Kadin Akan Selesaikan Masalah Pendanaan UMKM

NERACA

 

 

Jakarta – Pendanaan merupakan indikator utama dalam mengembangkan industri. Terlebih untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang sebagian besar masih mengandalkan pendanaan dari lembaga keuangan. Akan tetapi, sayangnya banyak sekali usaha UMKM yang sulit mendapatkan pendanaan dari lembaga keuangan. Salah satu alasannya adalah minimnya agunan yang diberikan. Oleh karena itu, Kamar Dagan dan Industri (Kadin) Indonesia berharap bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Wakil Ketua Umum Kadin bidang UMKM dan Koperasi, Erwin Aksa berharap agar nanti pihaknya dapat menyelesaikan permasalahan pendanaan yang dihadapi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di dalam negeri. “Masalah pendanaan merupakan salah satu penghambat UMKM di Indonesia. Untuk mengatasi persoalan tersebut, kami akan mengembangkan link and match untuk akses yang lebih mudah serta mendorong perbaikan kebijakan-kebijakan perbankan,” kata Erwin, di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Selain itu, menurut Erwin, ada kemungkinan pemberlakuan dan penyelesaian hair cut bagi UMKM. “Masih banyak UMKM yang tersandera akibat krisis pada 1998 dan ini persoalan lama yang hanya bisa diselesaikan dengan hair cut,” ujarnya.

Selain jaminan akses pendanaan, lanjut Erwin, UMKM di Tanah Air juga membutuhkan jaminan pasokan energi yang terjangkau dan berkesinambungan, termasuk pasokan listrik. “Bagi UMKM, yang paling penting jaminan suplai listrik dan PLN bisa melihat kondisi di satu regional tertentu serta memahami bahwa UMKM sangat membutuhkan jaminan pasokan yang stabil. Sebelum menaikkan tarif, PLN harus bisa memastikan adanya insentif bagi UMKM seperti jaminan pasokan,” ucapnya.

20% Untuk UMKM

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan ketentuan yang mengatur tahapan pencapaian 20% porsi kredit untuk UMKM yang akan diterapkan untuk semua perbankan ada 2018 dengan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap pada tahun ini. Asisten Direktur Departemen UMKM Bank Indonesia Bandoe Widiarto mengatakan, BI akan segera mengeluarkan ketentuan yang mengatur tahapan pencapaian 20 persen porsi kredit untuk UMKM setelah sebelumnya diumumkan pada acara Bankers Dinner akhir Nopember lalu. "Rencananya ketentuan yang akan mengatur porsi 20 persen untuk kredit UMKM itu sudah harus dipenuhi pada 2018, setelah melalui berbagai tahapan mulai 2013," kata Bandoe.

Menurutnya, ketentuan itu merupakan upaya BI untuk meningkatkan akses ke UMKM dan untuk mendukung program inklusi keuangan, sehingga bank diwajibkan untuk menyalurkan sebagian dananya ke UMKM. Tahapan pelaksanaan ketentuan ini, lanjut Bandoe adalah dengan memberikan masa transisi sekitar dua hingga tiga tahun sebagai tahap persiapan dan tidak dikenakan disinsentif selama masa transisi itu.

Dengan ketentuan itu, bank umum wajib memberikan kredit atau pembiayaan UMKM, dengan jumlah kredit ditetapkan paling rendah 20% yang dihitung berdasarkan rasio kredit terhadap total kredit atau pembiayaan. Bandoe menjelaskan, dalam memenuhi prosentase yang ditetapkan, bank umum dapat melakukan pemberian kredit UMKM secara langsung atau melalui kerja sama pola "executing", "chanelling" dan atau pembiayaan bersama/sindikasi.

Sementara bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan bank campuran, pemenuhan kewajiban pemberian kredit UMKM berlaku juga untuk kredit ekspor non-migas. Untuk mendorong bank mencapai target 20% ini, BI akan memberikan bantuan teknis dalam rangka mendukung pengembangan UMKM berupa penelitian, pelatihan, penyediaan informasi dan atau fasilitasi.

Selain itu, BI juga akan memberikan insentif antara lain dengan memberikan penghargaan pada bank yang memenuhi kriteria tertentu dalam pemberian kredit UMKM. Sementara, bank juga wajib memberikan pelatihan kepada pelaku UMKM dan besarnya dana pelatihan dihitung berdasar persentase tertentu dikalikan antara kredit UMKM yang wajib dipenuhi dengan realisasi pencapaian pada setiap tahapan.

Sulit Diterapkan

Sementara itu, Pengamat Perbankan Rina Indiastuti menilai positif aturan tersebut. Apalagi, UMKM memiliki potensi besar di Indonesia. Keluarnya aturan kredit untuk UMKM minimal 20% dari total kredit perbankan memiliki semangat bagus, yakni ingin potensi ekonomi Indonesia bisa di-utilisasi secara maksimal.

Meski demikian, kata Rina, tentu keluarnya aturan tersebut bukan berarti tak akan menimbulkan masalah. "Bagi bank BUMN sepertinya tidak ada masalah karena selama ini juga mereka sudah menyaurkan kredit untuk UMKM minimal 20% dari total kredit. Justru masalah akan timbul di bank-bank umum non-BUMN. Mereka perlu kerja keras karena selama ini penyaluran kredit untuk UMKM di bank non-BUMN saya lihat masih sangat kecil," katanya.

Rina menyebutkan, kendala perbankan dalam menyalurkan kredit untuk UMKM adalah skema kreditnya. Jika mengacu kepada skema kredit pada umumnya, tentu UMKM tidak bisa mengakses kredit tersebut. Sebab, rata-rata usaha mikro tidak punya agunan. "Kalau usaha menengah mungkin tak masalah soal agunan, tapi usaha mikro rata-rata tidak punya agunan. Misalnya pedagang keliling, apa yang akan diagunkan," ujarnya.

Rina mencontohkan beberapa bank umum non-BUMN memiliki produk kredit tanpa agunan (KTA). Namun yang menjadi sasaran bank tersebut bukan sektor UMKM, melainkan kredit konsumtif untuk para pegawai yang notabene penghasilannya jelas. Sementara sektor UMKM sulit jika tanpa agunan, karena omzet dari usahanya belum pasti.

Karena itu, kata Rina, harus dipikirkan bagaimana skema kredit untuk sektor UMKM. Skema kredit tersebut harus disesuaikan dengan lapangan usahanya masing-masing sektor UMKM. "Misal untuk pedagang seperti apa, petani seperti apa, harus dipikirkan," katanya. Rina menyebutkan, UMKM memiliki potensi besar dan bank pun menyadari itu. Namun rata-rata UMKM tidak punya agunan, itu yang membuat bank enggan menyalurkan kredit tanpa agunan.

Jika ada skema kredit tertentu, ujar Rina, bukan mustahil UMKM akan berkembang. Perbankan pun pada akhirnya tidak melulu menyalurkan kredit, tapi juga bisa menampung dana pihak ketiga (DPK) lebih besar karena UMKM tumbuh dan bisa menyimpan dana hasil usahanya Dia menyontohkan, ketetapan suku bunga di Thailand yang membedakan antara komersil dengan pertanian. Jika komersil mencapai 7%, pertanian hanya 4-5%. Di Indonesia pun, kata Rina, idealnya suku bunga untuk mikro lebih rendah dari komersil.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…