Utang Luar Negeri Buat Lingkungan Rusak

NERACA

Jakarta – Utang luar negeri (ULN) banyak mendorong kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan. Banjir besar yang menenggelamkan Jakarta hanyalah salah satu efek dari kerusakan lingkungan tersebut. Hal itu disampaikan koordinator Koalisi Anti Utang Dani Setiawan lewat pesan singkatnya kepada Neraca.

“Sejak zaman orde baru sampai sekarang, utang-utang luar negeri banyak mendorong kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan. Mendorong kebijakan liberalisasi penguasaan sumber daya alam sehingga eksploitasi semakin meningkat,” jelas Dani.

Kebijakan ekonomi, kata Dani, sangat bias. Kota sebagai sumber-sumber pertumbuhan ekonomi sementara desa sebagai penyangga dihancurkan. “Dulu, tahun 70-an, Bank Dunia membiayai penebangan hutan Indonesia untuk dikonversi menjadi ladang-ladang sawit. Pasca reformasi, kebijakan undang-undang di bidang migas, minerba, dan lain-lain mendorong eksploitasi sumber daya alam secara masif tanpa mempedulikan dampak lingkungan. ‎Dan undang-undang itu adalah produk dari persyaratan utang luar negeri dari Bank Dunia, ADB, Jepang, termasuk IMF,” jelas Dani.

‎Termasuk karena besarnya beban pembayaran utang, kata Dani, akibatnya pemerintah tidak cukup dana untuk membiayai konservasi lingkungan.

Pengaruhi Dunia Ketiga

Penulis buku Utang Pemerintah Mencekik Rakyat Awalil Rizky juga mengemukakan hal senada. “Kalau kita analisisnya makro, dan puluhan tahun, maka utang luar negeri sangat erat hubungannya dengan kerusakan lingkungan,” kata dia kepada Neraca.

“Coba perhatikan awalnya keterbukaan ekonomi Indonesia, modal asing yang masuk. Itu mempengaruhi hutan, alam, dan iklim. Tapi perlu diperhatikan juga bahwa hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga Asia dan negara dunia ketiga,” kata Rizky.

Lebih jauh, Rizky mengatakan bahwa bukan hanya utang pemerintah yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Tetapi juga utang luar negeri swasta dan investasi asing, terutama yang berada di bidang eksplorasi alam dan perkebunan besar.

Memang diakui bahwa investasi-investasi itu sudah memiliki analisis dampak lingkungan. “Tapi amdal yang mereka buat adalah jangka pendek, dan sebagian diakali. Selama ini pengawasan untuk itu tidak ketat. Sekarang kita sedang menuai hasilnya,” kata Rizky.

 

Banjir Jadi Dalih Utang

Menurut Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng, salah satu sebab mengapa banjir Jakarta semakin parah adalah karena pemerintah SBY menjadikan banjir sebagai komoditas untuk mendapatkan utang dari berbagai lembaga keuangan seperti Bank Dunia, ADB dan pemerintah AS. “Ini mirip dengan praktik menjual isue terorisme untuk dapat utang dari AS dan negara lainnya. Banjir dijadikan komoditi setiap tahun untuk dapat utang baru,” kata dia lewat pesan singkatnya kepada Neraca.
Tahun 2009, pemerintah mengajukan pinjaman senilai US$ 135,5 juta untuk menangani banjir. Pinjaman yang ditawarkan itu terkait dengan program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI). Selain itu, Dewan Direktur ADB menyetujui alokasi hibah senilai US$2 juta dari Japan Special Fund dalam bentuk dukungan teknis guna membantu investasi sistem pengendalian bencana akibat air.
Selanjutnya 2010, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum mengajukan pinjaman untuk proyek penanggulangan banjir Jakarta atau Jakarta Urgent Flood Mitigation Project 2011 sebagai kelanjutan proyek pengerukan 13 sungai di Jakarta menggunakan dana pinjaman Bank Dunia senilai US$ 150 juta.
Pada 2012, Bank Dunia memberikan uang untuk Jakarta Urgent Flood Mitigation Project senilai US$ 139,64 juta. Pada saat yang sama, Kementerian Pekerjaan Umum mendapatkan persetujuan pinjaman dari World Bank sebesar Rp 200 miliar untuk program JEDI. Selain itu, AS melalui Office of U.S. Foreign Disaster Assistance akan memberikan US$ 150 ribu untuk korban banjir Ibukota.
“Setiap terjadi banjir Jakarta, Pemerintah SBY buru-buru menyiapkan proposal dan menjadikan musibah yang diderita rakyat tersebut sebagai barang dagangan. Kebusukan inilah yang menjadi sebab utama mengapa banjir terkesan dipelihara. Dengan cara ini, Rezim SBY memiliki alasan untuk mengemis utang dan bantuan luar negeri,” tutur Daeng.

 

BERITA TERKAIT

Menyelamatkan Pangan, LG Inisiasi Better Life Festival

Menyelamatkan Pangan, LG Inisiasi Better Life Festival NERACA Jakarta - Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), setiap tahun ada 23-48…

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Menyelamatkan Pangan, LG Inisiasi Better Life Festival

Menyelamatkan Pangan, LG Inisiasi Better Life Festival NERACA Jakarta - Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), setiap tahun ada 23-48…

Arus Balik Lebaran 2024, Pelita Air Capai On Time Performance 95 Persen

NERACA Jakarta – Pelita Air (kode penerbangan IP),maskapai layanan medium (medium service airline), mencapai rata-rata tingkat ketepatan waktu penerbangan atau on-time…

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace

UMKM Indonesia Bersaing di Tingkat Dunia Lewat Marketplace NERACA  Jateng - Dalam rangka program Literasi Digital di Indonesia, Kementerian Komunikasi…