Pelaksanaan REDD+ Rawan Korupsi

Pekanbaru - Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Mas Achmad Santosa memperingatkan pemerintah dalam penggunaan dana REDD+ atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan perlu dikawal khusus karena rawan terjadi tindak korupsi. "Meski ini masih asumsi, belum terjadi, namun pelaksanaan REDD+ sangat rawan korupsi," kata Achmad Santosa pada Seminar Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Hukum dalam Bidang Kehutanan, di Pekanbaru, Selasa.

Menurut dia, potensi terjadi korupsi pada pelaksanaan dana REDD+ bisa terjadi pada pendistribusiannya. Apalagi dengan masih merajalelanya mafia hutan di sektor kehutanan, praktik korupsi tersebut sangat mungkin terjadi.

Pemerintah Indonesia mendapatkan "uang perlindungan" hutan yang diberikan oleh Norwegia senilai 1 miliar dolar AS. Dana tersebut sejatinya harus digunakan oleh pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi.

Achmad Santosa mengatakan, wilayah rawan korupsi terkait sektor kehutanan cukup banyak, mulai dari area penyusunan dan kajian lingkungan hidup strategis, proses penyusunan dan penetapan rencana tata ruang wilayah, penerbitan Amdal, penerbitan izin, proses penetapan kebijakan teknis oleh "regulatory agency", pemungutan pajak maupun distribusi keuntungan kepada pihak yang berhak dan pada tahap pengawasan penataan dan pelaksanaan penegakan hukum.

Ia mengatakan, keberadaan mafia hutan bisa mengancam keberhasilan program REDD+. Menurut dia, akar masalah mafia hutan dikarenakan minimnya pendekatan yang holistik dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, buruknya tata kelola sektor kehutanan dan maraknya mafia pada institusi penegak hukum menyebabkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. "Pemerintah sekarang mewarisi politik pembangunan lama yang kurang memperhatikan aspek perlindungan ekosistem dan pemerataan akses pada sumber daya alam," ujarnya.

Karena itu, Satgas Mafia Hukum merekomendasikan agar pemerintah dan instansi terkait di sektor kehutanan bersikap transparan dalam mengambil keputusan. Pemerintah juga diminta membuat mekanisme pengaduan masyarakat yang mudah diakses dan memberikan perlindungan kepada pelapor (whistleblower protection).

Selain itu, agar pelaksanaan REDD+ bisa tepat sasaran, pemerintah perlu memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan melakukan kontrol.

Sedangkan, dalam penegakan hukum, perlu dibina mekanisme koordinasi horizontal dan vertikal antarinstansi dan kelembagaan anti korupsi seperti KPK, Polri dan Kejaksaan, memberi fokus terhadap potensi korupsi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.

Sebelumnya dikabarkan, Hasil survei Kelompok Kerja Pantau "Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD)" Sulawesi Tengah menyebutkan masyarakat di sekitar hutan masih buta tentang rencana implementasi dari program REDD tersebut. "Isu tentang REDD ini masih asing dan baru didengar oleh masyarakat khususnya mereka yang berada di sekitar kawasan hutan," kata Koordinator Pokja Pantau REDD Sulteng, Supardi Lasaming dalam diskusi dengan wartawan di Palu, beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan Pokja Pantau belum lama ini melakukan survei di dua daerah yakni sekitar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan Kawasan Konservasi Togean, Kabupaten Sigi. Dua wilayah tersebut kemungkinan akan masuk dalam wilayah proyek percontohan implementasi REDD tahun 2012 mendatang.

Menurut Supardi, pengetahuan masyarakat di dua wilayah tersebut sama sekali belum tersentuh. Hal ini kata dia, menjadi tugas Pokja UN-REDD yang telah dibentuk pemerintah dua bulan lalu. Pokja UN-RED tersebut adalah gabungan dari pemerintah dan LSM. Pokja ini dibiayai oleh negara donor yakni Norwegia dengan bantuan tiga lembaga PBB yakni UNEP, UNDP dan FAO.

Untuk memantau kinerja UN-RED, Norwegia juga membiayai lembaga pemantau yang disebut dengan Pokja Pantau REDD. Supardi mengatakan, dikhawatirkan akan terjadi konflik dalam implemntasi REDD nantinya jika program ini tidak tersosialisasi dengan baik.

Masalahnya, kata Supardi, akses masyarakat terhadap pemanfaatan hutan di sekitar wilayah tapak REDD nantinya akan berkurang.

Anggota Pokja Pantau REDD, Muslimun yang melakukan survei di sekitar TNLL mengatakan, masyarakat di sekitar TNLL ini sama sekali belum tahu tentang REDD.

 

BERITA TERKAIT

Kejagung-Kementerian BUMN Rapatkan Pengelolaan "Smelter" Timah Sitaan

NERACA Pangkalpinang - Kejagung bersama Kementerian BUMN akan segera merapatkan pengelolaan aset pada lima smelter (peleburan) timah yang disita penyidik…

KPPU Kanwil I: Harga Beras Berpotensi Bentuk Keseimbangan Baru

NERACA Medan - Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil I Ridho Pamungkas menyatakan harga beras berpotensi membentuk keseimbangan baru.…

DJKI Kembalikan 1.668 Kerat Gelas Bukti Sengketa Kekayaan Intelektual

NERACA Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM mengembalikan barang bukti sengketa kekayaan intelektual berupa 1.668…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Kejagung-Kementerian BUMN Rapatkan Pengelolaan "Smelter" Timah Sitaan

NERACA Pangkalpinang - Kejagung bersama Kementerian BUMN akan segera merapatkan pengelolaan aset pada lima smelter (peleburan) timah yang disita penyidik…

KPPU Kanwil I: Harga Beras Berpotensi Bentuk Keseimbangan Baru

NERACA Medan - Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil I Ridho Pamungkas menyatakan harga beras berpotensi membentuk keseimbangan baru.…

DJKI Kembalikan 1.668 Kerat Gelas Bukti Sengketa Kekayaan Intelektual

NERACA Jakarta - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM mengembalikan barang bukti sengketa kekayaan intelektual berupa 1.668…