GCG Bagus, Tingkat Kesehatan Bank juga Meningkat

NERACA

Jakarta – Tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) yang baik, sudah mutlak ada di semua perusahaan bidang apapun, termasuk di perbankan. Aspek governance itu termasuk dalam etika bisnis yang wajib dilakukan oleh semuanya.

“Tanpa (GCG) ini, bisnis perbankan akan seperti dulu lagi, seperti di awal tahun 2000 yang ada bank barring, yang diakibatkan ada goncangan di dalam (perusahaan)nya, akibat pengurusnya tidak governance,” kata Agus Suryantono, Direktur Kepatuhan Bank DKI, kepada Neraca, Selasa (7/1).

Memang setelah krisis ekonomi 1997-1998, banyak usaha yang bisnisnya menjadi macet, sehingga ini juga menyebabkan makin banyaknya kredit macet yang membuat beberapa bank mengalami kesulitan likuiditas. Kesulitan likuiditas ini makin parah ketika sebagian masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap sejumlah bank sehingga terjadi penarikan dana secara besar-besaran (rush).

Goncangan yang terjadi pada satu bank tentu saja juga akan menimbulkan goncangan lebih besar pada sistem perbankan secara umum, sehingga perekonomian juga akan terseret ke jurang kehancuran. Oleh karena itu, sejak 2006 Bank Indonesia (BI) mewajibkan perbankan melaksanakan GCG tersebut, sehingga bisnis perbankan bisa sehat.

Hal itu termaktub dalam PBI 8/4/2006 untuk pelaksanaan GCG bagi bank umum guna meningkatkan compliance terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku umum di industri perbankan. Hal ini juga karena BI menyadari bahwa dulu pengelolaan industri perbankan itu buruk, menyusul adanya liberalisasi tanpa peraturan dan pengawasan ketat. GCG telah pula dikukuhkan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai pilar keempat dengan landasan berpikir bahwa aplikasi GCG akan memperkuat kondisi internal perbankan nasional.

“Mulai tahun 2012 lalu, penilaian tingkat kesehatan perbankan mulai dijalankan berdasarkan empat pilar, yakni profil resiko, GCG, rentabilitas, dan permodalan. Bukan lagi CAMELS (Capital adequacy, Asset quality, Management quality, Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to market risks) seperti dulu,” ujarnya.

Menurutnya, implikasi dari aturan-aturan BI tersebut yakni adanya pelaporan laporan keuangan secara berkala ke BI dan ada evaluasi atau assessment internal.

“Penerapan GCG yang konsisten di perbankan, juga kalau diikuti (penerapannya) oleh dunia bisnis lain, jadi antara dunia bisnis dan bank akan ketemu dan itu lebih baik. Apalagi dalam penyaluran kredit dengan prinsip GCG akan menjadi lebih baik, serta nasabah juga akan diuntungkan,” jelasnya.

Dengan GCG yang wajib diterapkan semua bank, khususnya untuk bank kecil juga akan lebih terlindungi dan terjamin, karena berdasarkan etika. Walaupun dalam implementasinya tidak akan serumit seperti dalam bank-bank besar.

“Kalau tidak melaksanakan GCG, tentu saja akan ada sanksi dari BI secara bertahap. Itu tidak hanya sanksi finansial tetapi juga di operasional. Contohnya jika salah satu bank terganggu GCG-nya, maka tingkat kesehatannya otomatis turun, dan nantinya akan menyebabkan dia tidak bisa buka cabang baru lagi,” ungkapnya.

Perbankan, tuturnya, jika konsisten melaksanakan GCG, maka akan menaikkan nilai perusahaan di mata publik, serta secara tidak langsung juga meningkatkan kepercayaan nasabah kepada bank tersebut. “Kalau bank sehat kan, tidak mungkin akan ada fraud di dalamnya. Dan (fraud) bisa dihindari dengan menerapkan GCG secara baik dan benar,” imbuhnya.

Memang penerapan GCG sudah seharusnya menjadi kultur perusahaan, termasuk di perbankan. Saat ini perusahaan-perusahaan yang regulatornya sudah mewajibkan untuk melaksanakan GCG adalah perusahaan dalam bidang perbankan, asuransi, serta BUMN.

“Sekarang hampir semua perusahaan basisnya adalah compliance. Ini maksudnya kalau ada peraturan perundangan (dari otoritas) harus dijalankan (dengan baik),” kata Mas Achmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), kepada Neraca, minggu lalu.

Dia juga mengatakan bahwa saat ini perkembangan pelaksanaan GCG di perbankan sudah bagus. “Sekarang sudah ada kebutuhan dari perusahaan untuk melaksanakan GCG, jadi sudah banyak yang melakukannya, bahkan sampai ke assessment yang ada score-nya tersendiri,” jelasnya.

Namun, menurutnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, pelaksanaan dan penerapan GCG di Indonesia masih terlambat dibandingkan mereka. Jadi memang masih ada faktor penghambatnya secara internal dan eksternal.

Secara internal, ujarnya, penerapan GCG ini masih dirasakan sebagai kebiasaan yang berat untuk dilakukan. “Jadi GCG ini dilakukan semata-mata karena ada dorongan untuk melaksanakan compliance, sehingga masih perlu ditingkatkan menjadi kultur atau kebiasaan sehari-harinya,” tuturnya.

Sedangkan, secara eksternal, semua pihak yang terlibat dalam kemajuan suatu perusahaan harus mempunyai paradigma atau pandangan yang serupa dalam melaksanakan atau menerapkan tata kelola (governance) yang baik dan benar.

“Karena perusahaan dalam melakukan aktivitas itu tidak hanya di ruang hampa, tapi berhubungan juga dengan penyelenggara negara dan masyarakat,” ucapnya.

Apabila masih ada perusahaan yang tidak mau melaporkan laporan keuangannya ke publik, tutur dia, kemungkinan itu karena adanya pertimbangan-pertimbangan bisnis. “Sepanjang kalau tidak melaporkan itu hanya terkena denda saja, maka mereka mencoba bernegosiasi di situ. Jadi law enforcement dalam penerapan GCG sudah pasti harus ada,” tuturnya.

Dalam GCG, menurutnya, yang paling baik adalah persoalan transparansi. Karena dengan transparansi, maka aspek-aspek GCG lain seperti akutabilitas dan fairness akan ikut terbawa. “Perusahaan itu tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham tapi juga stakeholder yang tidak memegang perusahaan,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…

BERITA LAINNYA DI

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi

Investasi Ilegal di Bali, Bukan Koperasi NERACA Denpasar - Sebanyak 12 lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat secara ilegal di…

Farad Cryptoken Merambah Pasar Indonesia

  NERACA Jakarta-Sebuah mata uang digital baru (kriptografi) yang dikenal dengan Farad Cryptoken (“FRD”) mulai diperkenalkan ke masyarakat Indonesia melalui…

OJK: Kewenangan Satgas Waspada Iinvestasi Diperkuat

NERACA Bogor-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengharapkan Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi dapat diperkuat kewenangannya dalam melaksanakan tugas pengawasan, dengan payung…