Krisis Kepemimpinan Akut

Krisis kepemimpinan di Indonesia sekarang merata, nyaris menyentuh hampir semua lembaga negara, bahkan juga lembaga-lembaga masyarakat yang relatif otonom terhadap negara. Jadi tidak hanya menyangkut lembaga kepresidenan. Indikasinya, kita kesulitan menemukan sosok pemimpin yang berkarakter ideal yaitu efektif, dapat dipercaya, dan bisa menjadi sosok yang patut diteladani.

Seperti ada pemimpin lembaga pemantau korupsi yang justru korup, ada pemimpin lembaga penyedia pangan yang justru menilep makanan rakyat, ada pemimpin agama yang justeru menginjak-injak nilai-nilai luhur agama, ada pejabat kepolisian yang justru ditangkap lantaran korup dan sebagainya.

Ini artinya, nyaris semua pemimpin di semua lini hanya mengedepankan cara berpikir rasional subyektif atau rasional instrumental. Karena rata-rata mereka terbukti hanya mengedepankan kepentingan pribadinya atau sekadar menjadi alat dari hasrat subyektifnya sendiri, keluarga, atau kelompoknya.

Padahal, sosok pemimpin mestinya harus mengedepankan kepentingan mereka yang dipimpin; berwatak altruistik, dengan menempatkan kepentingan diri, keluarga, atau kelompoknya di bawah kepentingan publik yang lebih luas. Pemimpin idealnya bukan berdiri di atas rakyat atau sejajar dengan rakyat, tetapi pantasnya mengabdikan diri di bawah kepentingan rakyat.

Kita jadi trenyuh jika menyimak pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengimbau warga yang mempunyai kemampuan dan harta lebih untuk membantu warga lainnya yang menjadi korban banjir. Lebih dari 50 ribu warga Jakarta mengungsi akibat bencana banjir belakangan ini.

"Di atas segalanya, rakyat yang memiliki kemampuan dan kelebihan untuk dapat berbagi dan menolong saudaranya yang tertimpa bencana," ujar SBY saat menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (24/1).

Mengapa presiden bisa berkata demikian? Ini merupakan ungkapan presiden yang tampaknya sudah mengetahui kondisi kepemimpinan di sejumlah kementerian maupun lembaga negara (K/L) yang kurang kondusif saat ini. Lihat saja sejumlah pimpinan K/L bersikap hedonistis, pragmatis, materialistis, dan egoistis terhadap kesusahan masyarakat. Adanya fakta beberapa sungai di Jakarta yang sudah 5 tahun ternyata tidak dikeruk sehingga terjadi pendangkalan, merupakan potret birokrasi baik di pusat maupun daerah dalam kondisi “sakit” yang akut.

Akibatnya, posisi pemimpin atau jabatan publik pun kerap diincar sekadar sebagai batu loncatan untuk kaya dan berkuasa. Walhasil, K/L atau lembaga publik yang potensial dijadikan lahan korupsi justru dianggap sebagai “lahan basah” yang diperebutkan banyak orang. Sosok pemimpin amanah dan sederhana seperti Jenderal Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Natsir, atau Hoegeng, menjadi makhluk yang amat langka di negeri kita sekarang ini.

Kekayaan dan kemewahan serta keserakahan seolah menjadi seragam wajib bagi para pemimpin masa kini. Sementara pada saat yang sama, rakyat seolah sah-sah saja dibiarkan menjadi makhluk yang sengsara dan melarat akibat penderitaan, apalagi setelah diterjang bencana banjir.

Ironisnya, sistem ekonomi neoliberal yang diakui atau tidak oleh pemerintahan SBY-Boediono sekarang ini justru kian memperparah iklim yang tidak kondusif bagi munculnya kader pemimpin yang ideal tersebut. Kini saatnya semua pihak yang peduli harus berani melawan arus dengan menyerukan gerakan hidup sederhana, jujur, dan mandiri. Kemudian mentradisikan gaya hidup tanpa korupsi sejak dini perlu digiatkan. Semoga!

 

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…