dia menyebut baru sekitar 30% tanah di Indonesia yang sudah terhitung menjadi nilai jual objek pajak (NJOP). “Memang, masalah di PBB itu adalah banyak wilayah yang belum terdata sebagai NJOP bersifat tanah dan bangunan, misalnya tanah adat,” ujar dia kepada Neraca, Selasa (12/2).

Aris menyatakan, tanah adat ini baru bisa dikenai pajak setelah ada akad jual beli. Oleh karena itu perlu diapresiasi ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan sertifikasi gratis ke daerah-daerah. Tujuannya apalagi lagi kalau bukan untuk menambah pajak.

“Nah, potensi yang besar, ya, tanah adat. Kalau di Jawa memang tanah adat sudah kecil, tetapi di luar Jawa itu luas sekali. Kalau tanah adat harus membayar PBB, siapa yang bayar? Itu yang menjadi dilema,” ungkapnya.

Potensi pendapatan dari PBB lainnya, imbuh Aris, adalah dengan mengenakan pajak kepada seluruh aktivitas ekonomi di atas tanah, tidak hanya bangunan. Aris lalu mencontohkan perkebunan-perkebunan besar yang membayar PBB begitu kecil karena tidak menghitung aktivitas bisnis perkebunan di atas tanah.

“HGU-HGU (Hak Guna Usaha) yang dimiliki perusahaan swasta melalui konsesi migas, perkebunan, kehutanan, industri, atau APL (alokasi penggunaan lain) sudah punya izin prinsipnya. Harusnya itu bisa dijadikan objek pajak,” jelas Aris.

Cara lain untuk meningkatkan PBB adalah dengan menaikkan NJOP itu sendiri. Namun cara ini seperti pisau yang tajam antara kedua sisi. “Kalau NJOP dinaikkan memang PBB akan meningkat, tetapi ketika nanti pemerintah ingin membangun infrastruktur, ongkos ganti ruginya juga menjadi besar,” terang dia.

Namun Aris melihat, kecil kemungkinan kalau PBB ini masuk grey area (wilayah abu-abu) lantaran sifatnya yang terkoordinasi. “Agak sulit karena PBB itu kan by system. Mengeceknya lebih gampang ketimbang Pajak Penghasilan (PPh),” tandas Aris.

Sebelumnya, Direktur Jendral Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany mengumumkan bahwa penerimaan PBB tahun 2012 sebesar Rp8 triliun, atau meningkat Rp1 triliun dibandingkan tahun 2011 yang senilai Rp7 triliun.

Dia menilai peningkatan penerimaan tersebut merupakan hal yang positif bagi anggaran negara.

Sementara pengamat ekonomi EC Think, Telisa Aulia Falianty, mengakui jika saat ini pendapatan negara dari PBB masih sangat kecil. Pasalnya, angka itu masih sangat jauh jika dibandingkan luas wilayah negara Indonesia serta gencarnya pembangunan di seluruh Indonesia. “Apalagi saat ini pembangunan kan sangat marak, seharusnya pendapatan pajak dari PBB bisa lebih besar lagi,” ujar dia.

Telisa melihat kesulitan dirjen pajak menagih pajak, khususnya di luar Jawa, karena banyak masyarakatnya yang belum sadar pajak. Tetapi, untuk Jakarta sendiri, dirinya justru melihat penduduknya sudah lebih aware untuk membayar PBB. “Makanya sekarang banyak PBB yang belum tertagih saat ini,” tambah dia.

Selain itu, lanjut Telisa, banyak juga kalangan yang kini melakukan pelebaran bangunan, sedangkan izin mendirikan bangunan (IMB) masih memakai izin yang lama, di mana luas bangunannya lebih kecil daripada yang sekarang. Dan kasus seperti itulah yang tak terdata di Dirjen Pajak.

Untuk itu, dia meminta agar pemerintah harus segera meng-update terus data PBB yang ada saat ini. Serta, mempermudah masyarakat dalam melakukan membayar. Karena siapa tahu, bukan karena tidak mau bayar tetapi karena repot mengurusnya.

“Seperti saya di Depok. Dahulu membayar PBB bisa lewat bermacam-macam bank. Tetapi aturan yang berlaku kini justru menunjukkan kemunduran karena harus menyetornya melalui Bank Jabar saja, ini justru merepotkan. Nah, hal-hal seperti ini yang harus diperbaiki,” papar Telisa.

Wajar

Menurut Achsanul Qosasi, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, bahwa pendapatan PBB yang hanya naik Rp1 triliun ini merupakan hal yang wajar. Bahkan, dirinya membandingkan dengan pendapatan PBB sejak 2001 hingga 2010 lalu, yang hanya berkisar antara Rp4 triliun-Rp6 triliun.

"Memang PBB itu bukan andalan penerimaan pajak kita. Jadi, naik Rp1 triliun itu sudah cukup bagus. Tapi yang harus dievaluasi adalah besaran NJOP-nya, yang mana sekarang masih terlalu rendah. Besarannya harus disesuaikan dengan nilai pasar. Sekarang daerah elit saja, NJOP-nya masih rendah," terang Achsanul kepada Neraca, Selasa.

Lalu, dia juga mengungkapkan bahwa banyak penduduk di daerah yang tidak bayar PBB, dan itu juga tidak dikenai sanksi. "Selain itu juga bisa dirapel, setelah tiga tahun baru dibayar, atau ketika rumah atau bangunannya mau dijual ke orang lain baru dibayar," ungkapnya.

Menurut dia, membayar pajak itu adalah kewajiban dari masing-masing orang, jadi untuk membayar harus timbul dari kesadarannya sendiri. "DPR tidak harus juga membuat aturan khusus untuk yang tidak bayar sanksi," imbuh Achsanul.

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…