Kenaikan UMP - Apindo: Kami Rugi, Bukan Cuma Untung Berkurang

Kenaikan UMP

NERACA

Jakarta – Kalangan pengusaha berkeras bahwa kenaikan upah minimum provinsi (UMP)  membuat bisnis mereka merugi, bukan sekadar keuntungan berkurang. Di sisi lain, aktivis dan pengamat perburuhan menegaskan sebaliknya.

 “Untuk industri sepatu dan garmen, itu rugi,” kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit kepada Neraca, Minggu (6/1).

Menurut Anton, biaya material untuk industri sepatu adalah sebesar 60% sementara overhead cost 10% dan biaya buruh sebelum UMP naik sebesar 25%. Jadi total biaya perusahaan adalah 95%.

Keadaannya berubah ketika UMP naik, kata Anton. Labor cost yang tadinya 25% melonjak menjadi 32-35%. Jadi pengusaha sepatu merugi 2-5% kalau mengikuti kenaikan UMP. “Serikat buruh jangan ambil asumsi yang keliru. Sebab mereka bilang labor cost itu 7-10%. Itu kan tidak benar,” jelas Anton.

Namun dia menambahkan, mungkin saja komposisi labor cost di industri lain seperti makanan berbeda dengan di industri sepatu. Tapi tetap saja kompetitor dari luar nantinya akan masuk dengan mudah karena produk industri makanan Indonesia akan memiliki harga yang lebih tinggi akibat upah buruh yang meningkat.

Berbeda dengan pendapat Anton, Guru Besar Universitas Indonesia sekaligus pengamat perburuhan Hasbullah Thabrani, mengatakan, dengan menaikkan UMP, sebetulnya pengusaha hanya mengalami penurunan keuntungan, bukan rugi. Hal senada dikatakan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahwa ketika pengusaha mengikuti UMP yang berlaku, maka pengusaha hanya mengurangi keuntungan dari 5% menjadi 2%.

Minta Naik Lagi

Tahun ini, buruh akan tetap meminta kenaikan upah. Menurut Thabrani, permintaan buruh itu wajar karena menyangkut hak buruh. “Di Vietnam, upah buruhnya tiga kali lipat dibanding Indonesia,” kata dia.

Tapi memang harus diakui bahwa produktivitas buruh di Vietnam lebih baik daripada buruh Indonesia. “Ini seperti ayam dan telur. Buruh minta upah tinggi kalau perusahaan minta produktivitasnya meningkat. Sementara pengusaha minta produktivitas buruh naik dulu, baru upah akan meningkat,” ujar Thabrani.

Menanggapi permintaan kenaikan upah tersebut, Anton menanggapi bahwa memang buruh mempunyai filosofi: What do you want? We want more. What is the limit? The sky is the limit.

Tentang upah buruh di Vietnam yang dikatakan tiga kali lipat dibanding upah buruh di Indonesia, Anton menepis hal tersebut. “Ayo coba kita lihat bersama ke sana. Di sana upah buruh tidak sampai tiga kali lipat di sini.” Dia mengatakan bahwa kenaikan upah di Vietnam hanya 17%, padahal inflasi yang terjadi di Vietnam sebesar 29%.

Upah minimum itu bisa tinggi kalau bukan industri padat karya, kata Anton. “Kemarin ada berita, bahwa pabrik ban China masuk ke Indonesia dengan investasi sebesar Rp 4,5 triliun. Dia bilang tidak apa-apa dengan tuntutan buruh. Tapi yang kerja hanya 3 ribu orang. Jangan disamakan, karena dengan modal yang sama, di industri garmen dan sepatu itu jumlah pekerjanya 60 ribu orang,” jelas dia.

Ketidaktegasan Pemerintah

Menurut Anton, salah satu akar masalahnya adalah di ketidaktegasan pemerintah. Penetapan upah minimum dilakukan pemerintah tanpa kajian yang mendalam, tetapi hanya karena takut dengan kekuatan buruh yang selalu berdemonstrasi.

Salah satu efek negatif dari kenaikan upah ini, menurut Anton, adalah keengganan pengusaha untuk merekrut tenaga kerja. “Kalau pemerintah tetap begitu, silakan pemerintah merasakan angka pengangguran yang tinggi.”

Menurut angka Badan Pusat Statistik sampai September 2012, jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 118 juta jiwa. Sementara itu, jumlah buruh yang ada di Indonesia hanya 15 juta jiwa. Dengan menaikkan upah buruh, kata Anton, berarti pemerintah hanya mendengarkan suara buruh yang 15 juta jiwa dan tidak ambil pusing dengan 113 juta angkatan kerja yang lain. “Mereka itu siapa yang wakili,” tanya Anton.

Perlu Insentif

Menurut Thabrani, bagi sektor yang keberatan dengan kenaikan upah, seperti sepatu dan garmen, seharusnya pemerintah memberikan insentif. “Misalnya di sektor pembangunan dengan mengurangi pajak. Atau dengan mengurangi pajak impor dari bahan-bahan bakunya,” jelas dia.

 

BERITA TERKAIT

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global

Thailand Industrial Business Matching 2024 akan Hubungkan Industri Thailand dengan Mitra Global NERACA Jakarta - Perekonomian Thailand diperkirakan akan tumbuh…

SIG Tingkatkan Penggunaan Bahan Bakar Alternatif Menjadi 559 Ribu Ton

  NERACA  Jakarta – Isu perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) telah menjadi perhatian dunia, dengan…

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta

Tumbuh 41%, Rukun Raharja (RAJA) Cetak Laba USD8 Juta NERACA Jakarta - PT Rukun Raharja, Tbk (IDX: RAJA) telah mengumumkan…