Kebebasan Ekonomi Indonesia?

Di tengah gencarnya reformasi birokrasi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, ternyata belum menghasilkan kemajuan yang positif bagi perkembangan usaha di negeri ini. Buktinya, Indonesia masih berada di peringkat ke-108 dari 185 negara yang disurvei oleh Heritage Foundation dan Wall Street Journal, Amerika Serikat. Lain halnya dengan Hongkong menduduki peringkat pertama negara yang paling bebas ekonominya.

Bagi Hongkong, peringkat pertama ini untuk ke-19 tahun berturut-turut. Indeks kebebasan ekonomi ini mengukur 10 kriteria: hak properti, kebebasan dari korupsi, kebebasan fiskal, pengeluaran pemerintah, efisiensi peraturan bagi bisnis, tenaga kerja, kebijakan moneter, kebebasan pasar, perdagangan, serta investasi dan keuangan. Indonesia yang berada di urutan ke-108 dan ini masuk kategori "sebagian besar tidak bebas".

Kebebasan ekonomi digambarkan sebagai kebebasan warga di satu negara untuk bekerja, berproduksi, mengonsumsi, dan melakukan investasi dengan cara yang dia maui serta kebebasan itu dilindungi dan tidak dihalangi negara. Kebebasan bisnis merupakan ukuran kuantitatif terhadap kemampuan untuk memulai, mengoperasikan dan menutup bisnis/usaha yang menunjukkan aturan dan efisiensi pemerintah dalam proses regulasinya. Kebebasan bisnis yang meningkat akan mengurangi biaya transaksi yang akan meningkatkan expected cash flow dan meningkatkan harga saham.

Padahal negara kita sedang berupaya meningkatkan investasi langsung (foreign direct investment) seharusnya tidak perlu malu mencontoh kemajuan Hong Kong tersebut. Apalagi menjelang diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC) 2015, pemerintah Indonesia setidaknya harus ekstra kerja menyiapkan perangkat kemudahan bagi investor asing berbisnis di negeri ini.  

Namun kebebasan berbisnis yang tidak didukung oleh fundamental politik dan sosial yang kuat justru akan memacu persaingan yang tidak sehat yang akhirnya justru akan memicu ketidakpastian dan menurunkan harga saham. Karena bila entrepreneur didefinisikan sebagai orang yang banyak akal dan kreatif dalam menambah kesejahteraan, kekuatan dan prestise, akan siap mengimplementasikan kreativitasnya sangat tergantung dari insentif yang disediakan pemerintah.

Apabila sistem memberikan insentif untuk aktivitas produktif, maka mereka akan menciptakan bisnis baru. Jadi kebebasan berbisnis yang tidak didukung oleh fundamental politik dan sosial yang kuat, justru akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. McCardle (2011) dalam artikelnya “When freedom is bad for business” menyatakan bahwa kebebasan berbisnis tanpa dukungan fundamental sosial dan politik yang kuat hanya akan memicu “entrepreneurial corruption”.

Hal ini juga akan semakin memicu persaingan yang tidak sehat dan meningkatkan ketidakpastian yang dapat berpengaruh negatif terhadap harga saham. Kebebasan finansial yang meningkat akan mengurangi biaya transaksi yang akan meningkatkan expected cash flow dan meningkatkan harga saham. Karena kebebasan finansial adalah ukuran kepemilikan saham perbankan dan juga mengukur independensi dari pengawasan pemerintah.

Kebebasan ekonomi dapat identik dengan kegagahan kapitalisme, yang memang diakui umumnya karena berhasil menciptakan kenikmatan individual, kesejahteraan ekonomi secara kolektif. Namun, kita juga tahu, kapitalisme menghadirkan jurang kesenjangan yang teramat lebar.

Namun, kapitalisme membutuhkan sesuatu yang bersifat ”tidak kapitalistik”. Yaitu seperti off-capitalism yang dapat menjadi semacam rem yang berupa sistem etika dan nilai yang menjadi mitigasi nilai kapitalistik. Artinya, etika dan nilai yang berpihak kepada orang miskin sehingga memberikan imperasi pada kapitalisme untuk bersikap adil. Dalam arti tidak hanya berpihak kepada elite, atau golongan tertentu saja.

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…