Nilai Tukar Rupiah Turun dan Suku Bunga Tinggi - BI Harus Bertanggungjawab

NERACA

Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus menurun, tentu, menimbulkan sentimen negatif di pasar. Hal itu ditengarai karena Bank Indonesia (BI) “dengan sengaja” mendorong agar rupiah terus melemah. Ditambah lagi tingkat suku bunga kredit perbankan nasional yang masih tinggi, semakin memperburuk pembangunan ekonomi lantaran pertumbuhan sektor riil terhambat.

Ekonom Danareksa Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa dengan terus turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sejatinya, membuat suku bunga kredit perbankan naik untuk mendongkrak nilai tukar rupiah.

“Siapa yang menyebabkan sentimen negatif nilai tukar? Ya, bank sentral (BI) sendiri. Karena mereka beberapa kali bilang “sengaja mendorong” rupiah lemah agar transaksi berjalan (current account) selamat. Dalam keadaan seperti ini, harusnya jangan menaikkan suku bunga. Itu semakin memperlambat nilai tukar,” kata Purbaya di Jakarta, Rabu (6/2).

Dia lalu mencontohkan pengalaman perbankan Indonesia di 2008 lalu. Tepatnya Desember. Saat itu rupiah menguat tetapi malah BI menurunkan suku bunga dari 9,5% ke 9,25%. Dalam sehari, lanjut dia, rupiah menguat seribu rupiah, dari Rp13 ribu ke Rp12 ribu. Jadi mana yang berhasil, menaikkan atau menurunkan suku bunga? Perlu diingat pula, tahun 1997-1998, kita menaikkan bunga sampai 70%, tapi hasilnya perekonomian hancur,” tegas Purbaya.

Dengan berkaca dari pengalaman sebelumnya, seharusnya bank sentral jangan sampai mengambil kebijakan yang salah untuk kesekian kalinya. Untuk kebijakan saat ini, Purbaya mengaku telah terjadi kesalahan. Sebagai contoh, imbuh dia, BI salah membaca transaksi berjalan. Seharusnya current account negatif tidak apa-apa. Justru apabila current account positif malah bisa hancur lagi perekonomian.

“Transaksi berjalan (menjadi) negatif, waktu modal masuk ke sini (capital inflow). Harusnya waktu modal masuk, ada supply dolar tambahan sehingga rupiah menguat. Jadi, karena sentimen negatif yang disebarkan oleh bank sentral sendiri maka rupiah sekarang melemah lima persen ketimbang fundamentalnya,” tutur dia.

Purbaya juga mengatakan, apabila suku bunga rendah diharapkan akan bisa meningkat rasio kredit terhadap produk domestik brutto (PDB), yang mana saat ini PDB Indonesia masih lebih rendah daripada negara-negara lain. “Kalau suku bunga rendah harusnya bisa meningkatkan rasio kredit terhadap PDB. Suku bunga lambat turun karena sistem perbankan kita yang oligopolistik,” terangnya.

Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, adanya kebijakan terbaru BI yang meminta perbankan secara transparan mengumumkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) kepada publik, tidak serta-merta dengan mudah menurunkan tingkat suku bunga. Dengan demikian, sambung Purbaya, bank sentral harus memaksa mekanisme pasar berjalan dengan kebijakan moneter.

“Caranya melalui pertumbuhan suku bunga yang sekarang ini harus lihat, apakah posisi (outstanding) kredit mereka kebanyakan atau tidak. Kalau kebanyakan, turunkan saja outstanding-nya karena nanti bank-bank akan mempunyai uang lebih akan disimpan di BI untuk kemudian disalurkan kembali. Selama ini langkah seperti ini lupa dijalankan BI,” ucap dia.

Kuncinya di BUMN

Sementara Kepala Divisi Proyeksi Ekonomi dan Komunikasi Kebijakan BI, Endy Dwi Tjahjono, mengakui bahwa marjin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan di Indonesia memang masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

“Jadi pastinya itu (NIM) masih bisa diturunkan lagi. Karena dengan NIM turun, beban pengusaha untuk investasi bisa lebih murah, sehingga sektor riil bisa lebih meningkat lagi (pertumbuhannya),” katanya.

Untuk menurunkan NIM, tutur Endy, maka persaingan di tingkat perbankan harus dikuatkan dan ditingkatkan lagi. Sehingga dengan kondisi seperti itu akan bisa memaksa perbankan untuk menurunkan NIM. Menurut dia, kunci NIM bisa turun itu ada pada perbankan BUMN karena mayoritas nasabah perbankan didominasi mereka.

“Nah, kalau mereka mau menurunkan, pasti bank-bank kecil (suku bunganya) akan turun. Di sini pemerintah sebagai pemilik bank-bank BUMN itu mestinya bisa membuat target dividen/keuntungan dari bank-bank itu tidak tinggi terus-terusan,” aku Endy. Dia pun menjelaskan, nilai NIM yang ideal adalah sebanding dengann negara-negara tetangga, seperti Malaysia yang tingkat suku bunganya berkisar 3%-4%.

Bank sentral, lanjut Endy, sudah sering memanggil bank-bank, akan tetapi mereka mengaku mempunyai target masing-masing, misalnya target keuntungan dan kredit. “Jadi saya belum tahu apakah ada wacana untuk mengatur (turunnya NIM) ini dalam sebuah peraturan. Sepertinya kita masih dengan mekanisme pasar. Yaitu bagaimana mendorong bank-bank untuk menurunkan melalui persaingan yang lebih keras,” ungkapnya. [ria]

BERITA TERKAIT

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…