PMK 253 Hambat Pertumbuhan Industri Tekstil

NERACA

 

Jakarta - Kementerian Perindustrian menilai pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253 Tahun 2011 tentang pengembalian bea masuk yang telah dibayar atas impor dan bahan untuk diolah, dirakit atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor atau dikenal dengan Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), secara tidak langsung telah menghambat pertumbuhan sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Tak hanya itu, kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) sebesar 15% dan juga kenaikan upah buruh juga menghambat industri TPT.

Direktur Industri Tekstil dan Aneka Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Ramon Bangun mengatakan permasalahan yang terkait dengan PMK Nomor 253 Tahun 2011 menyebabkan kinerja TPT mengalami penurunan sebesar 6%. "Tahun lalu kinerja ekspor TPT sudah turun 6% dan tahun ini diperkirakan lebih rendah dari realisasi 2012," ujar Ramon di Jakarta, Rabu (2/1).

Tidak hanya itu, lanjut Ramon, kenaikan TDL sebesar 15% juga telah menghambat pertumbuhan industri TPT pasalnya industri ini lebih mengandalkan energi listrik yang cukup banyak untuk menjalankan roda bisnisnya. "Industri TPT nasional dihadapkan pada besarnya biaya energi dan masalah pengembalian bea masuk atas barang impor. Selama ini, sektor industri serat pemintalan menggunakan komponen energi listrik yang sangat besar," katanya.

Untuk itu, Ia juga meminta agar aturan tersebut lebih disempurnakan sehingga daya saing industri dalam negeri tidak tertinggal dengan negara lain. Terlebih dengan banyaknya barang-barang impor dan dalam menghadapi perdagangan bebas atau Asean Economic Community (AEC) pada 2015.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy menilai regulasi pemerintah yang tertera dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.253 tahun 2011 yang mengatur Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan krisis global yang melanda beberapa negara tujuan ekspor telah menjadi kendala pihak produsen untuk melakukan ekspor tekstil.

"Selain krisis global, aturan PMK No.253 tahun 2011 yang menyebabkan eksportir industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPn) di muka. Selain itu, aturan tersebut juga membuat proses restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri," ujarnya.

Lebih lanjut lagi dikatakan Ernovian, aturan PMK No.253 tahun 2011 membuat pelaku usaha TPT menjadi sulit untuk mendapatkan restitusi pajak. "Akibat aturan tersebut, perusahaan TPT tidak boleh melimpahkan pesanan kepada subkontraktor. Hal ini membuat industri kesulitan memenuhi permintaan TPT di pasar luar negeri," paparnya.

Tak hanya PMK No. 253, lanjut dia, tetapi PMK No. 147 tahun 2011 yang menyatakan bahwa sebuah perusahaan bisa mendapatkan pembebasan bea masuk bahan baku asal berlokasi di kawasan industri juga tidak mampu menolong industri TPT. "Selama ini, subkontraktor kesulitan masuk ke kawasan industri. Industri TPT di dalam negeri tidak memiliki daya saing akibat sejumlah peraturan yang sangat merugikan," ujarnya.

Ancam 400 Perusahaan

Ketua Umum API, Ade Sudrajat juga mengatakan aturan tersebut menekan pengusaha. Ia menjelaskan sebelum aturan tersebut berlaku, pengusaha mendapatkan fasilitas penangguhan PPN dan juga bea masuk. Namun sejak aturan berlaku banyak pengusaha sulit melakukan ekspor. Menurut dia, seluruh pengusaha tersebut tersebar di daerah yang selama ini menjadi sentra industri tekstil dan produk tekstil, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan lainnya. Jumlah tenaga kerja di ke-400 perusahaan tersebut mencapai 100 ribu orang. Jenis usaha mencakup skala kecil, menengah sampai besar.

Dia menuturkan dengan keberadaan aturan, eksportir yang sekaligus produsen tekstil harus membayar PPN di muka. Selain itu, aturan tersebut juga membuat proses restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri. "Pengembalian modal mencapai sembilan bulan untuk restitusi, padahal dengan selama itu modal kerja kami sudah habis. Sebelum ada aturan pengusaha masih mengatur modal agar bisa berproduksi saat mengekspor produknya dan itu yang menyebabkan mati suri," tegas dia.

Kalaupun ada pengusaha yang masih bisa bertahan, menurut dia mereka kemudian menjadi pengusaha Kawasan Berikat (KB). Sebagai informasi,barang impor bahan baku yang masuk ke Kawasan Berikat untuk diolah diberikan penangguhan bea masuk dan tidak dipungut pajak. Ade mengaku sudah beberapa kali menyurati pemerintah seperti ke Kementerian Keuangan bahkan Presiden untuk meminta pengkajian kembali aturan tersebut. Namun surat atau permintaan tersebut tidak mendapatkan respon dari pemerintah.

BERITA TERKAIT

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…

BERITA LAINNYA DI Industri

Konflik Iran dan Israel Harus Diwaspadai Bagi Pelaku Industri

NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus memantau situasi geopolitik dunia yang tengah bergejolak. Saat ini situasi Timur Tengah semakin…

Soal Bisnis dengan Israel - Lembaga Konsumen Muslim Desak Danone Jujur

Yayasan Konsumen Muslim Indonesia, lembaga perlindungan konsumen Muslim berbasis Jakarta, kembali menyuarakan desakan boikot dan divestasi saham Danone, raksasa bisnis…

Tiga Asosiasi Hilir Sawit dan Forwatan Berbagi Kebaikan

NERACA Jakarta – Kegiatan promosi sawit dan bakti sosial diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bersama tiga asosiasi hilir sawit yaitu…