PENGENAAN CUKAI MINUMAN BERSODA - Melindungi Kesehatan Masyarakat atau Cari rente?

Saat ini kita dikelilingi banyak jenis makanan dan minuman dalam kemasan. Yang jadi masalah adalah, makanan dan minuman kemasan itu menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan.

NERACA

Bahan-bahan kimia itu antara lain berupa bahan pemanis buatan, penguat rasa, pewarna buatan, maupun yang bersoda/berkarbonasi.

Untuk mengendalikannya, pemerintah berencana mengenakan cukai terhadap minuman bersoda tersebut. Ada dua tujuannya, yaitu mengendalikan agar masyarakat tak mengonsumsi secara berlebihan serta mengutip biaya pengganti kerugian akibat dampak kesehatan tersebut.  Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menyatakan, pengenaan cukai ini merupakan implementasi dari Undang -Undang No 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Di UU itu disebutkan, ada beberapa pertimbangan pemerintah untuk memberlakukan cukai. Di antaranya, untuk mengendalikan konsumsi masyarakat agar tidak mengonsumsi secara berlebihan karena dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungannya. “Demi keadilan dan keseimbangan, perlu pembebanan pungutan Negara,” kata Bambang saat mengikuti rapat di gedung DPR beberapa waktu lalu.  

Bambang pun mengutip informasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahwa mengonsumsi minuman bersoda dengan pemanis secara berlebihan akan berdampak buruk bagi kesehatan. Di antaranya mengancam kerja ginjal, gangguan lambung, hati, usus, dan memicu obesitas. Opini yang sama diharapkan dari Kementerian Kesehatan.

Menurut Bambang, ada 71 negara yang juga memberlakukan cukai bagi minuman ringan berkarbonasi dan berpemanis (MRKP). Di antaranya, Amerika Serikat (AS), Meksiko, India, Singapura, Thailand, dan Laos. Bahkan, kata mantan dekan Fakultas Ekonomi UI ini, AS merupakan Negara yang pertama kali mendorong cukai untuk minuman bersoda. Ada lima alternatif yang diusulkan pemerintah atas cukai minuman bersoda per liter, yaitu Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 3.000, Rp 4 ribu, dan Rp 5.000.

Jika dipungut Rp 1.000 atau 12% dari harga jual, potensi pendapatan negara mencapai Rp 800 miliar. Dengan cukai Rp 2 ribu, pendapatan negara ditaksir sebesar Rp 1,58 triliun. Pungutan Rp 3 ribu berpotensi menghidupi Rp 2,37 triliun. Jikalau cukainya Rp 4 ribu,  pendapatan negara sebesar ditaksir sebesar Rp3,95 triliun. Saat ini pangsa pasar MRKP mencapai 3,8% atau sebanyak Rp 10 triliun. Konsumsi itu masih jauh di bawah konsumsi air mineral dalam kemasan (AMDK) dan teh siap saji yang masing-masing mencapai 84% dan 8,9%. Pendapatan dari AMDK hanya mencapai Rp 18 triliun, karena memang harganya lebih murah.

Riset LPEM UI

Perhitungan pendapatan yang bakal diperoleh pemerintah dari cukai MRKP oleh Bambang rupanya dibantah oleh tim peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI). Jika cukai sebesar Rp 3.000/liter MRKP tidak berpotensi pemasukan ke kas negara sebesar Rp 2,37 triliun, tapi justru kehilangan potensi pendapatan sebanyak Rp 783,5 miliar.

“Sebab, memang terdapat peningkatan pendapatan dari cukai hanya Rp 590 miliar, tapi terjadi penurunan pendapatan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar Rp 562,7 miliar, Pajak Penghasilan Badan sebanyak Rp 736,1 miliar, serta biaya pemungutan pajak sebesar Rp 74,7 miliar,” kata peneliti LPEM FEUI I Kadek Dian Sutrisna Artha, saat memaparkan hasil Evaluasi Dampak Potensial dari Pengenaan Cukai terhadap Minuman Ringan Bersoda dan Berpemanis  bagi Pemerintah dan Perekonomian secara Keseluruhan, di kampus FE UI Salemba, Jakarta Pusat, Senin (4/2).

 Potensi kehilangan pendapatan dari cukai Rp 2.000/liter minuman bersoda ditengarai lebih sedikit lagi, yaitu mencapai Rp 254,23 miliar saja.  “Intinya, semakin tinggi cukai dikenakan, kerugian yang dialami industri, konsumen, dan pemerintah akan semakin besar, jadi pemerintah harus mempertimbangkan rencana itu dengan sebaik-baiknya,” tutur koordinator peneliti Eugenia Mardanugraha, menambahkan.

 “Artinya, jika pengenaan cukai hanya untuk mengejar kenaikan pendapatan, jelas tak tercapai, jika dilihat dari aspek dan dampak kesehatannya, ya tujuannya tercapai,” ujar Marda. Dan banyak warga masyarakat beralih mengonsumsi minuman komplemen jenis lainnya, seperti jus dan teh sachet sedu. Harus ditegaskan lagi, apakah minuman komplimen itu juga sudah memenuhi aspek kesehatan.  (saksono)

BERITA TERKAIT

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…

BERITA LAINNYA DI

Jurus Jitu Selamatkan UMKM

Jurus Jitu Selamatkan UMKM  Pelaku UMKM sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga. Yang sangat mendesak diperlukan adalah penguatan modal untuk memulai…

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020

Tegakkan Protokol Kesehatan di Pilkada 2020 Dalam konteks masih terjadinya penularan dengan grafik yang masih naik, sejumlah pihak meminta pemerintah…

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah

Jangan Buru-Buru Menutup Wilayah Strategi intervensi berbasis lokal, strategi intervensi untuk pembatasan berskala lokal ini penting sekali untuk dilakukan, baik…